June 26, 2025 By RB
26 Juni 2025 – Pernyataan kontroversial dari mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra Hamzah, membuka perdebatan soal batasan hukum dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Dalam sidang uji materiil di Mahkamah Konstitusi (MK), Chandra menyoroti potensi kriminalisasi masyarakat kecil seperti penjual pecel lele di trotoar. Ia menegaskan bahwa ketidakjelasan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bisa mengakibatkan penegakan hukum yang tak sesuai prinsip keadilan.
Dalam sidang gugatan uji materiil terhadap UU Tipikor Nomor Perkara 142/PUU-XXII/2024, Chandra Hamzah menjelaskan bahwa rumusan Pasal 2 dan 3 sangat rawan multitafsir. Ia mengatakan, “Maka penjual pecel lele bisa dikategorikan, diklasifikasikan melakukan tindak pidana korupsi; ada perbuatan memperkaya diri sendiri, ada melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara.”
Menurutnya, karena trotoar adalah fasilitas publik yang tidak boleh digunakan untuk berdagang, maka penjual yang mencari keuntungan di atasnya bisa dianggap merugikan negara. Ketentuan ini dinilai melanggar asas legalitas pidana, yaitu lex certa dan lex stricta, yang menuntut kejelasan dan ketegasan dalam perumusan pasal.
Pasal 2 Ayat (1) menyebut bahwa setiap orang yang memperkaya diri secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara dapat dihukum minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun, serta denda Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar. Sedangkan Pasal 3 menyasar penyalahgunaan wewenang oleh “setiap orang” yang merugikan keuangan negara, dengan ancaman hukuman serupa.
Chandra berpendapat, penggunaan frasa “setiap orang” menjadi persoalan serius karena bisa menjebak warga biasa yang tidak memiliki kekuasaan untuk menyalahgunakan wewenang. Ia menekankan bahwa “tidak setiap orang memiliki kekuasaan yang korup.”
Chandra secara tegas menyatakan bahwa Pasal 2 Ayat (1) sebaiknya dihapus. “Saya berpendapat untuk dihapuskan karena rumusannya melanggar asas lex certa, perbuatan apa yang dinyatakan sebagai korupsi,” ujarnya. Untuk Pasal 3, ia menyarankan revisi dengan merujuk pada Article 19 dari United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), yang secara khusus menargetkan “pegawai negeri” dan “penyelenggara negara” sebagai pelaku penyalahgunaan wewenang.
Ia mengatakan, “Frasa ‘Setiap Orang’ diganti dengan ‘Pegawai Negeri’ dan ‘Penyelenggara Negara’ karena itu memang ditujukan untuk Pegawai Negeri dan kemudian menghilangkan frasa ‘yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara’ sebagaimana rekomendasi UNCAC.”
Dalam sidang tersebut juga hadir Amien Sunaryadi, mantan Wakil Ketua KPK (2003–2007), yang menyoroti praktik penegakan hukum korupsi di Indonesia. Ia menyebut bahwa meski UU Tipikor mencantumkan banyak bentuk korupsi seperti suap, yang paling sering ditindak justru perkara yang melibatkan kerugian keuangan negara.
“Korupsi yang ditulis di Undang-Undang yang berlaku adalah suap, tapi yang dikejar-kejar merugikan keuangan negara,” ujarnya. Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam penindakan dan penerapan hukum.
Kasus ini mencerminkan urgensi untuk memperbaiki ketentuan hukum dalam UU Tipikor agar tidak menjadi alat kriminalisasi terhadap masyarakat kecil. Pendapat Chandra Hamzah menegaskan pentingnya kejelasan hukum dalam setiap perumusan delik pidana agar tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan tidak menimbulkan ketakutan yang tidak perlu di tengah masyarakat.
Related Tags & Categories :