April 16, 2025 By Abril Geralin
16 April 2025 – Dalam menghadapi dinamika ekonomi global yang terus berubah, Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan baru. Presiden Amerika Serikat Donald Trump baru-baru ini menetapkan kebijakan tarif resiprokal yang menyasar berbagai negara, termasuk Indonesia dengan besaran 32 persen. Meski demikian, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyikapi hal tersebut dengan tenang dan menyerukan agar publik tidak bereaksi berlebihan.
“Ini biasa-biasa aja. Kalau di HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) ini biasa. Harus bikin masalah dulu, baru kompromi. Jadi jangan juga kita membuat seolah-olah dunia sudah mau berakhir. Ini bagian strategi dagang saja,” tegas Bahlil dalam acara Global Hydrogen Ecosystem 2025 di Jakarta International Convention Center, Selasa (15/4/2025).
Pernyataan ini menunjukkan sikap Bahlil yang melihat kebijakan tarif resiprokal sebagai bagian dari dinamika perdagangan global yang lumrah terjadi. Menurutnya, langkah Trump tersebut merupakan strategi negosiasi yang biasa digunakan dalam dunia bisnis.
Donald Trump pada awal April 2025 secara resmi menetapkan tarif resiprokal terhadap 180 negara. Meskipun Indonesia termasuk dalam 56 negara yang dikenakan tarif tinggi, penerapannya ditunda selama 90 hari. Hal ini memberikan ruang bagi Indonesia untuk melakukan negosiasi dan menyusun strategi menghadapi kebijakan tersebut.
Bahlil menjelaskan bahwa alasan utama di balik pemberlakuan tarif resiprokal oleh Trump adalah defisit neraca perdagangan Amerika Serikat terhadap banyak negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), selama 10 tahun terakhir (2015-2024), neraca perdagangan Indonesia terhadap AS selalu surplus.
Pada 2024, AS menjadi penyumbang surplus terbesar neraca perdagangan Indonesia dengan nilai 16,84 miliar dolar AS. Sementara menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, defisit neraca perdagangan AS terhadap Indonesia pada 2024 mencapai 17,9 miliar dolar AS.
“Amerika Serikat memberlakukan tarif ini karena mereka menginginkan neraca perdagangan yang seimbang,” ungkap Bahlil, menegaskan bahwa kebijakan ini pada dasarnya adalah upaya AS untuk memperbaiki posisi perdagangannya.
Sebagai respons terhadap kebijakan tarif tersebut, pemerintah Indonesia di bawah arahan Presiden Prabowo Subianto berencana meningkatkan impor dari Amerika Serikat, terutama di sektor energi.
“Maka atas arahan Presiden Prabowo, kami coba mengecek komoditas apa lagi yang bisa kita beli di Amerika Serikat,” ujar Bahlil.
Salah satu rencana konkret yang diusulkan adalah peningkatan impor LPG dari AS senilai kurang lebih di atas 10 miliar dolar AS atau sekitar Rp 168,2 triliun (dengan asumsi kurs Rp 16.822). Peningkatan ini akan dilakukan dengan pengalihan impor LPG dari negara lain ke AS.
“Kalau ini aja kita geser, maka defisit neraca perdagangan kita dengan Amerika itu tidak akan terjadi lagi. Neraca kita balance. Ini yang kita akan lakukan,” jelas Bahlil.
Selain LPG, pemerintah juga berencana meningkatkan porsi impor minyak mentah (crude) dari AS. Saat ini, porsi impor minyak Indonesia dari Amerika Serikat baru sekitar 4 persen, sementara sebagian besar masih berasal dari Singapura, Timur Tengah, Afrika, hingga Amerika Latin.
Bahlil menegaskan bahwa peningkatan porsi impor dari AS tidak berarti menghentikan impor dari negara lain, namun hanya mengurangi volumenya. “Ya tidak disetop juga. Volumenya yang mungkin dikurangi,” katanya.
Di balik tantangan yang ditimbulkan oleh kebijakan tarif Trump, Bahlil justru melihat peluang bagi Indonesia untuk memperkuat ekonomi dalam negeri. Ia menekankan pentingnya mengoptimalkan lifting migas dan memanfaatkan keunggulan komparatif Indonesia dalam bahan baku melalui program hilirisasi.
“Di balik ada masalah, kalau dalam sisi bisnis, di balik ada masalah ada dinamika atau kekurangan, di situ pasti ada peluang. Ini semakin memperkuat kita di internal negara kita, bahwa ada introspeksi,” tutur Bahlil.
Ia menambahkan bahwa Indonesia perlu segera mengambil langkah-langkah komprehensif untuk menciptakan nilai tambah lewat hilirisasi dan industrialisasi.
Dalam perspektif yang lebih luas, Bahlil menegaskan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam hal energi hijau yang dapat dipenetrasi ke pasar global, termasuk Eropa dan Amerika Serikat.
“Karena kita saling membutuhkan. Kita harus membangun komunikasi politik, komunikasi ekonomi yang win-win. Yang saling menguntungkan. Tidak saling mengintervensi antara negara satu dengan negara yang lain,” ungkapnya.
Bahlil menekankan pentingnya prinsip saling menghargai dalam hubungan antarnegara. “Di sini hakikat keberadaan sebuah negara untuk saling menghargai antara satu dengan yang lain,” tandas Bahlil.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa pemerintah RI akan segera bertolak ke Amerika Serikat untuk pertemuan bilateral. Salah satu agendanya adalah bernegosiasi soal pengenaan tarif resiprokal tersebut.
Pemerintah berencana menawarkan sejumlah kesepakatan dengan AS untuk memangkas defisit neraca perdagangan Amerika Serikat terhadap Indonesia. “Juga rencana daripada Indonesia untuk mengkompensasikan delta daripada ekspor dan impor yang besarannya USD 18-19 miliar,” kata Airlangga.
Di tengah ketegangan perang dagang yang meningkat, Bahlil menekankan pentingnya menyikapi situasi dengan kepala dingin. Ia menilai bahwa kebijakan tarif Trump telah membuat banyak negara menyadari pentingnya kedaulatan ekonomi masing-masing.
“Hampir semua negara sekarang berpikir tentang bagaimana kedaulatan negaranya masing-masing,” ungkap Bahlil.
Hal ini menunjukkan bahwa di era globalisasi yang semakin kompleks, setiap negara perlu memiliki strategi untuk melindungi kepentingan ekonominya, tanpa harus mengandalkan blok atau aliansi tertentu.
Dengan sikap yang tenang dan strategis, Indonesia berupaya menavigasi tantangan perang dagang ini sambil terus memperkuat fondasi ekonomi domestiknya. Seperti yang ditegaskan Bahlil, situasi ini bukanlah akhir dari dunia, melainkan bagian dari dinamika perdagangan global yang perlu disikapi dengan bijak dan terukur.