Leet Media

Para Pembuat Undang-undang Jepang Sedang Mempertimbangkan untuk Menjadikan Gambar AI Bergaya Studio Ghibli Sebagai Konten Ilegal

April 21, 2025 By Abril Geralin

21 April 2025 – Fenomena “Ghiblifikasi” yang viral telah memicu perdebatan serius di Jepang, membawa pertanyaan mendasar tentang batas antara inspirasi artistik dan pelanggaran hak cipta. Saat teknologi AI seperti ChatGPT semakin mahir menghasilkan gambar yang meniru gaya visual khas Studio Ghibli, pemerintah Jepang mulai mempertanyakan legalitas praktik ini.

Ledakan Kontroversi “Ghiblifikasi”

Source: NNC Netral News

Pada Maret 2025, media sosial dibanjiri gambar-gambar yang dihasilkan AI dengan gaya visual yang sangat mirip dengan karya-karya ikonik Studio Ghibli. Gambar-gambar yang diciptakan melalui ChatGPT ini menjadi begitu viral hingga Sam Altman, CEO OpenAI, terpaksa menerapkan pembatasan sementara karena lonjakan permintaan yang menyebabkan GPU perusahaan “meleleh” akibat penggunaan berlebihan.

Fenomena ini segera menciptakan dua kubu yang berseberangan. Di satu sisi, para penggemar teknologi memuji kemampuan menakjubkan AI dalam mereplikasi gaya visual yang kompleks. Di sisi lain, banyak praktisi seni tradisional, termasuk beberapa tokoh terkemuka dari industri anime Jepang, mengungkapkan keprihatinan serius tentang implikasi etis dan profesional dari praktik tersebut.

Sutradara anime terkenal “One Piece”, Megumi Ishitani, adalah salah satu yang bersuara lantang menentang tren ini, mengungkapkan perasaan “putus asa” terhadap fenomena tersebut. Pernyataan lawas Hayao Miyazaki sendiri—pendiri legendaris Studio Ghibli—juga kembali mencuat. Dalam dokumenter tahun 2016 berjudul “Never-Ending Man: Hayao Miyazaki”, sang maestro animasi yang kini berusia 84 tahun menyatakan: “Siapa pun yang menciptakan hal semacam ini tidak memahami rasa sakit. Saya benar-benar muak. Saya merasa ini adalah penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri.”

Perdebatan di Parlemen Jepang

Kontroversi ini kini telah memasuki ranah legislatif Jepang. Dalam sebuah rapat Komite Kabinet Dewan Perwakilan Rakyat yang baru-baru ini diadakan, Masato Imai dari Partai Demokrat Konstitusional mengajukan pertanyaan krusial kepada Hirohiko Nakahara, Direktur Jenderal Strategi Pendidikan, Budaya, Olahraga, Sains, dan Teknologi.

“Telah ada pembahasan mengenai apakah ‘Ghiblifikasi’—yakni pembuatan gambar bergaya Ghibli menggunakan AI—termasuk pelanggaran hak cipta. Dalam interpretasi hukum saat ini, seberapa legal hal itu?” tanya Imai.

Dalam jawabannya, Nakahara menyatakan bahwa penentuan final merupakan wewenang pengadilan. Namun, ia memberikan pandangan yang menarik: “Jika hanya sebatas kemiripan gaya atau ide, maka itu tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta karena hukum hak cipta tidak melindungi gaya dan ide yang tidak memenuhi persyaratan sebagai ekspresi kreatif.”

Meski demikian, Nakahara juga menambahkan catatan penting: “Namun jika konten yang dihasilkan AI dinilai terlalu mirip atau bergantung pada karya berhak cipta yang sudah ada, maka ada kemungkinan hal itu tergolong pelanggaran.”

Imai kemudian merangkum interpretasinya: “Jadi, penggunaan gaya dan ide masih legal, tapi jika gambar AI tersebut diakui sebagai ‘Ghibli itu sendiri,’ maka itu melanggar hukum.”

Tantangan Hukum dalam Mendefinisikan “Gaya Ghibli”

Source: Inilah.com

Salah satu tantangan terbesar dalam perdebatan ini adalah sulitnya mendefinisikan secara hukum apa yang sebenarnya dimaksud dengan “gaya Ghibli”. Studio Ghibli telah menggunakan setidaknya 15 desainer karakter berbeda sepanjang sejarahnya. Bahkan Hayao Miyazaki sendiri hanya berbagi kredit desainer karakter untuk film “Nausicaa of the Valley of the Wind” dan “Laputa: Castle in the Sky”, namun tidak lagi dikreditkan sebagai desainer karakter sejak itu.

Keragaman artistik ini menciptakan dilema hukum tersendiri. Meskipun visual Ghibli sangat mudah dikenali, gaya tersebut sebenarnya merupakan hasil kolaborasi berbagai seniman, bukan satu gaya tunggal yang seragam. Hal ini membuat pembuktian secara hukum bahwa gambar AI benar-benar menyalin karya tertentu yang dilindungi menjadi sangat kompleks.

Contoh pertanyaan yang muncul: Apakah karakter yang dirancang oleh Akihiko Yamashita untuk film non-Ghibli seperti “Mary and the Witch’s Flower” dari Studio Ponoc termasuk dalam “gaya Ghibli” atau hanya “gaya Yamashita”? Bagaimana dengan film Ghibli seperti “The Tale of The Princess Kaguya” yang visual stylizednya sangat berbeda dari apa yang kebanyakan orang bayangkan saat mendengar istilah “gaya Ghibli”?

Implikasi Hukum dan Masa Depan

Untuk saat ini, pemerintah Jepang belum berencana melarang secara resmi seni AI dengan gaya Ghibli. Namun, para pengkritik memperingatkan bahwa meskipun membuat atau membagikan gambar-gambar semacam itu masih berada di area abu-abu hukum, menjual gambar-gambar tersebut di Jepang bisa menimbulkan masalah hukum serius.

Diskusi ini merupakan bagian dari perdebatan yang lebih luas tentang AI dan hak cipta yang sedang berkembang di seluruh dunia. Sementara teknologi AI generatif terus berkembang dengan kecepatan luar biasa, kerangka hukum yang mengatur penggunaannya masih tertinggal.

Bagi para penggemar Studio Ghibli yang menentang tren ini, pilihan terbaik saat ini tampaknya adalah mendukung seniman manusia dan karya-karya asli, sambil menyadari bahwa ekspresi artistik yang dihasilkan manusia memiliki nilai dan nuansa mendalam yang belum bisa sepenuhnya ditiru oleh AI, bagaimanapun canggihnya teknologi tersebut.

Kesimpulan

Perdebatan seputar legalitas gambar AI bergaya Studio Ghibli mencerminkan dilema yang lebih luas yang dihadapi masyarakat di era digital: bagaimana menyeimbangkan inovasi teknologi dengan perlindungan terhadap ekspresi kreatif? Sementara keputusan final masih berada di tangan pengadilan dan pembuat undang-undang Jepang, diskusi ini memberikan wawasan berharga tentang kompleksitas hukum hak cipta di era AI.

Yang jelas, fenomena “Ghiblifikasi” telah memicu percakapan penting tentang nilai seni, identitas budaya, dan masa depan kreativitas di dunia yang semakin terhubung dan terautomasi. Apakah kita menyaksikan kelahiran bentuk seni baru, atau erosi ekspresi kreatif manusia yang berharga, hanya waktu yang akan menjawabnya.