May 23, 2025 By Rio Baressi
23 Mei 2025 – Lebih dari tujuh dekade setelah Indonesia merdeka, jejak-jejak peninggalan kolonial Belanda masih terasa kuat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Dari sistem hukum yang masih mengacu pada warisan colonial hingga budaya birokrasi yang mengedepankan simbolisme seragam dinas, warisan Belanda telah menjadi bagian integral dari identitas bangsa Indonesia modern. Pepatah Prancis “Plus ça change, plus c’est la même chose” yang berarti “semakin berubah semakin tetap sama” sangat tepat menggambarkan fenomena ini, di mana perubahan zaman tidak serta merta menghilangkan akar-akar kolonialisme yang telah tertanam dalam struktur sosial dan budaya Indonesia.
Pada masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), konsep seragam atau baju dinas bagi pegawai negeri sipil belum dikenal. VOC sebagai perusahaan dagang yang memiliki recht oktroi (hak oktroi) dari Republik Belanda hanya menerapkan seragam untuk resimen tentaranya. Meskipun berfungsi seperti sebuah negara dengan kemampuan merekrut tentara sendiri dan menyatakan perang, VOC tetap mempertahankan karakter komersialnya dalam hal administrasi sipil.
Titik balik sejarah busana dinas di Indonesia terjadi ketika Herman Willem Daendels, seorang Marsekal Legion Prancis berkebangsaan Belanda, diangkat sebagai Gubernur Jenderal Batavia pada periode 1808-1811. Daendels, yang ditunjuk oleh Raja Lodewijk Napoleon setelah Napoleon Bonaparte menaklukkan Belanda, membawa perubahan revolusioner dalam gaya berbusana dan etiket sosial pemerintahan kolonial.
Berbeda dengan gubernur jenderal VOC sebelumnya yang menggunakan busana elite kebangsawanan Belanda abad ke-17, Daendels memperkenalkan gaya berpakaian formal berupa seragam marsekalnya. Ketika melakukan kunjungan pertama ke Surakarta pada tahun 1809 dengan pengawalan 300 kavaleri dan 300 infanteri, para Pangeran dan Raja Jawa sangat terkesan dengan karakter militer sang gubernur jenderal beserta busana marsekalnya.
Setelah implementasi sentralisasi pemerintahan oleh Daendels, dimulailah tradisi dalam dinas kolonial Belanda (binnenlands bestuur) dan elite priyayi administratif pribumi Jawa dan Sunda pasca-Perang Jawa (1825-1830). Para pejabat mulai mengenakan seragam untuk menandai status mereka sebagai pejabat sipil pemerintah, tradisi yang berlanjut hingga era modern dengan para Aparatur Sipil Negara (ASN) Indonesia saat ini.
Daendels juga memperkenalkan penghargaan pangkat militer tinggi dan penggunaan seragam militer bagi bangsawan Jawa dan Madura sebagai sistem penghargaan murah untuk mengikat kesetiaan para pangeran dan raja. Penganugerahan seragam dan pangkat memberikan dimensi Eropa bagi etiket feodal keraton yang merevolusi hubungan sosial di antara elite Jawa.
Kekuatan simbolis seragam dinas dalam menciptakan privilege sosial tercermin dari catatan Pangeran Bernhard dari Saxe-Weimar pada tahun 1840. Ketika berkunjung ke Keraton Sultan Paku Nataningrat di Sumenep Madura, ia menemukan sekelompok pangeran anggota keluarga Raja berjongkok di tanah, sementara mereka yang mengenakan seragam berdiri setara dengan para tuan Eropanya.
Undang-Undang Dasar Hindia Belanda (Indische Staatregeling) membagi penduduk menjadi tiga golongan dengan tingkat privilege berbeda. Golongan Eropa menempati posisi tertinggi dengan segala keistimewaan, golongan Timur Asing termasuk Tionghoa sebagai kelas kedua, dan pribumi atau bumiputera (inlanders) berada pada level paling bawah dengan diskriminasi yang nyata, seperti plang “verboden voor honden en inlander” (dilarang masuk bagi anjing dan pribumi) di tempat-tempat hiburan elite.
