December 29, 2025 By RB

29 Desember 2025 – Istilah Mata Elang atau yang kerap disebut matel semakin akrab di telinga masyarakat, terutama bagi pemilik kendaraan kredit. Praktik penarikan kendaraan di jalan oleh kelompok ini sering memicu keresahan, konflik, bahkan kekerasan. Namun, di balik stigma negatif tersebut, terdapat aturan hukum yang secara tegas mengatur kapan penarikan kendaraan kredit dibenarkan dan kapan tindakan itu justru melanggar hukum.
Mata Elang merupakan sebutan populer bagi sekelompok penagih utang yang bekerja atas nama perusahaan pembiayaan atau leasing. Tugas utama mereka adalah melacak kendaraan kredit yang cicilannya menunggak atau macet, lalu berupaya menarik kendaraan tersebut dari tangan debitur.
Yang menjadi persoalan, penarikan sering dilakukan di jalan raya atau tempat umum tanpa prosedur hukum yang jelas. Cara ini tidak hanya menimbulkan ketakutan bagi debitur, tetapi juga berpotensi membahayakan keselamatan pengguna jalan lain.
Penarikan kendaraan kredit tidak bisa dilakukan secara sepihak. Hal ini diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia serta diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18 PUU-XVII 2019.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa eksekusi jaminan fidusia harus melalui mekanisme hukum yang sah. Artinya, debt collector tidak dibenarkan menarik kendaraan secara paksa di lapangan tanpa persetujuan debitur atau putusan pengadilan.
Meski demikian, kreditur tetap memiliki hak untuk menarik kendaraan apabila memenuhi sejumlah syarat hukum. Penarikan dianggap sah jika debitur terbukti menunggak cicilan, mengakui telah melakukan wanprestasi, serta menyerahkan kendaraan secara sukarela.
Selain itu, petugas yang melakukan penarikan wajib membawa surat tugas resmi, dan debt collector yang bersangkutan harus terdaftar serta memiliki sertifikasi dari Otoritas Jasa Keuangan. Tanpa memenuhi syarat-syarat tersebut, penarikan kendaraan berpotensi melanggar hukum dan dapat diproses secara pidana maupun perdata.
Selain metode di lapangan, Mata Elang juga diduga memanfaatkan aplikasi digital untuk melacak kendaraan bermasalah hanya dengan memasukkan nomor polisi. Aplikasi tersebut disebut mampu menampilkan data lengkap kendaraan beserta identitas pemiliknya.
Pengamat keamanan siber Alfons Tanujaya menilai praktik ini berbahaya dan melanggar Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Menurutnya, akses data kendaraan secara ilegal membuka risiko kebocoran data yang sulit dikendalikan dan rawan disalahgunakan oleh pihak tidak bertanggung jawab.
Masyarakat perlu memahami haknya saat berhadapan dengan Mata Elang. Langkah pertama adalah tetap tenang dan tidak panik, serta menghindari berhenti di lokasi sepi. Arahkan kendaraan ke tempat yang ramai dan aman.
Selanjutnya, minta identitas petugas serta surat tugas resmi. Tolak penarikan kendaraan di jalan umum dengan menyebutkan dasar hukum yang berlaku, termasuk Undang-Undang Jaminan Fidusia dan Putusan Mahkamah Konstitusi. Jika penarikan tetap dipaksakan, segera hubungi kepolisian dan lakukan konfirmasi status kredit langsung ke perusahaan leasing.
Pemerintah diketahui mulai mengambil langkah tegas dengan memblokir aplikasi-aplikasi ilegal yang digunakan untuk melacak kendaraan. Langkah ini dilakukan melalui mekanisme resmi lintas lembaga sebagai upaya melindungi data pribadi masyarakat dan menekan praktik penarikan kendaraan yang melanggar hukum.
Pemahaman hukum yang baik menjadi kunci agar masyarakat tidak mudah terintimidasi. Dengan mengetahui aturan yang berlaku, debitur dapat melindungi haknya sekaligus mendorong praktik penagihan kredit yang lebih manusiawi dan sesuai hukum.