Leet Media

Mengurai Fenomena Golput Tinggi di Pilkada DKI Jakarta 2024, Sinyal Kekecewaan Demokrasi Perkotaan

December 3, 2024 By Amandira Maharani

3 Desember 2024 – Pilkada DKI Jakarta 2024 mencatat sejarah kelam dalam pesta demokrasi Indonesia, dengan tingkat golongan putih (golput) yang mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah pilkada di ibu kota. Dari total 8,2 juta daftar pemilih tetap (DPT), kurang dari setengahnya yang menggunakan hak suara, dengan berbagai lembaga survei mencatat angka golput berkisar antara 42-45%.

Potret Angka Golput yang Mengkhawatirkan

Perhitungan dari berbagai sumber menunjukkan gambaran yang mengejutkan:

Bandingkan dengan pilkada sebelumnya, angka ini jauh menurun drastis. Pada 2007 dan 2012, partisipasi pemilih masih berada di kisaran 65%, bahkan pada 2017 pernah mencapai di atas 77% dengan hanya 1,6 juta orang yang tidak menggunakan hak pilih.

Faktor-Faktor Penyebab Golput

Menurut pakar pemilu Titi Anggraini dari Universitas Indonesia, terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan tingginya angka golput:

  1. Ketidaksesuaian Figur Calon Kandidat yang tersedia tidak sesuai dengan aspirasi politik warga Jakarta. Figur-figur yang sebelumnya disukai seperti Ahok dan Anies Baswedan tidak mendapatkan tiket politik, sementara tokoh seperti Ridwan Kamil dianggap tidak mengakar di Jakarta.
  2. Kelelahan Politik Masyarakat masih lelah dengan dinamika pemilu legislatif dan presiden yang menguras konsentrasi, ditambah dengan kontestasi pilkada yang penuh kontroversi.
  3. Krisis Kepercayaan Ada “trust issue” terhadap partai dan elite politik akibat serangkaian peristiwa sejak pemilu hingga pilkada. Pemilih merasa dikhianati oleh partai-partai yang baru saja mereka pilih di pemilu legislatif.
  4. Apatisme Politik Pengamat politik Cecep Hidayat menjelaskan bahwa masyarakat Jakarta yang dekat dengan isu-isu politik nasional justru menjadi apatis. Janji-janji kandidat dianggap tidak menyentuh kehidupan sehari-hari mereka.

Ekspresi Perlawanan Melalui Golput

Beberapa warga menggunakan golput sebagai bentuk protes. Misalnya, Minawati dari Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) dan Gugun Muhammad dari Urban Poor Consortium (UPC) yang secara sadar melakukan “gerakan coblos semua” (gercos) sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem politik yang dianggap tidak demokratis.

Mereka menganggap pilkada sebagai “pesta demokrasi” yang sesungguhnya tidak memberi pilihan nyata kepada rakyat, dengan kandidat yang sudah “diatur” oleh elite politik.

Makna di Balik Angka Golput

Titi Anggraini menegaskan bahwa golput tidak dilarang, karena memilih atau tidak memilih adalah hak setiap warga negara. Namun, angka golput yang tinggi memberikan pesan mendalam bagi pemimpin terpilih.

“Ini akan menjadi evaluasi politik dan dapat digunakan untuk mempertanyakan legitimasi pemimpin yang dipilih melalui partisipasi rendah,” ujarnya.

Catatan Penting

Menariknya, dukungan dari figur nasional seperti Prabowo Subianto dan Joko Widodo ternyata tidak mampu mendongkrak partisipasi pemilih. Hal ini menunjukkan karakteristik pemilih Jakarta yang mandiri, kritis, dan lebih fokus pada isu-isu konkret lokal.


Golput di Pilkada DKI Jakarta 2024 bukan sekadar angka statistik, melainkan sinyal kuat akan krisis demokrasi perkotaan. Ia mencerminkan kekecewaan mendalam masyarakat terhadap sistem politik yang dianggap tidak responsif dan tidak mewakili aspirasi rakyat.

Ke depan, baik partai politik maupun calon pemimpin perlu melakukan introspeksi mendalam. Membangun kembali kepercayaan publik menjadi tantangan utama dalam memperbaiki partisipasi demokrasi di Indonesia.