March 14, 2025 By Rio Baressi
14 Maret 2025 – Jalan Tol Sheikh Mohammed bin Zayed (MBZ) yang membentang sepanjang 36,4 kilometer di Jawa Barat menjadi sorotan publik. Dengan biaya pembangunan yang mencapai Rp 16,23 triliun, tol ini justru tidak dapat digunakan oleh semua jenis kendaraan, terutama truk besar. Dugaan korupsi yang menimbulkan kerugian negara hingga Rp 510 miliar menjadi faktor utama yang membuat tol ini tidak aman bagi kendaraan berat.
Tol MBZ dibangun sebagai solusi untuk mengurangi kemacetan di jalur tol Jakarta-Cikampek. Infrastruktur ini dirancang sebagai jalan layang dengan empat lajur dan kecepatan desain mencapai 80 km/jam. Harapannya, tol ini dapat menjadi jalur alternatif bagi kendaraan golongan I hingga V. Namun, proyek yang seharusnya menjadi kebanggaan justru menuai kontroversi karena adanya penyimpangan dalam proses konstruksi.
Dalam desain awal, tol ini dirancang dengan material berkualitas tinggi untuk memastikan daya tahan dan keamanan. Namun, dalam pelaksanaannya, spesifikasi berubah yang menyebabkan standar keamanan jalan menurun. Hal ini diperparah dengan dugaan manipulasi dalam pemilihan material, sehingga tol yang seharusnya kuat justru memiliki banyak kekurangan.
Kasus dugaan korupsi dalam proyek ini masih terus berlanjut di pengadilan. Kejaksaan Agung telah mengungkap sejumlah pejabat yang terlibat dan membawa mereka ke meja hijau. Dugaan penyimpangan dalam pembangunan mencakup perubahan spesifikasi girder dan pengurangan mutu beton, yang berdampak langsung pada keamanan dan kenyamanan jalan tol ini.
Menurut jaksa, dalam desain awal, steel box girder dirancang berbentuk V dengan ukuran 2,80 meter x 2,05 meter dan bentangan 30 meter. Namun, dalam dokumen lelang, spesifikasi berubah menjadi bentuk U dengan ukuran 2,672 meter x 2 meter dan bentangan 60 meter. Saat pelaksanaan, girder kembali mengalami perubahan menjadi 2,350 meter x 2 meter dengan bentangan 60 meter.
Perubahan ini menyebabkan penurunan daya tahan jalan tol, sehingga tidak aman bagi kendaraan berat. Selain itu, perubahan spesifikasi ini diduga dilakukan untuk mengurangi biaya produksi, tetapi tetap mengklaim anggaran penuh, sehingga terjadi penyimpangan dana.
Perubahan spesifikasi yang dilakukan tanpa memperhitungkan aspek keamanan membuat tol ini tidak dapat dilalui oleh kendaraan golongan III, IV, dan V, termasuk truk tronton dan trailer. Auditor dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyatakan bahwa jalan tol ini tidak memenuhi standar keamanan untuk kendaraan berat.
Selain perubahan pada girder, dugaan pengurangan mutu beton juga menjadi sorotan. Beton yang seharusnya memiliki kuat tekan minimal 41,5 MPa dalam dokumen spesifikasi berubah menjadi hanya 30 MPa dalam dokumen perencanaan. Akibatnya, beton yang digunakan dalam konstruksi hanya memiliki kuat tekan antara 20 MPa hingga 25 MPa. Standar ini jauh di bawah syarat minimal untuk kendaraan berat, yaitu 27 MPa.
Penurunan mutu beton ini sangat berisiko karena jalan layang membutuhkan konstruksi yang lebih kuat dibandingkan jalan biasa. Dengan kualitas beton yang lebih rendah dari standar, potensi retak dan kerusakan semakin besar, sehingga membahayakan pengguna jalan.
Berdasarkan audit yang dilakukan oleh BPKP, total kerugian negara akibat penyimpangan dalam proyek ini mencapai Rp 510.085.261.485,41. Kerugian tersebut berasal dari kekurangan volume pekerjaan struktur beton sebesar Rp 347,7 miliar, kekurangan mutu beton Rp 19,5 miliar, serta kekurangan pekerjaan steel box girder Rp 142,7 miliar.
Meski menimbulkan kerugian besar bagi negara, hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku dinilai ringan. Beberapa terdakwa, termasuk mantan Direktur Utama Jasa Marga Jalan Layang Cikampek (JJC) dan beberapa pejabat lainnya, hanya dijatuhi hukuman maksimal empat tahun penjara dan denda sebesar Rp 250 juta.
Banyak pihak menilai bahwa hukuman ini tidak sebanding dengan besarnya kerugian yang ditimbulkan. Kasus ini juga menjadi peringatan bahwa tindak pidana korupsi di sektor infrastruktur masih menjadi masalah besar di Indonesia.
Kasus dugaan korupsi dalam proyek Tol MBZ menjadi contoh nyata bagaimana penyimpangan dalam proyek infrastruktur dapat berdampak buruk bagi masyarakat. Selain merugikan negara secara finansial, proyek ini juga gagal memenuhi fungsinya sebagai jalan tol yang aman dan nyaman bagi semua jenis kendaraan.
Masyarakat berharap agar kasus ini dapat diusut tuntas dan para pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal. Selain itu, transparansi dalam proyek infrastruktur harus terus diperkuat agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.
Untuk menghindari kasus serupa, pemerintah harus meningkatkan pengawasan terhadap proyek infrastruktur, mulai dari tahap perencanaan hingga eksekusi. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus lebih aktif dalam mengawasi penggunaan anggaran agar tidak disalahgunakan. Selain itu, hukuman bagi pelaku korupsi di sektor infrastruktur harus diperberat agar memberikan efek jera.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa infrastruktur yang baik bukan hanya soal anggaran besar, tetapi juga soal transparansi, akuntabilitas, dan komitmen untuk membangun fasilitas yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.