October 7, 2025 By pj
7 Oktober 2025 – Pernahkah kamu memperhatikan Patung Selamat Datang di Bundaran HI? Gaya realisnya, dengan figur manusia yang tegas dan penuh semangat, sekilas mengingatkan pada patung-patung bergaya Soviet. Tak hanya itu, Stadion Gelora Bung Karno (GBK) juga memiliki kemiripan dengan Stadion Luzhniki di Moskow — mulai dari desain monumental hingga skala megahnya. Semua itu bukan kebetulan. Ada jejak Uni Soviet yang sangat dalam dalam sejarah pembangunan Jakarta, terutama di era Presiden Soekarno.
Pada masa Presiden Soekarno, hubungan Indonesia dan Uni Soviet berada di puncak keakraban. Persahabatan kedua negara bukan hanya di bidang politik dan militer, tetapi juga seni, budaya, dan arsitektur.
Beberapa patung paling ikonik di Jakarta lahir dari semangat sosialisme dan realisme ala Soviet, sebuah aliran seni yang menonjolkan kerja keras, perjuangan rakyat, dan kebanggaan nasional.
Sebut saja Patung Pembebasan Irian Barat, yang menggambarkan semangat perlawanan terhadap neo-kolonialisme. Lalu Monumen Dirgantara atau yang lebih dikenal sebagai Patung Pancoran, melambangkan cita-cita Indonesia untuk “menjulang di angkasa”. Dan tentu saja, Patung Selamat Datang di Bundaran HI yang menjadi simbol keterbukaan bangsa Indonesia terhadap dunia luar — semuanya lahir dari visi artistik Soekarno yang sangat dipengaruhi oleh realisme Soviet.
Pengaruh Uni Soviet di Jakarta bukan cuma dalam bentuk ide atau inspirasi. Ada juga kontribusi langsung dari seniman dan arsitek Soviet. Salah satu contohnya adalah Tugu Tani, karya pematung terkenal asal Rusia, Matvey Manizer, dan putranya. Patung ini merupakan hadiah langsung dari pemerintah Uni Soviet kepada Indonesia dan menggambarkan semangat perjuangan rakyat dalam melawan penindasan.
Tak berhenti di situ, Rumah Sakit Persahabatan di Rawamangun juga dibangun dengan bantuan Uni Soviet sebagai simbol kerja sama bilateral dalam bidang kesehatan.
Namun, proyek terbesar dan paling monumental tentu saja adalah Stadion Gelora Bung Karno. Dibangun untuk Asian Games 1962, stadion ini dibiayai melalui pinjaman khusus dari Uni Soviet senilai US$12,5 juta.
Inspirasi pembangunannya datang setelah Soekarno berkunjung ke Moskow pada tahun 1956, di mana ia terkesima melihat megahnya Stadion Luzhniki. Dari situlah desain GBK diadaptasi — bukan untuk meniru, tapi untuk menghadirkan simbol kejayaan bangsa Indonesia di mata dunia.
Lebih dari enam dekade berlalu, jejak Uni Soviet masih bisa kita rasakan di wajah Jakarta. Dari patung-patung monumental di tengah kota, gedung-gedung berarsitektur megah, hingga semangat kemandirian dan kebanggaan nasional yang tertanam di balik setiap karya seni.
Warisan itu menjadi saksi masa ketika Indonesia berdiri di antara dua kekuatan besar dunia — Amerika Serikat dan Uni Soviet — namun tetap berdiri tegak dengan identitasnya sendiri.
Kini, ketika kita melewati Bundaran HI, menatap Patung Pancoran, atau menonton pertandingan di GBK, tanpa sadar kita juga sedang menyaksikan hasil dari diplomasi budaya era Soekarno.
Jakarta bukan hanya ibu kota politik dan ekonomi, tetapi juga museum hidup dari pengaruh global, termasuk dari Uni Soviet yang pernah menjadi sekutu strategis Indonesia.
Jadi, kalau kamu berjalan-jalan di Jakarta, bangunan atau monumen mana yang menurutmu paling terasa aura Soviet-nya?