August 2, 2025 By RB
02 Agustus 2025 – Tren performative male belakangan ini tengah ramai diperbincangkan di media sosial seperti TikTok, Instagram, hingga platform X. Dengan tampilan yang kalem dan artistik, pria performatif menjadi simbol maskulinitas baru yang lebih inklusif dan jauh dari stereotip pria dominan. Fenomena ini bahkan sampai dijadikan kontes, baik di luar negeri maupun di Indonesia.
Istilah performative male merujuk pada pria muda yang tampil dengan gaya tenang, artsy, dan berpikiran terbuka. Mereka sering digambarkan membawa tote bag dari musisi indie, memegang segelas matcha latte, mengenakan earphone kabel sambil mendengarkan musik emosional seperti Clairo atau Phoebe Bridgers, serta membawa buku bertema feminis karya Sylvia Plath atau Joan Didion.
Menurut Esquire Magazine, fenomena ini adalah bentuk upaya para pria muda menampilkan sisi emosional dan intelektual mereka agar terlihat lebih menarik di mata perempuan modern. Gaya ini dianggap sebagai bentuk pergeseran dari maskulinitas tradisional menuju bentuk ekspresi diri yang lebih lembut dan inklusif.
Istilah performative sendiri merujuk pada tindakan yang disengaja untuk menciptakan kesan tertentu. Dalam konteks ini, para pria menunjukkan citra yang selaras dengan selera perempuan modern, bukan lagi maskulin yang kaku dan dominan. Gaya ini disebut sebagai representasi dari female gaze, kebalikan dari male gaze yang selama ini mendominasi cara pandang dalam media populer.
“Female gaze” memberikan ruang bagi karakter pria yang lebih peka, emosional, dan tidak terjebak pada stereotip lama. Hal ini berkaitan dengan teori Laura Mulvey tentang male gaze dalam studi film feminis, serta pandangan John Berger yang menyebutkan bahwa persepsi seseorang terhadap media tidak bisa netral karena dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan alam bawah sadar.
Tren ini tidak hanya berhenti sebagai gaya berpakaian atau cara bersikap. Di New York City, sebuah kontes Performative Male pernah digelar pada 21 Juli lalu. Para peserta hadir dengan identitas khas mereka: tote bag, matcha latte, earphone kabel, dan boneka Labubu. Kontes ini menjadi bukti bagaimana performative male telah menjadi simbol budaya populer yang mengaburkan batas antara performatif dan autentik.
Tak hanya di luar negeri, tren ini juga mulai menjamur di Indonesia. Platform X sempat diramaikan dengan pengumuman Performative Male Contest di Jakarta yang memancing antusiasme warganet, terutama dari kalangan Gen Z.
Figur publik seperti Timothée Chalamet dan Paul Mescal sering dijadikan role model performative male. Mereka dikenal lewat peran-peran dalam film adaptasi novel seperti Little Women dan Normal People, yang menampilkan karakter pria lembut, peka, dan emosional. Karakteristik ini menjadi idola baru bagi perempuan, yang bosan dengan citra pria maskulin tradisional.
Gaya hidup performative male tidak sekadar gaya-gayaan. Ini adalah bagian dari evolusi maskulinitas yang lebih ramah, terbuka, dan inklusif. Cowok calm, minum matcha, baca buku feminis, bukan lagi dipandang aneh, melainkan menjadi bentuk keunikan yang menarik dan bahkan menjadi nilai lebih.
“Di balik gaya calm dan tampilan ‘nggak neko-neko’, performative male sebenarnya membuka ruang baru buat cowok. Nggak harus macho dan dominan, sekarang jadi laki-laki bisa juga tampil kalem, berpikiran terbuka, dan tetap kelihatan keren,” tulis artikel tersebut.
Bukan tidak mungkin, gaya performative male justru menjadi gerbang bagi pria untuk lebih memahami perspektif perempuan, dan menciptakan ruang aman bagi mereka mengekspresikan sisi lain dari diri mereka yang selama ini terpendam karena konstruksi sosial.
Related Tags & Categories :