Mentalitas inlanders (terjajah) telah mengakar dalam kultur masyarakat Indonesia hingga saat ini. Hal ini tercermin dari pandangan sebagian masyarakat yang masih menganggap menjadi ASN sebagai jalan untuk meraih kesejahteraan dan mengangkat status sosial. Akibatnya, mentalitas inlanders diturunkan melalui tradisi keluarga birokrat kolonial dalam wujud kebudayaan yang tampak (sosiofact) seperti busana atau baju dinas sebagai simbol privilege status sosial.
Meskipun telah terjadi perubahan radikal dalam relasi kuasa antara ambtenaar (pegawai negeri kolonial) dengan warga negara sejak Indonesia merdeka, pergeseran posisi pegawai negeri dari “tuan” menjadi “abdi” atau “pelayan” masyarakat belum sepenuhnya menggeser mentalitas privilege simbolisasi berlebihan pakaian ASN.
Sistem hukum Indonesia masih mengadopsi model civil law atau hukum Eropa Kontinental yang berasal dari hukum Romawi dan dikembangkan oleh Belanda. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang berasal dari Burgerlijk Wetboek Belanda tahun 1848 masih digunakan sebagai dasar hukum perdata di Indonesia hingga kini, meskipun sejak tahun 2008 telah ada upaya untuk menggantinya.
Sejarah hukum pidana Indonesia terbagi menjadi empat periode penting. Masa sebelum penjajahan dengan norma pidana adat yang berlaku secara terpisah menurut wilayah kekuasaan setiap kerajaan, masa kolonial Belanda dengan dualisme hukum antara Hukum Belanda Kuno dan Hukum Adat, masa pendudukan Jepang yang relatif singkat namun tetap menggunakan aturan Belanda, dan masa kemerdekaan yang masih mempertahankan KUHP warisan kolonial.
KUHP yang berlaku saat ini merupakan terjemahan dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie pada 1915. Melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, pemerintah Indonesia mengubah nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang akan digantikan oleh KUHP baru berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2023 pada tahun 2026.
Jalur kereta api di Hindia Belanda merupakan yang tertua kedua di Asia setelah India pada era 1800-an. Priangan menjadi wilayah prioritas pembangunan rel kereta api sebagai sarana pengangkut hasil bumi dan tumpuan ekonomi pemerintah kolonial Belanda. Pembangunan jalur dimulai dari Stasiun Bogor atau Buitenzorg pada tahun 1873 oleh Nederlandsch Indische Spoorweg (NIS) dan dilanjutkan oleh Staatsspoorwegen pada 1879.
Pembangunan jalur kereta Priangan menghadapi tantangan medan berbukit yang diapit Gunung Pangrango dan Gunung Salak, memerlukan konstruksi jembatan dan jalur berkelok-kelok. Stasiun Bogor dibangun dengan kemegahan luar biasa, menggunakan material berkualitas nomor satu dengan fasad berukiran kayu yang jarang ditemui di stasiun lain, serta ruang VIP dengan lantai marmer dan ukiran kayu jati untuk gubernur jenderal.
Jalur kereta api tidak hanya berfungsi sebagai sarana transportasi ekonomi, tetapi juga sebagai transportasi wisata untuk orang-orang Belanda. Stasiun Cigombong menjadi bukti nyata fungsi wisata ini, dengan posisinya yang dekat dengan tempat wisata tetirah Danau Lido yang populer di kalangan orang Belanda dan dapat dijangkau dengan mudah menggunakan kereta api.
Kebudayaan Belanda turut mempengaruhi kuliner Indonesia melalui proses adaptasi dan akulturasi yang panjang. Meskipun pada awalnya menggunakan resep Belanda, cita rasa kuliner lokal yang kita kenal saat ini telah mengalami percampuran budaya sehingga sesuai dengan selera lidah masyarakat Indonesia.
Lapis legit yang sangat populer di Indonesia merupakan adaptasi dari ‘spekkoek’ Belanda yang biasa hadir dalam jamuan bergaya kolonial. Meskipun mirip dengan kue lapis ala Eropa, lapis legit Indonesia memiliki keunikan dengan penambahan rempah-rempah khas Asia Tenggara seperti kayu manis, bunga pala, dan cengkeh.
