Leet Media

Sejarah dan Wacana Pemberlakuan Kembali Ujian Nasional, Perjalanan 74 Tahun Evaluasi Pendidikan Indonesia

January 3, 2025 By Amandira Maharani

Sumber : Radar Lambar

3 Januari 2025 – Ujian Nasional (UN) kembali menjadi sorotan publik setelah Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti mengemukakan wacana untuk menghidupkan kembali sistem evaluasi yang telah dihapuskan sejak tahun 2021 ini. Sebelum memahami implikasi dari rencana tersebut, penting untuk meninjau perjalanan panjang sistem evaluasi pendidikan nasional yang telah berlangsung selama lebih dari tujuh dekade.

Ujian Penghabisan (1950-1960)

Di tahun 1950-an hingga 1960-an, Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Indonesia menyelenggarakan sistem evaluasi yang dikenal dengan nama Ujian Penghabisan. Sistem ini menerapkan metode evaluasi berbasis esai yang dikoreksi oleh pusat-pusat rayon. Setiap siswa diwajibkan menulis jawaban secara terperinci dan analitis, yang bertujuan untuk menguji pemahaman mendalam mereka terhadap materi pembelajaran.

Pusat-pusat rayon yang bertugas mengoreksi ujian tersebar di beberapa kota besar di Indonesia. Para korektor dipilih dari guru-guru senior dan akademisi yang memiliki kompetensi di bidangnya. Sistem penilaian menggunakan skala 1-10, dengan standar kelulusan yang cukup ketat. Format esai dipilih karena dianggap mampu mengukur kemampuan berpikir kritis dan analitis siswa secara lebih komprehensif.

Sumber : Wikipedia

Era Ujian Negara (1965-1971)

Pada 1965 hingga 1971, pelaksanaan ujian dikelola sepenuhnya oleh pemerintah di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ujian nasional dalam periode ini disebut dengan Ujian Negara dan mencakup seluruh mata pelajaran. Berbeda dengan periode sebelumnya, sistem Ujian Negara menerapkan standar yang lebih ketat dan seragam di seluruh Indonesia.

Pada masa ini, soal ujian dibuat terpusat oleh tim khusus dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proses koreksi juga dilakukan secara terpusat untuk menjamin objektivitas penilaian. Setiap siswa yang mengikuti Ujian Negara harus menempuh ujian untuk semua mata pelajaran yang diajarkan, tanpa terkecuali. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa lulusan memiliki kompetensi yang menyeluruh dalam semua bidang studi.

Sistem Ujian Negara juga menerapkan pengawasan yang ketat selama pelaksanaan ujian. Pengawas ujian ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat dan tidak boleh berasal dari sekolah yang siswanya sedang diuji. Kebijakan ini diambil untuk meminimalisir kemungkinan kecurangan dan memastikan integritas hasil ujian.

Masa Ujian Sekolah (1972-1979)

Di periode ini, terjadi perubahan fundamental dalam sistem evaluasi pendidikan nasional. Pemerintah memberi mandat pada setiap sekolah untuk melaksanakan ujian akhir mereka yang dinamakan Ujian Sekolah (US). Kelulusan atau mutu lulusannya berada sepenuhnya di tangan sekolah, dengan pertimbangan bahwa sekolah lebih memahami kondisi dan kemampuan siswanya.

Pemerintah berperan sebagai penyedia pedoman pelaksanaan untuk menjamin kesetaraan penyelenggaraan ujian di tiap institusi. Pedoman ini mencakup standar kompetensi minimal, format soal, dan kriteria penilaian yang harus dipatuhi sekolah. Setiap sekolah diberi kebebasan untuk mengembangkan soal ujian sesuai dengan kondisi dan karakteristik pembelajaran di sekolah masing-masing, namun tetap mengacu pada standar nasional.

Sistem ini memberi otonomi lebih besar kepada sekolah, namun juga menimbulkan tantangan dalam hal standarisasi mutu lulusan antar sekolah. Perbedaan standar dan kualitas antara sekolah di perkotaan dan pedesaan menjadi salah satu isu yang muncul pada periode ini.

Era EBTANAS (1980-2001)

Pada periode yang panjang ini, mutu lulusan ditentukan dengan sistem evaluasi ganda: Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) yang dikelola pemerintah pusat dan Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA) yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Model ini dirancang untuk menyeimbangkan antara standar nasional dan kebutuhan daerah.

EBTANAS menjadi tonggak penting dalam sejarah evaluasi pendidikan Indonesia karena mengenalkan sistem yang lebih terstruktur dan terstandar. Ketika awal diberlakukan, mata pelajaran yang diujikan dalam EBTANAS adalah Pendidikan Moral Pancasila (PMP), yang kemudian berkembang mencakup mata pelajaran inti seperti Matematika, Bahasa Indonesia, dan IPA.

