December 28, 2024 By Abril Geralin
28 Desember 2024 – Honda, Nissan, dan Mitsubishi Motors mengumumkan rencana merger yang akan menciptakan salah satu produsen mobil terbesar di dunia. Langkah strategis ini diambil untuk meningkatkan daya saing dalam industri otomotif global, terutama di sektor kendaraan listrik yang saat ini didominasi oleh produsen Amerika Serikat dan China.
Pengumuman resmi dilakukan dalam acara penandatanganan nota kesepahaman antara Honda dan Nissan di Tokyo pada 23 Desember 2024. Mitsubishi Motors, yang 34 persen sahamnya dimiliki oleh Nissan, juga telah menyetujui bergabung dalam integrasi bisnis ini. Presiden Honda, Toshihiro Mibe, menyatakan bahwa Honda akan memimpin manajemen baru dengan tetap mempertahankan prinsip dan merek masing-masing perusahaan.
Perjanjian merger, termasuk pengaturan rasio transfer saham, dijadwalkan rampung pada Juni 2025. Perusahaan induk baru dengan kapitalisasi lebih dari 50 miliar dollar AS direncanakan akan terdaftar di bursa Tokyo pada Agustus 2026.
Keputusan merger ini tidak terlepas dari berbagai tantangan yang dihadapi ketiga perusahaan. Nissan, khususnya, mengalami masa sulit setelah skandal Carlos Ghosn pada akhir 2018. Kinerja produsen mobil terbesar ketiga di Jepang ini terus menurun di pasar utamanya, Amerika Serikat dan China, yang menyumbang setengah dari penjualan globalnya hingga Maret 2024.
Situasi ini memaksa Nissan melakukan pemangkasan 9.000 pekerja atau sekitar 6 persen dari tenaga kerja globalnya pada November 2024, serta mengurangi kapasitas produksi sebesar 20 persen setelah mengalami kerugian triwulanan sebesar 9,3 miliar yen.
Meski akan bergabung, skala produksi ketiga perusahaan masih berada di bawah Toyota. Gabungan produksi mereka diperkirakan mencapai 8 juta kendaraan per tahun, dengan rincian Honda 4 juta unit, Nissan 3,4 juta unit, dan Mitsubishi lebih dari 1 juta unit pada tahun 2023. Sebagai perbandingan, Toyota meluncurkan 11,5 juta kendaraan pada tahun yang sama.
Yannes Martinus Pasaribu, pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung, mengungkapkan bahwa produsen Jepang relatif terlambat dalam mengadopsi teknologi kendaraan listrik murni. Fokus mereka selama ini lebih pada pengembangan teknologi hibrida dan hidrogen, yang meskipun inovatif, kurang sejalan dengan tren global menuju BEV.
Inovasi teknologi baterai lithium iron phosphate (LFP) oleh produsen China seperti BYD dan CATL telah mengubah lanskap persaingan global. Penurunan harga baterai hingga 66 dollar AS per kilowatt jam membuat biaya produksi BEV setara dengan mobil konvensional, sementara biaya operasionalnya hanya seperlima dari mobil berbahan bakar bensin.
Merger ini membuka peluang bagi ketiga produsen Jepang untuk memanfaatkan regulasi lingkungan yang semakin ketat dan proteksi negara G7 terhadap produk BEV China. Namun, mereka harus bergerak cepat menghadapi persaingan dari Tesla yang masih memimpin inovasi industri otomotif global, serta BYD yang terus menunjukkan peningkatan performa.
Survei Future Readiness Indicator 2024 menunjukkan dominasi Tesla dan BYD dalam inovasi otomotif, sementara produsen Jepang mengalami penurunan peringkat. Produsen mobil listrik China diprediksi akan menguasai sepertiga pasar mobil listrik global pada tahun 2030, mendorong urgensi bagi industri otomotif Jepang untuk melakukan transformasi komprehensif dalam model bisnis mereka.
Langkah merger ini menjadi krusial bagi ketiga produsen Jepang untuk mempertahankan relevansi mereka di tengah ketidakpastian pasar energi global, dinamika geopolitik, dan perubahan preferensi konsumen menuju kendaraan ramah lingkungan.