Istilah semur berasal dari bahasa Belanda ‘smoor’ yang berarti rebusan atau ‘smoren’ yang berarti merebus. Di Belanda, smoor adalah daging yang direbus lama bersama tomat dan bawang. Setelah masuk ke Indonesia, semur berkembang dengan citarasa lokal dan menjadi kuliner khas di berbagai daerah, seperti semur jengkol yang populer di kalangan masyarakat Betawi.
Perkedel yang merupakan gorengan khas Indonesia terbuat dari kentang tumbuk dan berbagai inovasi bahan lainnya. Makanan ini diadaptasi dari frikadeller Belanda yang terbuat dari campuran kentang tumbuk dan cincangan daging, yang pada awalnya juga merupakan adaptasi Belanda dari gorengan daging cincang asal Denmark.
Struktur pemerintahan daerah Indonesia banyak mengadopsi sistem yang diperkenalkan pada masa kolonial, seperti sistem residen dan bupati dalam administrasi wilayah. Pembagian wilayah administratif seperti provinsi dan kabupaten juga merupakan warisan dari sistem administrasi pemerintahan kolonial Belanda.
Upaya dekolonisasi tidak hanya sebatas kemerdekaan politik, tetapi juga memerlukan transformasi mental dan struktural yang mendalam. Indonesia perlu berkaca pada negara-negara maju seperti Amerika Serikat yang tidak lagi menggunakan seragam untuk ASN, kecuali polisi dan militer, atau Jepang pasca restorasi Meiji yang menghilangkan sosiofact tradisi Samurai namun mempertahankan mentifact nilai-nilai bushido.
Historia vitae magistra (sejarah adalah guru kehidupan) menjadi pengingat pentingnya memahami asal-muasal fenomena sosial yang ada saat ini. Pemahaman mendalam tentang warisan kolonial dapat membantu Indonesia dalam melakukan transformasi yang lebih bermakna, tidak hanya mengubah bentuk luar tetapi juga substansi yang mendasarinya.
Indonesia perlu menemukan keseimbangan yang tepat antara melestarikan warisan budaya yang positif dan melakukan modernisasi yang sesuai dengan nilai-nilai demokratis dan egalitarian. Hal ini memerlukan pemilahan yang bijaksana antara sosiofact (wujud kebudayaan yang tampak) dan mentifact (wujud kebudayaan yang tidak tampak) dalam warisan kolonial.
Proses dekolonisasi mental yang komprehensif memerlukan kesadaran kolektif tentang pentingnya mengubah mindset dari mentalitas inlanders menjadi mentalitas merdeka yang sejati. Hal ini mencakup transformasi dalam cara pandang terhadap jabatan publik dari privilege menjadi pelayanan, serta pergeseran nilai dari feodalisme menuju egalitarianisme.
Warisan kolonial Belanda dalam kehidupan modern Indonesia mencerminkan kompleksitas sejarah bangsa yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Dari sistem hukum yang masih bertahan hingga budaya birokrasi yang mengedepankan simbolisme, dari infrastruktur kereta api yang menjadi tulang punggung transportasi hingga kuliner yang telah menjadi bagian identitas nasional, pengaruh Belanda telah terintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Namun, penting untuk memahami bahwa warisan ini bukanlah sesuatu yang harus diterima begitu saja tanpa evaluasi kritis. Seperti yang ditunjukkan oleh fenomena budaya seragam dinas ASN, beberapa warisan kolonial justru bertentangan dengan nilai-nilai kemerdekaan dan demokrași yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia.
Ke depannya, Indonesia perlu melakukan dekolonisasi mental yang lebih komprehensif, tidak hanya dalam aspek politik tetapi juga dalam struktur sosial, budaya, dan sistem pemerintahan. Pembelajaran dari negara-negara lain yang berhasil melakukan transformasi pasca-kolonial dapat menjadi inspirasi untuk menciptakan Indonesia yang benar-benar merdeka, tidak hanya secara politik tetapi juga secara mental dan struktural.
Pepatah Prancis “Plus ça change, plus c’est la même chose” tidak harus menjadi kenyataan yang abadi. Dengan kesadaran sejarah yang mendalam dan komitmen untuk perubahan yang substansial, Indonesia dapat mengubah narasi tersebut menjadi “semakin berubah, semakin merdeka” dalam arti yang sesungguhnya.