February 24, 2025 By Abril Geralin
24 Februari 2025 – Serangga dan ulat mungkin bukan pilihan makanan yang lazim bagi banyak orang. Namun, di berbagai belahan dunia, termasuk di beberapa wilayah Indonesia, serangga telah lama dikonsumsi sebagai sumber gizi yang kaya akan protein dan nutrisi. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan sumber pangan alternatif yang berkelanjutan, serangga mulai dilirik sebagai solusi potensial. Pemerintah pun berencana untuk menjadikan serangga sebagai bagian dari program Makan Bergizi Gratis, sebuah langkah yang memicu beragam tanggapan dari masyarakat.
Meskipun terdengar tidak biasa, konsumsi serangga memiliki banyak manfaat. Beberapa negara seperti China, Korea Selatan, dan Jepang telah lebih dahulu mengadopsi serangga dalam pola makan mereka. Di Indonesia sendiri, beberapa komunitas, terutama di wilayah timur, sudah terbiasa mengonsumsi ulat sagu sebagai makanan sehari-hari. Dengan berbagai kandungan gizi yang dimiliki serangga, wajar jika pemerintah mulai mempertimbangkan opsi ini sebagai bagian dari upaya pemenuhan gizi nasional.
Ketika membayangkan makanan bergizi, sebagian besar orang akan langsung berpikir tentang daging, ikan, sayuran, atau susu. Namun, bagaimana jika serangga dan ulat mulai masuk dalam daftar makanan sehat yang direkomendasikan? Pemerintah berencana mencoba menjadikan serangga dan ulat sebagai salah satu menu dalam program Makan Bergizi Gratis. Gagasan ini tentu terdengar tidak biasa bagi sebagian besar masyarakat, tetapi faktanya, beberapa daerah di Indonesia sudah mengenal konsumsi serangga dan ulat sebagai makanan sehari-hari.
Di Indonesia bagian timur, misalnya, ulat sagu sudah menjadi bagian dari kuliner tradisional masyarakat setempat. Ulat sagu sangat mudah ditemukan dan dipercaya memiliki kandungan gizi yang bermanfaat bagi tubuh. Meskipun terdengar asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, konsumsi serangga sebenarnya sudah menjadi kebiasaan di banyak negara lain.
Bukan hanya di Indonesia, banyak negara lain yang sudah lebih dulu mengenal serangga sebagai makanan sehari-hari. Singapura, China, Korea Selatan, dan Jepang adalah contoh negara yang telah memperbolehkan dan bahkan mendorong konsumsi serangga sebagai bagian dari pola makan yang sehat. Di beberapa negara ini, serangga dianggap sebagai sumber protein alternatif yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
China, misalnya, telah lama memanfaatkan ulat sutera bukan hanya sebagai sumber makanan tetapi juga sebagai obat tradisional. Masyarakat di sana percaya bahwa ulat sutera memiliki manfaat kesehatan yang bisa membantu mengatasi berbagai penyakit. Sementara itu, di Korea Selatan dan Jepang, berbagai jenis serangga seperti jangkrik dan belalang diolah menjadi camilan yang gurih dan kaya nutrisi.
Salah satu alasan utama mengapa serangga dan ulat mulai dilirik sebagai makanan alternatif adalah kandungan gizinya yang tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa serangga memiliki kandungan protein yang tidak kalah dari sumber protein hewani lainnya. Jangkrik, misalnya, mengandung sekitar 12,9 gram protein per 100 gram. Kandungan protein ini menjadikannya sebagai sumber protein yang potensial, terutama bagi mereka yang mencari alternatif selain daging sapi atau ayam.
Selain jangkrik, ulat sutera juga memiliki manfaat kesehatan yang cukup besar. Di China, ulat sutera telah lama digunakan dalam pengobatan tradisional karena diyakini dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan membantu mengobati berbagai penyakit. Kandungan nutrisi dalam ulat sutera termasuk asam amino esensial, vitamin, serta mineral yang penting bagi tubuh.
Meskipun serangga memiliki banyak manfaat, tidak semua serangga dapat dikonsumsi. Beberapa jenis serangga bahkan beracun dan bisa berbahaya bagi kesehatan manusia. Salah satu contoh serangga yang tidak boleh dikonsumsi adalah belalang setan, yang diketahui memiliki zat beracun yang dapat membahayakan tubuh jika dikonsumsi.
Meskipun berbagai penelitian dan pengalaman dari negara lain menunjukkan bahwa serangga dan ulat memiliki banyak manfaat, masyarakat Indonesia masih skeptis terhadap bahan makanan ini. Salah satu alasan utama adalah faktor budaya dan kebiasaan. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap serangga sebagai hama atau sesuatu yang tidak layak dikonsumsi.
Selain itu, ada tantangan dalam hal rasa dan tampilan makanan. Bagi mereka yang belum terbiasa, melihat serangga di atas piring mungkin akan menimbulkan rasa jijik atau enggan untuk mencobanya. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan khusus untuk mengenalkan serangga sebagai sumber makanan yang layak dan bergizi.
Namun, dengan semakin meningkatnya kesadaran akan keberlanjutan pangan dan kebutuhan akan sumber protein alternatif, kemungkinan besar konsumsi serangga di Indonesia akan terus berkembang. Pemerintah dan berbagai pihak terkait perlu melakukan edukasi serta inovasi dalam pengolahan serangga agar dapat diterima oleh masyarakat luas.
Dengan semakin berkembangnya penelitian dan inovasi dalam industri pangan, serangga berpotensi menjadi salah satu solusi bagi tantangan pangan global. Selain memiliki kandungan gizi yang tinggi, serangga juga lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan sumber protein hewani lainnya. Peternakan serangga membutuhkan lebih sedikit lahan, air, dan pakan dibandingkan dengan peternakan sapi atau ayam, sehingga dapat menjadi alternatif yang lebih berkelanjutan.
Sejumlah negara sudah mulai mengembangkan berbagai produk berbasis serangga, seperti tepung jangkrik yang bisa digunakan dalam pembuatan roti, biskuit, atau makanan lainnya. Inovasi semacam ini dapat membantu meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap serangga sebagai sumber pangan. Jika edukasi dan inovasi dalam pengolahan serangga terus dikembangkan, bukan tidak mungkin di masa depan serangga akan menjadi bagian dari pola makan masyarakat Indonesia.
Sebagai langkah awal, pemerintah dan industri pangan bisa mencoba memperkenalkan serangga dalam bentuk yang lebih bisa diterima oleh masyarakat, seperti dalam bentuk tepung atau campuran dalam produk makanan yang sudah familiar. Dengan cara ini, masyarakat bisa lebih terbuka terhadap konsumsi serangga tanpa harus langsung mengonsumsi serangga dalam bentuk utuh.
Serangga dan ulat memang masih terdengar asing sebagai sumber makanan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun, dengan kandungan gizi yang tinggi dan berbagai manfaat kesehatan yang dimilikinya, serangga berpotensi menjadi alternatif pangan yang penting di masa depan. Berbagai negara sudah lebih dulu mengadopsi konsumsi serangga, dan Indonesia pun bisa mengikuti jejak mereka dengan pendekatan yang tepat.
Tantangan utama dalam memperkenalkan serangga sebagai makanan adalah mengubah persepsi masyarakat. Edukasi yang tepat serta inovasi dalam pengolahan serangga bisa menjadi kunci agar masyarakat lebih terbuka untuk mencoba makanan berbasis serangga. Dengan demikian, serangga bukan hanya bisa menjadi sumber protein yang bernutrisi, tetapi juga bisa menjadi solusi pangan yang berkelanjutan untuk masa depan.