July 28, 2025 By RB
28 Juli 2025 – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan penting nomor 135 pada tanggal 26 Juni 2025, yang menetapkan bahwa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mendatang akan dilaksanakan secara terpisah dari Pemilihan Umum (Pemilu) nasional. Keputusan ini sontak menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat, memunculkan berbagai pertanyaan mengenai keuntungan dan kerugiannya bagi demokrasi Indonesia. Mari kita telusuri lebih dalam implikasi dari putusan ini.
Putusan MK Nomor 135 tanggal 26 Juni 2025 ini secara spesifik menegaskan dua hal krusial terkait penyelenggaraan Pilkada. Pemisahan jadwal Pilkada dari Pemilu presiden dan legislatif menjadi poin utama yang memiliki dampak signifikan terhadap dinamika politik di Indonesia.
Pemisahan Pilkada dari Pemilu serentak memiliki beberapa keuntungan yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas demokrasi lokal.
Dengan dipisahnya jadwal pemilihan, masyarakat dan media dapat lebih fokus pada masalah-masalah daerah serta calon pemimpin lokal. Hal ini diharapkan dapat menghasilkan diskusi yang lebih mendalam mengenai kebutuhan spesifik setiap daerah, tanpa terdistraksi oleh isu-isu politik nasional yang seringkali lebih mendominasi. Masyarakat dapat lebih cermat dalam menilai visi, misi, dan program kerja calon kepala daerah yang relevan dengan kondisi daerah mereka.
Salah satu keuntungan terbesar dari pemisahan ini adalah berkurangnya beban kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan jajarannya. “Beban kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan jajarannya tidak akan seberat kalau Pilkada digabung Pemilu serentak.” Hal ini berpotensi membuat proses penyelenggaraan pemilu lebih rapi dan meminimalkan kesalahan, mengingat kompleksitas logistik dan administrasi yang sangat tinggi jika keduanya dilaksanakan secara bersamaan. KPU dapat mengalokasikan sumber daya secara lebih terfokus untuk setiap jenis pemilihan.
“Voter fatigue” atau kelelahan pemilih menjadi isu serius dalam pemilu serentak, di mana pemilih harus mencoblos terlalu banyak surat suara dalam satu waktu. Dengan pemisahan ini, “Partisipasi lebih terjaga” karena pemilih tidak akan merasa terlalu lelah dan dapat lebih bijak dalam menentukan pilihannya untuk Pilkada. Kualitas partisipasi diharapkan meningkat karena pemilih memiliki waktu dan fokus yang lebih baik untuk memahami profil calon kepala daerah.
Meskipun memiliki keuntungan, pemisahan Pilkada juga menimbulkan beberapa tantangan yang perlu diantisipasi dan diatasi.
Penyelenggaraan Pilkada secara terpisah membutuhkan anggaran yang cukup besar. Ini menjadi kekhawatiran utama mengingat setiap proses pemilihan membutuhkan alokasi dana yang tidak sedikit untuk logistik, sosialisasi, dan operasional. “Penyelenggaraan Pilkada secara terpisah itu butuh anggaran yang cukup besar.” Pemisahan ini berpotensi meningkatkan total biaya penyelenggaraan demokrasi secara keseluruhan.
“Potensi politik uang atau jual beli suara yang masih jadi masalah yang sulit sekali dihilangkan.” Selain itu, “Kompetisi yang intens dan sering dibumbui politik identitas bisa memicu polarisasi tajam, bahkan kekerasan fisik di masyarakat.” Isu-isu ini masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi demokrasi Indonesia, dan pemisahan Pilkada belum tentu mengurangi risiko tersebut, bahkan bisa jadi memperpanjang periode intensitas politik di masyarakat.
Hal kedua yang ditegaskan oleh putusan MK adalah bahwa Pilkada akan tetap dipilih langsung oleh rakyat. Keputusan ini secara terang-terangan tidak sejalan dengan usulan Presiden Prabowo yang menginginkan Pilkada dikembalikan ke DPRD.
Usulan pengembalian Pilkada ke DPRD memiliki argumen plus dan minusnya.
Dari sisi keuntungan, pengembalian Pilkada ke DPRD diyakini dapat “Lebih efisien anggaran dan bikin politik lebih stabil di tingkat elite.” Hal ini karena biaya pemilu publik akan dihilangkan, yang berarti penghematan besar pada anggaran negara. Stabilitas politik di tingkat elite juga diharapkan meningkat karena proses pemilihan akan terjadi di ranah legislatif, bukan langsung di tengah masyarakat.
Namun, usulan ini juga memiliki kekurangan serius yang dapat merusak esensi demokrasi.
Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pemisahan Pilkada ini merupakan langkah signifikan dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Pertimbangan MK untuk menjaga Pilkada tetap dipilih langsung oleh rakyat menunjukkan komitmen terhadap prinsip kedaulatan rakyat, meskipun ada usulan sebaliknya.
Pemisahan Pilkada dari Pemilu serentak memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas proses demokrasi lokal, dengan fokus yang lebih baik pada isu-isu daerah dan partisipasi pemilih yang lebih terarah. Namun, tantangan terkait biaya dan potensi polarisasi tetap menjadi perhatian serius yang membutuhkan strategi mitigasi yang efektif. Sementara itu, menjaga Pilkada tetap langsung oleh rakyat adalah kunci untuk mempertahankan akuntabilitas pemimpin daerah kepada konstituennya, serta mencegah sentralisasi kekuasaan yang berlebihan.
Pada akhirnya, apakah Pilkada terpisah ini adalah solusi terbaik bagi demokrasi kita, hanya waktu dan implementasi yang akan membuktikan. Yang jelas, keputusan ini menuntut adaptasi dan kerja sama dari berbagai pihak untuk memastikan bahwa tujuan mulia dari demokrasi dapat tercapai, yakni pemerintahan yang bersih, efektif, dan bertanggung jawab kepada rakyatnya.