May 2, 2025 By Rio Baressi
2 Mei 2025 – Pembahasan mengenai legalisasi ganja untuk kepentingan medis terus menjadi topik hangat di Indonesia. Pertemuan antara Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Marthinus Hukom dengan Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai mengindikasikan adanya dinamika baru dalam menyikapi isu ini. Sementara PBB telah menghapus ganja dari kategori narkotika berbahaya sejak 2020, Indonesia masih mempertimbangkan berbagai aspek termasuk manfaat medis, risiko penyalahgunaan, dan dampak sosial.
Pertemuan antara BNN dan Kementerian HAM membahas kemungkinan revisi Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009. Kepala BNN Marthinus Hukom menekankan pentingnya penelitian lebih lanjut sambil mempertimbangkan hak asasi manusia. Namun, Menteri HAM Natalius Pigai menegaskan penolakan keras terhadap legalisasi ganja dan kratom karena dinilai mengancam moralitas dan integritas bangsa.
Komisi PBB untuk Narkotika (CND) telah mengeluarkan ganja dari daftar narkotika berbahaya pada Desember 2020. Sebanyak 27 dari 53 negara anggota mendukung keputusan ini, membuka peluang penelitian lebih luas untuk manfaat medis ganja. Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Swiss telah melegalkan penggunaan ganja medis dengan regulasi ketat.
Ganja mengandung lebih dari 100 senyawa aktif, termasuk cannabidiol (CBD) dan tetrahydrocannabinol (THC). CBD dikenal sebagai komponen non-psikoaktif yang memiliki berbagai manfaat terapeutik.
Ganja terbukti efektif meredakan nyeri kronis, terutama pada penderita multiple sclerosis dan neuropati. Senyawa CBD berinteraksi dengan reseptor saraf untuk menghambat sinyal nyeri.
FDA Amerika Serikat telah menyetujui obat berbasis CBD seperti Epidiolex untuk mengatasi kejang langka pada sindrom Lennox-Gastaut dan Dravet. Penelitian menunjukkan CBD dapat menstabilkan aktivitas listrik di otak.
Tekanan intraokular yang tinggi pada penderita glaukoma dapat diturunkan dengan penggunaan ganja medis. Hal ini membantu mencegah kerusakan saraf optik yang berujung pada kebutaan.
Pasien kanker yang menjalani kemoterapi sering mengalami mual dan muntah parah. Ganja medis dapat mengurangi gejala ini sekaligus merangsang nafsu makan.
Penelitian awal menunjukkan ganja mungkin bermanfaat untuk memperlambat perkembangan Alzheimer, meredakan gejala PTSD, dan membantu ketergantungan opioid. Namun, bukti ilmiahnya masih terbatas dan memerlukan studi lebih lanjut.
Kasus Santi Warastuti, seorang ibu yang memperjuangkan ganja medis untuk anaknya yang menderita cerebral palsy, menyoroti dilema hukum dan medis di Indonesia. Santi mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi agar ganja bisa digunakan untuk terapi.
Dr. Irawati Hawari dari Yayasan Epilepsi Indonesia mengakui bahwa meskipun ada manfaat potensial, bukti ilmiah ganja medis masih terbatas. Ia menekankan pentingnya evidence-based medicine dan alternatif pengobatan lain yang sudah terbukti aman.
Ma’ruf Bajammal dari LBH Masyarakat menyatakan bahwa UU Narkotika seharusnya tidak melarang total penggunaan ganja medis, tetapi mengatur peredarannya untuk mencegah penyalahgunaan. Ia menegaskan bahwa hak kesehatan warga negara harus diutamakan.
Perdebatan tentang legalisasi ganja medis di Indonesia melibatkan pertimbangan hukum, medis, dan sosial. Di satu sisi, ada potensi manfaat kesehatan yang signifikan, terutama untuk pasien dengan kondisi kronis. Di sisi lain, risiko penyalahgunaan dan dampak sosial tetap menjadi tantangan besar.
Pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan berbasis bukti ilmiah, sambil memastikan regulasi ketat untuk mencegah penyalahgunaan. Kolaborasi antara penegak hukum, tenaga medis, dan masyarakat sipil akan menjadi kunci dalam menemukan solusi yang seimbang.