July 23, 2025 By A G
23 Juli 2025 – Dalam langkah kontroversial yang mengundang perdebatan, Amerika Serikat dan Indonesia telah mencapai kesepakatan perdagangan bersejarah yang memungkinkan perusahaan-perusahaan AS mengelola data pribadi warga Indonesia. Kesepakatan ini merupakan bagian integral dari penetapan tarif resiprokal 19 persen yang dirilis Gedung Putih pada 22 Juli 2025, menandai perubahan signifikan dalam lanskap perlindungan data dan kedaulatan digital Indonesia.
Berdasarkan Lembar Fakta yang dirilis Gedung Putih bertajuk “Amerika Serikat dan Indonesia Mencapai Kesepakatan Perdagangan Bersejarah”, Indonesia akan memberikan kepastian terkait kemampuan pemindahan data pribadi dari wilayahnya ke Amerika Serikat. Hal ini dilakukan melalui pengakuan Amerika Serikat sebagai negara atau yurisdiksi yang menyediakan perlindungan data pribadi yang memadai.
Kesepakatan ini tertuang dalam poin kelima dari delapan poin kesepakatan, yakni “Menghapus Hambatan Perdagangan Digital”. Gedung Putih menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah mengupayakan reformasi untuk meningkatkan pengelolaan perlindungan data pribadi selama bertahun-tahun belakangan, sehingga Washington dinilai mampu mengelola data pribadi masyarakat Indonesia.
Meskipun demikian, pengelolaan data pribadi masyarakat akan tetap dilakukan berdasar hukum terkait perlindungan data pribadi yang berlaku di Indonesia. Dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP), pengendali data pribadi memang diperbolehkan melakukan transfer data pribadi kepada pengendali atau prosesor data pribadi yang berada di luar Indonesia.
Kesepakatan pengelolaan data pribadi ini tidak dapat dipisahkan dari konteks ekonomi yang lebih luas antara kedua negara. Laman Gedung Putih mengungkap bahwa perdagangan AS dengan Indonesia berada di urutan ke-15 yang memberikan andil defisit bagi Amerika Serikat. Total defisit perdagangan barang AS dengan Indonesia mencapai 17,9 miliar dollar AS atau setara Rp 291,9 triliun pada tahun 2024.
Sebelum adanya kesepakatan ini, tarif rata-rata sederhana yang diterapkan Indonesia adalah 8 persen untuk produk AS, sementara tarif rata-rata yang diterapkan AS adalah 3,3 persen untuk produk Indonesia. Dalam kesepakatan baru, tarif impor dari AS yang dikenakan untuk Indonesia telah disepakati sebesar 19 persen, sementara barang-barang dari Amerika yang masuk ke Indonesia tidak dikenakan bea masuk atau nol persen tarif.
Indonesia juga telah berkomitmen untuk menghapuskan lini tarif HTS (Harmonized Tariff Schedule) untuk “produk tak berwujud” dan menangguhkan persyaratan terkait pada deklarasi impor. Selain itu, Indonesia mendukung moratorium permanen bea masuk atas transmisi elektronik di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) segera dan tanpa syarat.
Kebebasan pemerintah Amerika Serikat dalam mengelola data pribadi masyarakat Indonesia dinilai akan berdampak signifikan pada industri pusat data atau data center dalam negeri. Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Ian Yosef M. Edward, mengatakan bahwa kebijakan pengelolaan data di AS tidak hanya berdampak pada perlindungan data pribadi, tetapi juga dapat merugikan industri data center dalam negeri, terutama dari sisi kepercayaan dan keberlanjutan bisnis.
Ian menjelaskan bahwa jika pengelolaan dan pemindahan data ke luar negeri dibiarkan tanpa pembatasan, bahkan dengan jaminan keamanan tertentu, hal ini berpotensi menurunkan kepercayaan pengguna lokal maupun asing pada layanan data center Indonesia. Pengguna internasional yang saat ini menggunakan data center di Indonesia sebagai mirror atau backup juga bisa ikut memindahkan layanannya ke negara lain, sehingga mengancam kelangsungan bisnis data center nasional.
“Hal pengalihan data secara bebas perlu perhatian lebih jauh. Industri data center di Indonesia dapat bermasalah,” kata Ian. Dia menekankan bahwa pemahaman tentang definisi “bebas dipindahkan” sangat penting untuk menakar dampak dan risiko, sebab praktik disaster recovery dan keberlanjutan bisnis banyak mengandalkan data center lokal yang secara fisik dipisahkan serta diakses khusus oleh penyewa.
Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja melihat dampak yang lebih luas dari lemahnya perlindungan data bagi iklim investasi Indonesia. Menurutnya, negara-negara lain bisa menuntut perlakuan serupa di kemudian hari, yang berarti menggerus kedaulatan negara dalam melindungi data warganya.
Lemahnya perlindungan data ini juga bisa menurunkan tingkat kepercayaan investor terhadap ekosistem digital Indonesia, sehingga menimbulkan efek domino terhadap pertumbuhan ekonomi dan reputasi industri nasional di kancah internasional. “Kita sedang membangun digital trust, tapi kalau data diobral, kepercayaan itu hancur,” tutur Ardi.
Salah satu masalah besar yang diungkapkan Ardi adalah kemungkinan besar perjanjian-perjanjian tersebut dibuat tanpa konsultasi yang memadai, termasuk dengan DPR RI. Tanpa transparansi dan keterlibatan pihak terkait, keputusan strategis soal data bisa membahayakan keamanan nasional dan kepercayaan publik.
Praktik pemindahan data antarnegara biasanya melibatkan bentuk timbal balik yang jelas. Ian Yosef berpendapat perlu ada alasan jelas mengapa data pribadi warga Indonesia harus dipindahkan ke luar negeri. Semua pemindahan data juga harus mengacu pada regulasi yang berlaku di Indonesia, khususnya peraturan yang mengatur lokasi penyimpanan data strategis.
“Tentu jika data pribadi Indonesia hal ini terjadi, secara bisnis akan menjadi mahal dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” kata Ian. Hal ini menunjukkan adanya potensi konflik antara kesepakatan internasional dengan regulasi domestik yang perlu diselesaikan.
Pemerintah Indonesia diminta untuk memperjelas makna pengelolaan data pribadi oleh AS, terutama dalam konteks bagaimana hal ini akan diimplementasikan tanpa melanggar kedaulatan digital dan merugikan industri dalam negeri. Transparansi dalam implementasi kesepakatan ini menjadi kunci untuk membangun kepercayaan publik dan memastikan bahwa kepentingan nasional tetap terlindungi.
Kesepakatan antara Amerika Serikat dan Indonesia mengenai pengelolaan data pribadi warga Indonesia merupakan langkah bersejarah yang mencerminkan kompleksitas hubungan perdagangan digital di era modern. Meskipun kesepakatan ini merupakan bagian dari upaya menghapus hambatan perdagangan digital dan mencapai keseimbangan tarif yang lebih adil, dampaknya terhadap kedaulatan digital, industri data center domestik, dan kepercayaan publik tidak boleh diabaikan.
Implementasi kesepakatan ini memerlukan pengawasan ketat dan transparansi penuh untuk memastikan bahwa kepentingan nasional dan perlindungan data pribadi warga Indonesia tetap menjadi prioritas utama. Pemerintah perlu melibatkan semua stakeholder terkait, termasuk DPR RI, industri, dan masyarakat sipil, dalam proses implementasi untuk membangun konsensus dan kepercayaan publik yang diperlukan bagi kesuksesan jangka panjang kesepakatan ini.