January 28, 2025 By Abril Geralin
28 Januari 2025 – Setelah lebih dari setahun terpisah dari kampung halaman mereka, lebih dari 300.000 warga Palestina akhirnya dapat kembali ke Gaza Utara pada Senin (27/1/2024). Kepulangan ini dimungkinkan menyusul kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang diberlakukan sejak Minggu (19/1/2025).
Kepulangan warga Palestina dilakukan melalui dua jalur utama, yaitu Koridor Netzarim dan Jalan Al-Rashid di pesisir pantai. Kementerian Dalam Negeri Gaza mengatur pembukaan kedua jalur tersebut dengan ketentuan berbeda. Jalan Al-Rashid dibuka untuk pejalan kaki mulai pukul 7 pagi waktu setempat, sementara Koridor Netzarim melalui Jalan Salah al-Din dibuka untuk kendaraan pada pukul 9 pagi dengan sistem pemeriksaan ketat.
Proses pemulangan sempat mengalami keterlambatan karena tim teknis yang bertugas melakukan pemeriksaan tiba tidak sesuai jadwal. Setiap kendaraan yang melintas wajib melalui pemindaian sinar-X sebelum diizinkan memasuki Gaza Utara. Menurut media Israel Walla, proses ini dikelola oleh dua perusahaan Amerika dan satu perusahaan Mesir untuk memastikan keamanan dan kelancaran pemulangan pengungsi.
Meski gencatan senjata telah disepakati, proses pemulangan tidak berjalan mulus. Hamas melaporkan bahwa Israel telah menghalangi upaya pemulangan pengungsi ke Gaza Utara. Juru bicara Hamas, Hazem Qassem, dalam wawancara dengan Al Araby mengungkapkan bahwa Israel melanggar kesepakatan gencatan senjata dengan membuat syarat tambahan.
Kantor Benjamin Netanyahu sebelumnya menyatakan bahwa pengungsi dilarang kembali ke Gaza Utara sampai Arbel Yehud, seorang warga Israel yang ditawan Hamas, dibebaskan. Menanggapi hal tersebut, sumber yang dekat dengan Hamas memberi tahu Al Jazeera bahwa Yehud akan dibebaskan pada Sabtu depan. Terdapat perbedaan klaim mengenai status Yehud, di mana Israel menyebutnya sebagai warga sipil, sementara Kelompok Jihad Islam Palestina menyatakan dia adalah polisi yang dilatih dalam program ruang angkasa militer Israel.
Di tengah situasi yang masih tidak menentu, semangat warga Palestina untuk pulang tidak surut meski mengetahui kondisi rumah mereka telah hancur. Seperti yang diungkapkan seorang pria dari Tal al-Hawa, “Kami ingin pergi ke reruntuhan rumah, kami ingin hidup semampu kami.” Pengungsi lain berharap agar kehancuran ini menjadi yang terakhir kali terjadi di Gaza.
Ahmad Adas, pemuda berusia 19 tahun, membagikan kisah harunya setelah menunggu selama tiga hari untuk dapat bertemu kedua orang tuanya yang telah terpisah selama 15 bulan. Sementara itu, seorang pengungsi lain mengungkapkan kebahagiaannya dengan mengatakan bahwa hari kepulangan ini bagaikan memasuki surga, sambil menegaskan tekad mereka sebagai pemilik sah tanah Palestina.
Kepulangan warga Palestina dihadapkan pada tantangan baru berupa ancaman bahan peledak sisa peperangan. Otoritas setempat telah mengeluarkan peringatan kepada warga untuk berhati-hati. Selain itu, kebutuhan mendesak akan tempat berlindung sementara muncul seiring dengan kembalinya lebih dari satu juta pengungsi ke Gaza Utara.
Tragedi kembali terjadi ketika seorang anak berusia lima tahun, Nadia Mohammed Al-Amoudi, syahid setelah pasukan Israel menembaki gerobak di sebelah barat kamp pengungsi Al-Nuseirat. Insiden yang juga melukai tiga warga sipil lainnya ini terjadi saat mereka berupaya kembali ke Gaza Utara, menambah daftar pelanggaran gencatan senjata oleh Israel.
Menurut data PBB, Gaza kini dipenuhi puing-puing dari lebih dari 80 ribu bangunan yang rusak atau hancur total. Para pengungsi yang kembali harus menghadapi realitas pahit ini sambil berusaha membangun kembali kehidupan mereka dari titik nol. Meski demikian, semangat dan tekad mereka untuk kembali ke tanah kelahiran tetap tak tergoyahkan, membuktikan bahwa ikatan antara rakyat Palestina dengan tanah air mereka lebih kuat dari kehancuran perang.