August 8, 2025 By RB
08 Agustus 2025 – Kebijakan Pemerintah Kabupaten Pati untuk menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen telah memicu gelombang protes luas dari masyarakat. Polemik ini memuncak dengan permintaan maaf dari Bupati Pati, Sudewo, yang sebelumnya sempat mengeluarkan pernyataan yang dianggap menantang warga untuk berdemonstrasi. Insiden ini tidak hanya menarik perhatian warga lokal tetapi juga Gubernur Jawa Tengah, yang turut memberikan arahan tegas untuk meninjau kembali kebijakan tersebut agar tidak membebani rakyat.
Dalam konferensi pers yang diadakan di Pendopo Kabupaten Pati pada Kamis (7/8) pagi, Bupati Sudewo menyampaikan permintaan maafnya secara terbuka. Ia mengklarifikasi beberapa poin yang menjadi sumber keresahan publik, termasuk pernyataannya terkait demonstrasi dan insiden penyitaan donasi.
“Kedua, saya minta maaf yang sebesar-besarnya atas pernyataan saya ‘5 ribu silakan, 50 ribu massa silakan’. Saya tidak menantang rakyat. Sama sekali tidak ada maksud menantang rakyat. Mosok rakyat saya tantang,” ujar Sudewo. Ia menjelaskan bahwa maksud ucapannya adalah agar demonstrasi dapat berjalan lancar untuk menyampaikan aspirasi murni, bukan ditumpangi oleh pihak tertentu.
Sudewo juga meminta maaf atas kericuhan yang terjadi pada Selasa (5/8) terkait penggalangan dana oleh massa aksi. “Kami tidak bermaksud untuk melakukan perampasan terhadap barang tersebut. Sama sekali tidak bermaksud melakukan perampasan. Hanya ingin memindahkan supaya tidak mengganggu kirab boyongan hari jadi Kabupaten Pati dan acara 17 Agustus,” jelasnya.
Di awal masa pemerintahannya, ia menyadari masih banyak kekurangan dan berjanji akan menerima semua masukan untuk perbaikan Kabupaten Pati.
Kenaikan PBB-P2 yang drastis menjadi beban berat bagi sebagian besar warga Pati. Mereka menyuarakan keberatan dan berharap agar kebijakan tersebut diturunkan.
Dari Ratusan Ribu Menjadi Jutaan Rupiah
Seorang warga dari Kayen, Saputra Ahmad, yang bekerja sebagai buruh tani, merasakan dampak langsung dari kebijakan ini. Tagihan PBB-nya melonjak tajam dari yang semula hanya Rp 179 ribu. “Awalnya Rp 179 ribu, terus saya cek Rp 1,3 juta. Terus kemudian ini ada perbaiki menjadi Rp 600 ribu. Itu naik 250 persen lebih malahan,” ungkap Saputra.
Bantahan Klaim 14 Tahun Tanpa Kenaikan
Ketua PKL Kembang Joyo, Tukul, membantah pernyataan Bupati Sudewo yang menyebut tidak ada kenaikan PBB selama 14 tahun. “Zaman Pak Bupati Haryanto naik pajak tidak sampai 100 persen. Itu hanya 10 sampai 20 persen. Pak Bupati Sudewo bilang tidak ada kenaikan pajak 14 tahun itu bohong. Itu sudah ada kenaikan,” tegas Tukul.
Sebagai pedagang kaki lima dengan penghasilan tidak menentu, ia merasa kebijakan ini sangat membebani. Pajaknya yang dulu Rp 36 ribu naik menjadi Rp 60 ribu, dan tahun ini diperkirakan bisa mencapai lebih dari Rp 150 ribu.
Harapan Agar Pemerintah Peka
Keluhan serupa juga datang dari Alinani, seorang warga Batangan, yang PBB-nya naik dari Rp 25 ribu menjadi Rp 144 ribu. Ia berharap pemerintah lebih bijaksana dalam membuat kebijakan. “Harapannya kalau menaikkan pajak harus dipikirkan kondisi rakyatnya, jangan arogan,” ucapnya.
Kekecewaan masyarakat terlihat jelas saat acara kirab boyongan dalam rangka Hari Jadi Kabupaten Pati. Ketika iring-iringan Bupati Sudewo dan Plt Sekretaris Daerah (Sekda) Pati, Riyoso, melintas di sekitar Alun-alun Pati, warga yang hadir kompak menyoraki mereka. Riyoso sendiri menjadi sorotan setelah insiden penyitaan donasi untuk aksi demo.
“Ini karena kebijakan kenaikan PBB itu mungkin sebagai bentuk kekecewaan masyarakat Pati. Yang disoraki Bupati sama Sekdanya,” jelas Mahfud, salah satu warga di lokasi. Koordinator aksi aliansi masyarakat Pati bersatu, Husein Hafid, mengamini hal tersebut, menyatakan bahwa sorakan itu adalah wujud kekecewaan masyarakat terhadap pemimpin mereka. Menanggapi sorakan tersebut, Bupati Sudewo hanya membalas dengan lambaian tangan sambil berkata, “Aman, aman.”
Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, turut angkat bicara mengenai polemik ini. Ia secara tegas meminta Bupati Pati untuk segera membuka komunikasi dengan warganya.
“Prinsipnya adalah disesuaikan dengan kemampuan daerah,” kata Luthfi. “Kemudian yang kedua tidak boleh membebani masyarakat sehingga perintah saya untuk dilakukan evaluasi dan kajian. Kalau perlu diturunkan saat ini juga,” imbuhnya, seraya menekankan pentingnya sosialisasi yang masif.
Menindaklanjuti protes publik dan arahan gubernur, Pemkab Pati menyatakan kesiapannya untuk meninjau ulang kebijakan tersebut. “Kalau dari sisi politik dan sosial ada tuntutan masyarakat, kami akan meninjau ulang. Kami membuka komunikasi, kami siap berkoordinasi dan menyesuaikan jika memang ada yang perlu diturunkan,” kata Sudewo.
Dasar Hukum Kenaikan PBB
Sudewo menjelaskan bahwa kenaikan ini merupakan akibat dari penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang tidak pernah diperbarui selama 14 tahun. Padahal, menurut aturan, pembaruan NJOP seharusnya dilakukan setidaknya setiap tiga tahun. “Jadi, ini adalah penyesuaian NJOP, bukan semata-mata kenaikan PBB.
Kenaikan PBB adalah akibat dari penyesuaian NJOP tersebut, dan kenaikan maksimal 250 persen,” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 17 Tahun 2025 yang menjadi dasar kebijakan ini telah dikonsultasikan dengan Kemendagri dan Pemprov Jateng serta dinyatakan tidak melanggar aturan yang lebih tinggi.