Nilai akhir siswa merupakan kombinasi dari nilai EBTANAS dan EBTA, yang kemudian dicantumkan dalam Surat Tanda Tamat Belajar (STTB). Sistem ini dianggap lebih komprehensif karena mempertimbangkan baik standar nasional maupun kondisi lokal dalam menentukan kelulusan siswa.

Transformasi ke UAN (2002-2004)

Tahun 2002 menandai perubahan signifikan dengan transformasi EBTANAS menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN). Perubahan ini membawa perbedaan fundamental dalam penentuan kelulusan siswa. Nilai minimal kelulusan ditetapkan pada angka 3.01 pada tahun 2003, dengan rata-rata minimal 6.00 untuk semua mata pelajaran yang diujikan.

Departemen Pendidikan Nasional memegang kendali penuh atas pembuatan soal, menghilangkan peran sekolah dalam menentukan nilai akhir. Meski sistem ini menimbulkan pro dan kontra, terutama terkait standar kelulusan yang dianggap memberatkan sebagian siswa, namun berhasil mendorong peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah.

Periode UAN juga menandai dimulainya era transparansi dalam evaluasi pendidikan, dimana sekolah tidak lagi memiliki wewenang untuk mengubah nilai ujian. Siswa yang tidak lulus diberi kesempatan mengulang satu minggu setelahnya, kebijakan yang belum pernah ada sebelumnya.

Era Modern UN (2005-2020)

Sejak 2005, sistem evaluasi bertransformasi menjadi Ujian Nasional (UN) dengan cakupan yang lebih luas. UN dilaksanakan di semua jenjang pendidikan menengah, termasuk SMP, SMA, dan sederajat. Inovasi penting terjadi pada tahun 2008/2009 dengan penerapan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) untuk tingkat SD/MI.

Khusus untuk SMK, UN dirancang dengan mempertimbangkan karakteristik pendidikan kejuruan. Mata pelajaran yang diujikan mencakup matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan yang terpenting, kompetensi kejuruan sesuai jurusan. Hal ini mencerminkan upaya pemerintah untuk memastikan lulusan SMK memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri.

Sumber : Mamikos

UN Berbasis Komputer (2014/2015)

Modernisasi sistem ujian nasional mencapai titik penting dengan diperkenalkannya Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Inovasi ini tidak hanya bertujuan mengurangi kecurangan, tetapi juga menghemat biaya pencetakan dan distribusi soal, serta mempercepat proses penilaian.

UNBK memperkenalkan sistem Computer Based Test (CBT) yang memungkinkan variasi soal lebih banyak dan hasil yang dapat diakses lebih cepat. Meski pada awalnya menghadapi tantangan infrastruktur, terutama di daerah terpencil, UNBK berhasil mendorong digitalisasi sistem pendidikan Indonesia.

Transformasi ke Asesmen Nasional (2021)

Di bawah kepemimpinan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim, sistem evaluasi mengalami perubahan paradigma dengan digantikannya UN oleh Asesmen Nasional (AN). AN mengadopsi pendekatan yang lebih holistik dalam mengukur kualitas pendidikan.

AN tidak lagi berfokus pada hasil akhir siswa secara individual, melainkan pada penilaian mutu sekolah secara keseluruhan. Penilaian mencakup tiga aspek utama: literasi, numerasi, dan karakter. Pelaksanaannya melibatkan perwakilan siswa, seluruh guru, dan kepala sekolah, memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang kualitas pendidikan di setiap satuan pendidikan.

Wacana Pemberlakuan Kembali UN 2026

Wacana pemberlakuan kembali UN yang dikemukakan oleh Mendikdasmen Abdul Mu’ti pada tahun 2024 membuka babak baru dalam sejarah evaluasi pendidikan Indonesia. Rencana ini tidak bisa diimplementasikan segera, dengan target pelaksanaan paling cepat pada pertengahan 2026.

Mu’ti menekankan pentingnya kajian komprehensif dan masukan dari berbagai pemangku kepentingan sebelum keputusan final diambil. Proses ini mencerminkan pendekatan yang lebih hati-hati dan inklusif dalam merancang sistem evaluasi pendidikan nasional.

Sebagai sistem evaluasi yang telah mengalami berbagai transformasi selama 74 tahun, pemberlakuan kembali UN memerlukan pertimbangan matang yang memperhatikan kebutuhan siswa, kesiapan sistem pendidikan, dan tujuan pendidikan nasional secara keseluruhan. Keputusan ini akan menjadi tonggak penting dalam sejarah pendidikan Indonesia yang akan mempengaruhi generasi mendatang.