October 31, 2025 By pj

31 Oktober 2025 – Kasus pencabulan terhadap 16 santri oleh seorang guru ngaji bernama Sudirman di Makassar, Sulawesi Selatan, kembali menuai sorotan publik. Salah satu korban, komika Eky Priyagung, menilai vonis 11 tahun penjara dan denda Rp1 miliar yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Makassar terlalu ringan dan jauh dari rasa keadilan bagi para korban yang telah mengalami penderitaan selama bertahun-tahun.
Eky menyatakan rasa kecewanya terhadap putusan hakim yang menurutnya tidak mencerminkan keadilan.
“Menurutku, 11 tahun itu sangat janggal dan mungkin jadi bisa sangat mengapresiasi pengacara pelaku, karena dia mahir untuk membuat (hukuman) jadi 11 tahun,” ujar Eky Priyagung kepada detikSulsel, Kamis (31/10/2025).
Ia menilai, proses hukum yang panjang seolah tidak menghasilkan keadilan yang sepadan.
“Karena prosesnya sangat panjang, terus 11 tahun ini belum nanti ada remisi, berkelakuan baik lah, apalah gitu,” katanya.
Meski mengapresiasi bahwa pelaku akhirnya dijatuhi hukuman, Eky tetap merasa vonis tersebut terlalu ringan dibandingkan luka yang diderita para korban.
“Walaupun kecewa sebenarnya, yaudahlah (pelaku) sudah dihukum. Tapi ya kecewa sebenarnya. Sangat, jauh (dari mencerminkan keadilan bagi korban),” ujarnya.
Majelis hakim PN Makassar menjatuhkan vonis 11 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, dengan subsider tiga bulan kurungan. Putusan ini dua tahun lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya meminta 13 tahun penjara dan denda Rp100 juta.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 11 tahun dan denda sejumlah Rp1.000.000.000, subsidair kurungan selama 3 bulan,” bunyi putusan majelis hakim.
Hakim menyatakan Sudirman terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur di bawah pengaruh tipu muslihat dan kebohongan.
“Menyatakan terdakwa Sudirman, S.Ag telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pendidik atau tenaga kependidikan, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan dan membiarkan dilakukan perbuatan cabul,” jelas hakim.
Berdasarkan fakta persidangan, aksi bejat Sudirman berlangsung sejak tahun 2004 di sekretariat masjid wilayah Rappocini, Makassar. Ia memanipulasi para santri dengan dalih “pembelajaran kedewasaan spiritual” dan mengatakan bahwa mereka sudah memasuki masa akil balig sehingga perlu “mengeluarkan sperma”.
“11 tahun di penjara? Lamaan dia (Sudirman) jadi pedofil selama 21 tahun, dari tahun 2004,” kata Eky dalam video di Instagram, Jumat (31/10/2025).
Eky juga menyoroti keterlibatan istri pelaku yang disebut masih mengajar sebagai guru agama.
“Serta istri yang membantu pencabulan masih ngajar sebagai guru agama di SD, tidak dipecat sama dinas pendidikan,” ungkapnya.
Selain vonis yang dianggap terlalu ringan, Eky juga menyoroti tidak adanya restitusi atau ganti rugi bagi para korban. Menurutnya, denda Rp1 miliar yang dijatuhkan kepada pelaku hanya masuk ke kas negara, bukan untuk pemulihan korban.
“Denda satu miliar? tapi itu untuk negara, buat korban enggak ada sama sekali. Restitusi ribet, kerugian psikologis, biaya persidangan enggak ditanggung,” tegasnya.
Ia menilai sistem hukum di Indonesia masih jauh dari berpihak kepada korban.
“Semua yang kita lakukan di dunia seharusnya akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti. Jadi, jika mereka, kita-kita, atau instansi yang punya andil terhadap hukum berpihak sama yang salah, kita lihat saja nanti. Karena sesungguhnya, hukum belum dijalankan secara baik di negeri ini,” ujar Eky.
Keberanian Eky untuk bersuara muncul setelah mendengar kabar adanya korban baru. Ia merasa harus menggunakan platform yang dimilikinya untuk membuka kasus ini ke publik.
“Saya dengar ada korban terbaru, saya enggak mungkin kalau saya diam, tidak memberikan wadah kepada korban. Karena di antara semua orang (korban) di situ, cuman saya doang yang punya platform,” jelasnya.
Eky juga berharap keberaniannya bisa menginspirasi korban lain untuk tidak takut bersuara.
“Masih ada stigma, korban itu aib. Padahal kan yang seharusnya merasa dirinya aib adalah pelaku, yang malu harusnya pelaku bukan korban,” tegasnya.
Kasus ini menyoroti lemahnya perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual anak di Indonesia. Eky berharap aparat penegak hukum, jaksa, dan hakim dapat lebih berpihak kepada korban dan memastikan hukuman yang memberikan efek jera.
Ia menegaskan bahwa keadilan tidak berhenti di ruang sidang, tetapi juga harus dirasakan oleh para korban yang terluka secara fisik maupun psikologis.
Kasus guru ngaji Sudirman menjadi cerminan masih lemahnya sistem hukum dalam melindungi korban kekerasan seksual. Meski pelaku telah dijatuhi hukuman, rasa keadilan belum sepenuhnya hadir. Suara Eky Priyagung menjadi simbol keberanian dan perlawanan terhadap ketidakadilan, membuka mata publik bahwa perjuangan korban belum selesai hingga keadilan benar-benar ditegakkan.