June 5, 2025 By A G
05 Juni 2025 – Surganya diving Indonesia kini dalam bahaya. Raja Ampat, yang selama ini jadi andalan wisata bahari nusantara, mendadak viral dengan alasan yang bikin hati miris. Bukan karena keindahan alamnya yang memukau, tapi karena ancaman serius yang mengintai: rencana penambangan nikel di kawasan yang dijuluki “The Last Paradise on Earth” ini.
Tagar #SaveRajaAmpat kini merajai timeline media sosial, menjadi bentuk protes keras warganet Indonesia yang geram melihat surga bawah laut ini terancam berubah menjadi lahan tambang. Dari anak muda Papua hingga aktivis lingkungan internasional, semua bersuara satu: Raja Ampat harus diselamatkan.
Raja Ampat bukan destinasi wisata biasa. Letaknya di ujung timur Indonesia, tepatnya di Papua Barat Daya, menjadikan kawasan ini sebagai jantung segitiga terumbu karang dunia. Bayangkan, dari sekitar 600 jenis karang yang ada di seluruh dunia, lebih dari 500 jenisnya hidup di perairan Raja Ampat. Belum lagi ribuan spesies ikan, kura-kura laut, hiu karang, dan biota laut lainnya yang berenang bebas di air sebening kristal.
Tapi kondisi yang bikin mata berbinar ini kini terancam hilang. Informasi tentang aktivitas dan izin usaha pertambangan (IUP) nikel di beberapa pulau strategis Raja Ampat mulai tersebar luas. Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran kini jadi sorotan karena rencananya akan dijadikan area penambangan nikel.
Yang bikin makin miris, perusahaan seperti PT Gag Nikel (anak perusahaan PT Antam, Tbk) sudah mengantongi izin dan bahkan mulai beroperasi. Menurut data Dinas Lingkungan Hidup Papua Barat Daya, saat ini dua perusahaan aktif mengoperasikan tambang nikel di Raja Ampat: PT GAG Nikel dan PT Kawei Sejahtera Mining.
Di tengah hiruk pikuk Indonesia Critical Minerals Conference 2025 di Jakarta, empat pemuda Papua bersama aktivis Greenpeace Indonesia melakukan aksi yang langsung viral. Mereka membentangkan banner dengan pesan tegas: “What’s the True Cost of Your Nickel?”, “Nickel Mines Destroy Lives”, dan “Save Raja Ampat the Last Paradise”.
Aksi damai ini terjadi tepat saat Wakil Menteri Luar Negeri Arief Havas Oegroseno sedang berpidato, mencuri perhatian peserta konferensi dan kemudian viral di media sosial. Momen ketika para aktivis berteriak “Save Raja Ampat!” sambil digiring petugas keamanan langsung menyentuh hati warganet.
Ronisel Mambrasar, salah satu aktivis dari Aliansi Jaga Alam Raja Ampat, dengan lantang menyuarakan kekhawatirannya: “Raja Ampat sedang dalam bahaya karena kehadiran tambang nikel di beberapa pulau, termasuk di kampung saya di Manyaifun dan Pulau Batang Pele. Tambang nikel mengancam kehidupan kami.”
Setelah video aksi tersebut tersebar, media sosial langsung meledak. Tagar #SaveRajaAmpat trending di Twitter dan Instagram, dengan ribuan netizen turut menyuarakan keprihatinan mereka. Yang menarik, kampanye ini bukan hanya disuarakan aktivis lingkungan, tapi juga anak muda, komunitas penyelam, hingga influencer dengan jutaan followers.
“Ahamdulillah isu ini udah viral dan masuk akun gosip. Ayoo viralin #saverajaampat gais,” tulis salah satu netizen, menunjukkan bagaimana isu lingkungan kini bisa menyebar dengan cepat melalui berbagai platform.
Komentar-komentar pedas pun bermunculan: “Tak perlu berharap indah pada negara ini, yang mereka pikirkan (pejabat & pengusaha) hanya perut dan kekayaan diri sendiri.” Kritik ini mencerminkan kekecewaan mendalam masyarakat terhadap kebijakan yang dinilai lebih mengutamakan keuntungan ekonomi ketimbang kelestarian alam.
