May 15, 2025 By Abril Geralin
15 Mei 2025 – Sejak diakui UNESCO pada tahun 2020, status Geopark Kaldera Danau Toba sebagai UNESCO Global Geopark (UGG) kini berada dalam posisi genting. Jika pengelola dan pemerintah daerah tidak segera mengambil langkah serius, salah satu keajaiban alam Indonesia ini terancam kehilangan label prestisius yang telah diperjuangkan selama hampir satu dekade.
Pada September 2023, UNESCO memberikan “kartu kuning” kepada pengelola Geopark Kaldera Toba sebagai bentuk peringatan. Tenggat waktu dua tahun untuk melakukan pembenahan kini hampir berakhir. Tim asesor dari UNESCO dijadwalkan akan kembali melakukan penilaian ulang pada Juni 2025 hanya beberapa minggu dari sekarang.
“Sudah mendapat kartu kuning dan diberi waktu dua tahun untuk perbaikan, jangan disia-siakan. Jangan sampai status Toba di UNESCO Global Geopark dicabut, nanti menyesal,” peringat Bane Raja Manalu, Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan yang membidangi sektor pariwisata.
Yang memprihatinkan, meski waktu hampir habis, progres pembenahan masih sangat minim. Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia, Wilmar E Simandjorang mengungkapkan, “Waktu yang tersisa untuk melakukan pembenahan tinggal satu bulan lagi sebelum kedatangan tim asesor dari UNESCO pada Juni ini. Namun, hingga saat ini belum ada pembenahan yang berarti. Organisasi badan pengelola juga tidak berjalan selama dua tahun ini.”
UNESCO telah memberikan tujuh rekomendasi spesifik yang harus ditindaklanjuti oleh pengelola Geopark Kaldera Toba:
Salah satu masalah utama yang menyebabkan lambatnya perbaikan adalah minimnya peran Badan Pengurus (BP) Toba Caldera UNESCO Global Geopark (TCUGGp). Lembaga ini dilaporkan vakum selama dua tahun terakhir dan baru membentuk kepengurusan pada Februari 2025 terlalu dekat dengan jadwal evaluasi UNESCO pada Juni 2025.
Persoalan klasik yang dihadapi adalah tidak adanya dukungan anggaran operasional yang memadai dari pemerintah. Kondisi ini semakin mempersulit upaya pembenahan yang seharusnya sudah berjalan sejak kartu kuning diberikan pada 2023.
“Saya sangat prihatin dengan pengelolaan Danau Toba saat ini. Padahal Danau Toba memiliki potensi untuk mendatangkan banyak wisatawan berkualitas yang akan membuat hidup masyarakat sekitar Danau Toba menjadi lebih baik dan sejahtera,” ungkap Bane Raja Manalu.
Saat ini, geopark di Indonesia, termasuk Geopark Kaldera Toba, berada di bawah pengelolaan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Bane Raja Manalu menilai bahwa sistem pengelolaan ini perlu dikaji ulang.
“Dengan banyaknya tugas Kementerian ESDM, ada kekhawatiran pengelolaan geopark menjadi tidak diutamakan. Padahal, ini hal penting karena mendapat status Geopark dari UNESCO juga tidak mudah,” ungkapnya.
Sebagai solusi, Bane menyarankan pendekatan multi-stakeholder sesuai usulan dalam RUU Pariwisata dari Komisi VII DPR. Menurut usulan tersebut, pengelolaan pariwisata akan lebih optimal jika melibatkan berbagai kementerian seperti Pariwisata, Pekerjaan Umum, Perhubungan, dan Kehutanan.
“Kelembagaan pariwisata yang multi-stakeholder akan membuat pengelolaan pariwisata nasional lebih progresif, lebih berdampak, dan memperlancar eksekusi kebijakan yang ditetapkan,” jelasnya.
Bagi kebanyakan orang, status “UNESCO Global Geopark” mungkin hanya terdengar seperti label prestisius semata. Namun sebenarnya, pengakuan ini memiliki dampak signifikan dalam berbagai aspek:
Bane Raja Manalu menegaskan, “Status geopark bukan label yang otomatis membuat Danau Toba jadi destinasi unggulan. Label geopark juga bukan tujuan akhir, melainkan harus dipertanggungjawabkan.”
Perjalanan Danau Toba memperoleh status UNESCO Global Geopark bukanlah proses singkat. Upaya ini dimulai sejak tahun 2011, dan baru pada tahun 2019 delapan tahun kemudian pengakuan Danau Toba sebagai UGG disetujui dalam simposium jaringan geopark Asia Pasifik ke-6.
Pada tahun 2020, Danau Toba resmi ditetapkan sebagai anggota UGG dengan nomor keanggotaan 155. Dalam pengajuannya, Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) mengidentifikasi 16 geosite yang mewakili keanekaragaman di Danau Toba, termasuk Sipisopiso-Tongging, Pusukbuhit, Ambarita-Tuktuk-Tomok, dan Danau Toba itu sendiri yang menyatukan seluruh geosite.
Dengan waktu yang semakin menipis, perbaikan pengelolaan Geopark Kaldera Toba telah menjadi balapan melawan waktu. Jika status UNESCO Global Geopark dicabut, Indonesia akan kehilangan aset pariwisata unggulan yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun.
“Semoga dalam sisa waktu satu-dua bulan ke depan, pengelolaan Danau Toba bisa menunjukkan tren positif dan UNESCO tidak mencabut keanggotaan Kaldera Toba dari UNESCO Global Geopark,” harap Bane Raja Manalu.
Yang jelas, tantangan ini membutuhkan kolaborasi dan komitmen dari berbagai pihak pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengelola geopark, akademisi, dan tentunya masyarakat setempat. Status Geopark bukan hanya tentang prestise, tetapi juga tentang komitmen berkelanjutan dalam menjaga warisan geologi, mengembangkan ekonomi lokal, dan memastikan kelestarian alam Danau Toba untuk generasi mendatang.