March 28, 2025 By Abril Geralin
28 Maret 2025 – Baru-baru ini, Menteri HAM Natalius Pigai meminta kepada Kapolri untuk mempertimbangkan penghapusan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) bagi mantan narapidana (napi). Menurutnya, dokumen ini justru menjadi hambatan bagi mereka yang ingin memulai hidup baru. Namun, sebelum kita membahas lebih jauh apakah SKCK seharusnya dihapuskan, mari kita memahami lebih dulu apa itu SKCK dan bagaimana sejarah serta peranannya di Indonesia.
Surat Keterangan Catatan Kepolisian atau SKCK adalah dokumen resmi yang mencatatkan riwayat seseorang terkait dengan catatan kriminal atau tindak pidana yang pernah dilakukan. Di Indonesia, SKCK tidak hanya berfungsi sebagai dokumen administratif, tapi juga memiliki sejarah panjang yang bermula sejak masa penjajahan Belanda.
Pada zaman kolonial, dokumen ini dikenal dengan nama “Verklaring van Goed Gedrag,” atau dalam bahasa Indonesia disebut Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB). SKKB pada masa itu digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mengawasi dan mengendalikan penduduk pribumi. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari kebijakan yang dikenal dengan “Declaration of Applicability” dan “Voluntary Submission,” yang bertujuan untuk menjaga stabilitas dan keamanan di masyarakat kolonial.
Setelah Indonesia merdeka, penggunaan SKKB tetap berlanjut, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Pada awal 2000-an, SKKB kemudian berubah nama menjadi SKCK. Perubahan nama ini bukan sekadar soal perubahan administratif, tetapi juga untuk menciptakan sistem yang lebih komprehensif dan akurat dalam mencatat riwayat seseorang terkait dengan hukum dan ketertiban.
SKCK memiliki beberapa fungsi penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dokumen ini diatur sedemikian rupa untuk memastikan keamanan dan transparansi dalam interaksi antara warga negara dengan berbagai institusi. Berikut adalah empat fungsi utama dari SKCK:
Fungsi pertama SKCK adalah untuk memverifikasi identitas seseorang terkait dengan catatan kriminal. Ini penting, terutama saat seseorang ingin melamar pekerjaan atau mengajukan permohonan izin tertentu yang memerlukan jaminan bahwa orang tersebut tidak memiliki riwayat kriminal.
SKCK juga digunakan dalam berbagai proses seleksi, baik itu untuk pekerjaan, pendidikan, maupun perizinan. Dalam konteks ini, SKCK berfungsi sebagai alat penyaringan untuk memastikan bahwa individu yang dipilih memiliki rekam jejak yang baik dan tidak terlibat dalam tindakan kriminal.
SKCK turut berperan dalam pencegahan kejahatan. Dengan mencatat dan memverifikasi riwayat kriminal seseorang, SKCK memberikan informasi yang berguna bagi pihak berwenang untuk memitigasi risiko kejahatan yang mungkin dilakukan oleh individu tersebut.
Sebagai alat yang menghubungkan individu dengan institusi, SKCK juga berfungsi untuk menciptakan transparansi. Ini memberikan keyakinan kepada berbagai pihak bahwa seseorang memiliki integritas yang baik dan tidak terlibat dalam aktivitas ilegal yang dapat merugikan masyarakat.
Meskipun memiliki berbagai fungsi yang mendukung keamanan dan transparansi, SKCK juga mengundang kontroversi, terutama dalam konteks rehabilitasi sosial bagi mantan napi. Banyak mantan napi yang merasa kesulitan untuk melanjutkan hidup mereka setelah menjalani hukuman penjara, karena harus mencantumkan catatan kriminal mereka dalam SKCK.
Hal ini menjadi penghalang utama bagi mereka yang ingin memperoleh pekerjaan atau melanjutkan kehidupan yang lebih baik di masyarakat. Banyak perusahaan atau lembaga yang mensyaratkan SKCK sebagai salah satu dokumen dalam proses perekrutan. Bagi mantan napi, ini menjadi tantangan besar, karena catatan kriminal yang tercatat di SKCK sering kali membuat mereka ditolak untuk pekerjaan, bahkan untuk pekerjaan yang mungkin seharusnya bisa mereka jalani dengan baik.
Akibatnya, beberapa mantan napi mungkin merasa terpaksa untuk kembali terlibat dalam tindakan kriminal sebagai cara bertahan hidup, daripada mencoba untuk beradaptasi kembali ke masyarakat yang sering kali mengucilkan mereka. Ini tentu menjadi masalah serius, karena rehabilitasi sosial yang seharusnya membantu mereka untuk kembali ke jalan yang benar justru terhambat oleh sistem yang ada.
Permintaan Menteri HAM Natalius Pigai agar SKCK dihapuskan untuk mantan napi memang menarik untuk dipertimbangkan. Di satu sisi, SKCK memiliki peran besar dalam menjaga stabilitas sosial dan memberikan transparansi terkait riwayat hukum seseorang. Namun, di sisi lain, kita harus menyadari bahwa bagi mantan napi, dokumen ini seringkali menjadi beban yang menghambat mereka untuk memulai hidup baru dan berkontribusi kembali kepada masyarakat.
Salah satu alternatif yang bisa dipertimbangkan adalah penyusunan sistem yang lebih inklusif, di mana mantan napi diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka telah menjalani rehabilitasi dan telah berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Salah satu opsi yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan tanda atau sertifikat khusus bagi mantan napi yang telah berhasil menyelesaikan program rehabilitasi atau yang telah terbukti memiliki perilaku baik setelah keluar dari penjara. Dengan begitu, mereka tetap dapat menggunakan SKCK tanpa merasa terbebani dengan masa lalu mereka yang kelam.
Selain itu, bisa juga dipertimbangkan untuk memberikan pengecualian atau kebijakan khusus bagi mantan napi yang berkomitmen untuk tidak mengulangi kesalahan mereka di masa lalu. Hal ini tentu perlu didiskusikan lebih lanjut oleh pihak-pihak terkait, termasuk pemerintah dan lembaga rehabilitasi sosial.
SKCK adalah alat yang penting untuk menjaga keamanan dan transparansi dalam masyarakat. Namun, kita harus menyadari bahwa dalam hal rehabilitasi sosial, sistem ini mungkin perlu disesuaikan agar lebih inklusif dan tidak menghalangi mantan napi untuk memulai hidup baru. Keputusan untuk mengubah atau menghapus SKCK tentu harus mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan akan keamanan dan upaya untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif.
Dengan mempertimbangkan kedua aspek tersebut, kita dapat menciptakan sistem yang tidak hanya menjaga ketertiban dan keamanan, tetapi juga memberikan kesempatan bagi individu yang telah berusaha berubah untuk diterima kembali oleh masyarakat.