Artis dan influencer juga ikut angkat suara, mengajak followers mereka untuk tidak hanya posting foto estetik dari Raja Ampat, tapi juga turut menjaga kelestariannya. Kampanye digital ini menunjukkan kekuatan media sosial sebagai alat perlawanan dan edukasi massif di era digital.
Kenapa penambangan nikel di Raja Ampat jadi masalah besar? Jawabannya ada pada dampak destruktif yang ditimbulkan. Aktivitas penambangan nikel terkenal sangat merusak lingkungan, mulai dari menghasilkan limbah beracun, deforestasi masif, hingga pencemaran air dan tanah.
Greenpeace Indonesia mencatat bahwa aktivitas tambang di tiga pulau Raja Ampat telah menyebabkan pembukaan lahan seluas lebih dari 500 hektare, merusak vegetasi asli dan memicu sedimentasi di pesisir yang mengancam terumbu karang. Limbah dan sedimen yang mengalir ke laut akan merusak habitat 75% spesies karang dunia yang hidup di perairan Raja Ampat.
Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menjelaskan: “Ketika pemerintah dan pelaku industri sibuk membicarakan masa depan nikel, masyarakat di akar rumput justru menanggung beban kerusakannya. Hutan ditebang, tanah dikeruk, laut tercemar, dan masyarakat lokal terpinggirkan.”
Lebih dari sekadar kerusakan lingkungan, penambangan ini juga mengancam mata pencaharian masyarakat lokal yang bergantung pada pariwisata dan perikanan berkelanjutan. Raja Ampat yang selama ini menjadi magnet wisatawan mancanegara bisa kehilangan daya tariknya selamanya jika ekosistem lautnya rusak.
Tekanan publik yang massif akhirnya membuat pemerintah bereaksi. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia berjanji akan mengevaluasi aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat dan memanggil perusahaan-perusahaan pemegang izin tambang.
“Saya akan evaluasi, akan ada rapat dengan dirjen saya. Saya akan panggil pemiliknya, mau BUMN atau swasta,” kata Bahlil. Ia juga mengakui perlunya pendekatan khusus karena Papua berada di bawah status otonomi khusus.
Kementerian Lingkungan Hidup melalui Sekretaris Utama Rosa Vivien Ratnawati juga menyebutkan bahwa penegakan hukum sedang dilakukan oleh Deputi Gakkum KLH. Namun, respons ini masih dianggap belum cukup oleh para aktivis dan masyarakat yang menginginkan tindakan konkret untuk menghentikan kerusakan yang terjadi.
Anggota Komisi VII DPR RI, Evia Nursanty, bahkan mendesak evaluasi menyeluruh terhadap tambang nikel di Raja Ampat, menekankan bahwa kawasan konservasi dunia ini tidak bisa dikompromikan untuk aktivitas pertambangan apapun.
Isu Raja Ampat ini menyoroti dilema besar Indonesia: bagaimana menyeimbangkan ambisi hilirisasi nikel dengan kebutuhan konservasi alam. Pemerintah gencar mendorong industri nikel sebagai bagian dari transisi energi global, mengingat nikel adalah komponen kunci baterai kendaraan listrik.
Namun, kebijakan hilirisasi yang digagas sejak era Jokowi dan dilanjutkan pemerintahan Prabowo-Gibran ini dinilai lebih menekankan investasi daripada menjaga kelestarian alam dan hak masyarakat adat. Greenpeace menyebut ini sebagai ironi: alih-alih mendorong transisi energi yang adil, justru merusak lingkungan dan menindas komunitas adat.
“Transisi energi seharusnya adil dan berkelanjutan, bukan menambah beban krisis iklim atau menciptakan konflik sosial,” tegas Iqbal Damanik dari Greenpeace.
Kasus Raja Ampat menjadi ujian nyata apakah Indonesia bisa menjalankan pembangunan berkelanjutan yang tidak mengorbankan warisan alam untuk generasi mendatang. Dengan 97% wilayah Raja Ampat merupakan daerah konservasi, seharusnya tidak ada ruang untuk aktivitas destruktif seperti penambangan.
Gerakan #SaveRajaAmpat kini bukan hanya tagar di media sosial, tapi telah menjadi simbol perlawanan generasi muda Indonesia terhadap kebijakan yang mengancam masa depan lingkungan.