August 2, 2025 By A G
02 Agustus 2025 – Kota Bekasi kembali mencuri perhatian, namun kali ini bukan karena prestasi positif. Berdasarkan data terbaru dari Survei Biaya Hidup Badan Pusat Statistik (BPS), Bekasi tercatat sebagai daerah dengan ongkos transportasi bulanan termahal di Indonesia. Temuan ini mengungkap realitas pahit yang harus dihadapi jutaan warga yang bergantung pada transportasi umum setiap harinya.
Data survei BPS menunjukkan bahwa warga Bekasi harus merogoh kocek sebesar Rp 1,918 juta per bulan untuk biaya transportasi. Angka fantastis ini setara dengan 14,02 persen dari total pengeluaran hidup bulanan mereka. Direktur Jenderal Integrasi Transportasi dan Multimoda Kementerian Perhubungan, Risal Wasal, mengonfirmasi temuan ini dalam diskusi media di Kantor Kementerian Perhubungan pada Kamis (31/7/2025).
Posisi Bekasi sebagai yang termahal diikuti oleh kota-kota satelit lainnya. Depok menempati urutan kedua dengan biaya transportasi Rp 1,802 juta per bulan atau 16,32 persen dari total biaya hidup. Menariknya, meskipun nominal biaya Depok lebih rendah, persentase terhadap biaya hidup justru lebih tinggi dibanding Bekasi.
Surabaya berada di posisi ketiga dengan pengeluaran transportasi mencapai Rp 1,629 juta per bulan (13,61 persen), disusul Jakarta dengan Rp 1,590 juta per bulan (11,82 persen), dan Bogor Rp 1,235 juta per bulan (12,54 persen dari total biaya hidup).
Risal Wasal menjelaskan bahwa tingginya biaya transportasi di Bekasi bukan semata-mata disebabkan oleh tarif angkutan umum yang mahal. Justru, tarif kereta commuter yang relatif terjangkau, berkisar Rp 3.500 hingga Rp 6.000, seharusnya dapat menjadi solusi transportasi ekonomis. Namun, permasalahan sesungguhnya terletak pada apa yang disebut sebagai “first mile” dan “last mile” – perjalanan dari rumah ke stasiun dan dari stasiun ke tujuan akhir.
“Kalau saat ini teman-teman naik kereta api murah Rp 3.500 sampai Rp 6.000. Tapi first mile-nya, ojolnya Rp 25.000, parkirnya Rp 10.000,” ungkap Risal. Kondisi ini menciptakan paradoks dimana masyarakat harus mengeluarkan biaya tambahan yang jauh lebih besar daripada tarif transportasi umum itu sendiri.
Permasalahan ini semakin kompleks ketika melibatkan kebutuhan parkir kendaraan pribadi. Banyak pengguna transportasi umum yang terpaksa menggunakan kendaraan pribadi untuk mencapai stasiun atau terminal, kemudian harus membayar tarif parkir yang tidak murah. Belum lagi biaya ojek online atau transportasi lanjutan dari stasiun ke kantor atau tempat tujuan akhir.
Tingginya biaya transportasi ini memiliki dampak signifikan terhadap ekonomi rumah tangga. Bank Dunia merekomendasikan bahwa idealnya biaya transportasi tidak melebihi 10 persen dari total pengeluaran bulanan. Namun, realitas di kota-kota besar Indonesia menunjukkan angka yang jauh melampaui standar ideal tersebut.
Di Bekasi, dengan rata-rata biaya transportasi mencapai 14,02 persen dari total biaya hidup, berarti warga harus mengalokasikan hampir seperempat belas dari penghasilan mereka hanya untuk mobilitas sehari-hari. Kondisi ini tentunya memberikan tekanan finansial yang tidak ringan bagi keluarga-keluarga, terutama mereka yang berpenghasilan menengah ke bawah.
Lebih mengkhawatirkan lagi, angka di Depok bahkan mencapai 16,32 persen, menunjukkan bahwa beban transportasi telah menjadi komponen pengeluaran yang sangat signifikan dalam struktur ekonomi rumah tangga urban.
Menghadapi tantangan ini, Kementerian Perhubungan tidak tinggal diam. Risal Wasal menegaskan bahwa pihaknya sedang mencari solusi komprehensif untuk menekan biaya first mile dan last mile. Tujuan utamanya adalah meringankan beban pengeluaran harian masyarakat dalam bertransportasi.
“Bagaimana tadi first mile dan last mile-nya itu bisa kita reduksi. Jadi, biaya orang itu untuk transportasi bisa kita kurangi,” ujar Risal. Strategi ini melibatkan redefinisi moda transportasi utama dan penunjang untuk menentukan bagian perjalanan mana yang perlu diintervensi pemerintah.
Salah satu terobosan yang sedang dikembangkan adalah pembangunan kereta gantung yang akan menghubungkan stasiun-stasiun utama dengan kawasan perumahan. Untuk wilayah Bekasi, rencana kereta gantung akan menghubungkan Stasiun LRT Harjamukti dengan Kawasan Mekarsari. Sementara untuk wilayah Tangerang Selatan, proyek serupa akan menghubungkan Stasiun MRT Lebak Bulus dengan Kawasan Serpong.
Risal mengungkapkan bahwa sudah ada empat investor yang tertarik pada proyek ini dan sedang menyusun studi kelayakan. Pemerintah berencana memilih studi kelayakan terbaik sebagai dasar pemilihan mitra pembangunan.
Meskipun menghadapi tantangan besar, ada sinyal positif dari upaya integrasi transportasi umum. Risal mencatat bahwa masyarakat di kawasan Jabodetabek telah mulai memanfaatkan integrasi layanan transportasi umum di Jakarta. Hal ini terbukti dari peningkatan penumpang kereta commuter hingga 20 persen setelah pengoperasian LRT Jabodebek.
Total pengguna transportasi umum di Jakarta saat ini telah mencapai 2,5 juta orang per hari. Angka ini ditargetkan naik menjadi sekitar 4,5 juta orang per hari pada tahun depan. Peningkatan ini tidak hanya akan mengurangi kemacetan, tetapi juga menurunkan subsidi pemerintah untuk transportasi umum.
Sebagai contoh, integrasi dengan LRT Jabodebek diharapkan dapat mengurangi subsidi LRT Jakarta yang saat ini mencapai Rp 210.000 per orang untuk rute sepanjang 5 kilometer.
Permasalahan tingginya biaya transportasi di Bekasi dan kota-kota besar lainnya memerlukan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan. Selain pembangunan infrastruktur fisik, diperlukan juga penataan sistem tarif yang lebih adil dan terintegrasi.
Risal mengidentifikasi bahwa masih ada hampir 50.000 penduduk di Cibubur dan Tangerang Selatan yang berpotensi beralih menggunakan transportasi umum jika tersedia konektivitas yang memadai. Ini menunjukkan bahwa masih ada ruang besar untuk pengembangan sistem transportasi yang lebih efisien.
Ke depan, keberhasilan mengatasi masalah transportasi di Bekasi akan menjadi model bagi kota-kota lain di Indonesia. Dengan dukungan teknologi, investasi swasta, dan komitmen pemerintah yang kuat, diharapkan beban biaya transportasi masyarakat dapat diturunkan secara signifikan, sehingga mobilitas menjadi lebih terjangkau dan efisien bagi semua lapisan masyarakat.