May 28, 2025 By A G
28 Mei 2025 – Fenomena “Kabur Aja Dulu” kembali mencuat di Amerika Serikat setelah Donald Trump memulai masa jabatan keduanya sebagai Presiden. Banyak warga Amerika memilih untuk mengajukan kewarganegaraan baru di Eropa, terutama Inggris, sebagai bentuk respons terhadap dinamika politik dalam negeri yang dianggap tidak stabil..
Data dari Kementerian Dalam Negeri Inggris menunjukkan bahwa sebanyak 1.931 warga Amerika Serikat mengajukan permohonan kewarganegaraan Inggris pada kuartal pertama 2025. Jumlah ini mencatat rekor tertinggi sejak pencatatan dimulai pada tahun 2004, meningkat 12 persen dibandingkan kuartal sebelumnya, tepat setelah kemenangan Trump dalam pemilu November 2024.
Secara keseluruhan, dalam 12 bulan terakhir hingga Maret 2025, tercatat 6.618 warga AS mengajukan permohonan kewarganegaraan Inggris. Selain kewarganegaraan, permohonan izin tinggal permanen juga mencatat peningkatan signifikan. Pada 2024, lebih dari 5.500 warga AS diberikan status menetap, naik 20 persen dari tahun 2023. Status ini menjadi langkah awal bagi banyak warga untuk mengajukan kewarganegaraan.
Fenomena serupa telah terjadi sebelumnya. Pada 2020, saat Donald Trump menjabat di periode pertamanya dan dunia menghadapi pandemi Covid-19, lonjakan permohonan kewarganegaraan juga terjadi. Dalam enam bulan pertama tahun itu, lebih dari 5.800 warga AS melepaskan kewarganegaraannya, hampir tiga kali lipat dari total pada 2019.
“Sebagian besar dari mereka sebenarnya sudah tinggal di luar AS dan akhirnya memutuskan bahwa mereka sudah cukup dengan semua yang terjadi,” kata Alistair Bambridge, mitra dari Bambridge Accountants, dalam wawancara dengan CNN.
Menurut Bambridge, selain ketidakpuasan terhadap iklim politik dan pandemi, beban pajak AS juga menjadi alasan utama. Amerika Serikat dikenal dengan kebijakan pajaknya yang tetap memberlakukan kewajiban pajak bagi warga negara, meskipun mereka telah tinggal di luar negeri.
Menurut pengacara imigrasi senior di Wilsons Solicitors, London, Muhunthan Paramesvaran, banyak warga AS yang sudah lama tinggal di Inggris kini mempertimbangkan kewarganegaraan ganda. “Mereka ingin punya opsi jika situasi di AS tidak kondusif,” ungkap dia dikutip dari The Economic Times.
Zeena Luchowa, mitra di Laura Devine Immigration, menambahkan bahwa lonjakan ini bukan sekadar perpindahan kewarganegaraan. “Ini tentang mencari stabilitas,” ujar dia.
Dengan kata lain, perpindahan ini lebih dari sekadar keputusan administratif; ini adalah pencarian kehidupan yang lebih aman dan terkendali di tengah ketidakpastian politik di AS.
Meskipun keinginan untuk menetap di Eropa meningkat, jalan menuju kewarganegaraan kini makin berliku. Perdana Menteri Inggris Keir Starmer telah mengumumkan rencana memperketat persyaratan migrasi legal, termasuk memperpanjang masa tunggu sebelum seseorang bisa mengajukan kewarganegaraan.
Langkah serupa juga dilakukan Italia, yang menghapus jalur kewarganegaraan melalui garis keturunan buyut—jalur yang banyak dimanfaatkan oleh warga AS keturunan Italia. Roma bahkan telah memperketat kebijakan visa bagi warga non-Uni Eropa.
Namun, peraturan yang lebih ketat ini tampaknya belum menyurutkan gelombang warga Amerika yang memilih “kabur aja dulu” sebagai solusi atas ketidakpastian politik dan sosial di negara mereka.
Kembalinya Donald Trump ke tampuk kekuasaan memicu gelombang migrasi warga Amerika ke Inggris dan Eropa dalam skala besar. Alasan mereka beragam, mulai dari ketidakpuasan terhadap kebijakan domestik, beban pajak, hingga keinginan mencari stabilitas. Fenomena ini menunjukkan bahwa dinamika politik dalam negeri bisa berdampak nyata pada keputusan pribadi warga negara untuk mencari kehidupan yang lebih baik di tempat lain.