Leet Media

Sugar Daddy di Indonesia: Fenomena Sosial dari Masa Kolonial hingga Kekinian

December 14, 2024 By Jay Sujana

(Sumber: Redbook)

14 Desember 2024 – Istilah “sugar daddy” telah menjadi bagian dari percakapan sosial kontemporer, merujuk pada pria dewasa yang mapan secara finansial dan bersedia memberikan dukungan ekonomi kepada pasangan atau mitra yang lebih muda. Menurut kamus Merriam-Webster, terminologi ini menggambarkan seorang pria kaya yang senang menjalin hubungan dengan perempuan lebih muda sambil memenuhi segala kebutuhan mereka.

Fenomena Sugar Daddy di Asia: Posisi Indonesia

Sebuah survei menarik yang dilakukan oleh platform dating Seeking Arrangement pada tahun 2021 mengungkapkan fakta mengejutkan tentang dinamika sugar daddy di Asia. Indonesia tercatat menempati posisi kedua dengan jumlah sugar daddy mencapai 60.250, hanya kalah dari India yang memiliki 338.000 sugar daddy.

Brandon Wade, CEO Seeking Arrangement, mengungkapkan bahwa platform mereka bertujuan menghubungkan wanita muda dengan pria mapan. Menurutnya, hal ini tidak sekadar masalah dukungan finansial, tetapi juga berpotensi menjadi pintu gerbang menuju masa depan yang lebih baik bagi para sugar baby.

Faktor Sosial Ekonomi

Platform tersebut menjelaskan bahwa tingginya angka sugar daddy berkorelasi dengan beberapa faktor kunci: biaya pendidikan yang tinggi dan kesenjangan ekonomi yang signifikan. Hal ini mendorong sejumlah wanita untuk mencari dukungan dari pria yang lebih mapan dan established.

Jejak Historis: Oei Tiong Ham – Sugar Daddy Era Kolonial

Oei Tiong Ham, pengusaha kaya dari Semarang (Sumber: Tempo)

Namun, fenomena sugar daddy bukanlah hal baru di Indonesia. Salah satu contoh historis yang menarik adalah Oei Tiong Ham, seorang pengusaha sukses asal Semarang pada masa kolonial Belanda yang dapat dikategorikan sebagai “sugar daddy” zamannya.

Oei Tiong Ham adalah konglomerat pemilik Oei Tiong Ham Concern (OTHC), imperium bisnis gula yang mendominasi 60% pasar Hindia Belanda pada periode 1910-1912. Kekayaannya mencapai 200 juta gulden, setara dengan sekitar Rp 43 triliun pada masa itu.

Kisah Personal: Pernikahan dan Gaya Hidup

Menariknya, Oei Tiong Ham memiliki kehidupan personal yang kompleks. Dia memiliki delapan istri dan 26 anak, dengan sejumlah “gundik” yang tersebar di berbagai wilayah seperti London, Singapura, China, dan Semarang. Keputusannya untuk memiliki banyak pasangan didasari keyakinannya bahwa “banyak anak banyak rezeki”.

Meskipun kontroversial, Oei dikenal bersikap adil. Dia memberikan dukungan finansial penuh kepada semua istri dan anak-anaknya, membiayai pendidikan mereka hingga jenjang tertinggi. Salah satu putrinya, Oei Hui Lan, bahkan menjadi Ibu Negara China.

Konteks Modern dan Refleksi Sosial

Survei Seeking Arrangement menunjukkan sepuluh negara dengan sugar daddy terbanyak di Asia, dengan urutan: India, Indonesia, Malaysia, Jepang, Hong Kong, Taiwan, Vietnam, Korea Selatan, Sri Lanka, dan Kamboja.

Fenomena ini mencerminkan kompleksitas relasi sosial-ekonomi, di mana ketimpangan dan harapan akan mobilitas sosial memainkan peran signifikan. Meskipun kontroversial, praktik semacam ini terus ada dalam berbagai bentuk di masyarakat.


Sugar daddy bukanlah sekadar fenomena modern, melainkan praktik sosial yang telah ada sejak lama. Dari Oei Tiong Ham di era kolonial hingga platform digital kontemporer, hal ini mencerminkan dinamika kompleks hubungan kuasa, ekonomi, dan gender di Indonesia.

Artikel ini tidak bermaksud menghakimi, melainkan mengajak pembaca untuk memahami konteks sosial yang melingkupi fenomena tersebut dengan lebih kritis dan empatis.