January 14, 2025 By Reynaldi Aditya R.
14 Januari 2025 – Kesehatan mental di kalangan Generasi Z Indonesia, yang berusia 15 hingga 24 tahun, menunjukkan angka gangguan yang cukup tinggi, seperti depresi 2% dan kecemasan 26,7%, berdasarkan data dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023. Survei ini melibatkan 345.000 rumah tangga di seluruh Indonesia dan mengungkapkan bahwa meski kesadaran tentang kesehatan mental meningkat, hanya sedikit yang mencari pengobatan, dengan 10,4% penderita depresi yang mendapatkan bantuan. Keterbatasan akses dan stigma sosial menjadi penghalang utama. Dalam konteks ini, kecerdasan buatan (AI) muncul sebagai alternatif yang praktis dan terjangkau untuk membantu mengatasi masalah kesehatan mental, khususnya bagi Generasi Z yang membutuhkan solusi cepat dan mudah.
Generasi Z di Indonesia menghadapi banyak tantangan kesehatan mental yang memengaruhi kualitas hidup mereka. Menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi depresi di kalangan anak muda ini cukup signifikan, meskipun hanya sebagian kecil yang mencari bantuan profesional. Gangguan kecemasan, dengan prevalensi 26,7%, menjadi salah satu masalah kesehatan mental terbesar yang dihadapi oleh mereka.
Faktor-faktor seperti tekanan akademis yang tinggi dan ketidakpastian masa depan turut memperburuk kondisi mental Generasi Z. Banyak dari mereka merasa tertekan untuk memenuhi ekspektasi orang tua atau lingkungan sekitar, dan hal ini sering kali berujung pada perasaan kecemasan dan stres yang mendalam.
Di samping faktor internal seperti tekanan akademis, media sosial juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan mental remaja. Dengan tingginya ketergantungan pada platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok, Generasi Z sering kali merasa tertekan untuk memenuhi standar kecantikan atau kesuksesan yang tidak realistis. Fenomena ini dikenal dengan istilah “social media anxiety”, di mana remaja merasa cemas dan tidak puas dengan diri mereka setelah membandingkan diri dengan konten yang mereka lihat di media sosial.
Meskipun kesadaran terhadap pentingnya kesehatan mental di kalangan masyarakat semakin meningkat, stigma sosial yang menganggap masalah kesehatan mental sebagai sesuatu yang tabu atau memalukan masih sangat kuat, terutama di kalangan anak muda. Hal ini membuat banyak remaja merasa ragu untuk mencari bantuan dari profesional.
Selain itu, akses terhadap layanan kesehatan mental di Indonesia masih terbatas, terutama di daerah-daerah yang lebih terpencil. Dengan terbatasnya jumlah psikolog atau psikiater di banyak kota kecil, banyak generasi muda yang tidak memiliki akses yang memadai untuk mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan.
AI dapat menjadi solusi yang efektif untuk mengatasi kesenjangan akses terhadap layanan kesehatan mental, terutama bagi Generasi Z yang sering kali mencari alternatif digital yang lebih terjangkau dan mudah diakses. Berikut adalah beberapa cara AI dapat membantu meningkatkan kesehatan mental anak muda di Indonesia.
Salah satu penggunaan paling jelas dari AI dalam kesehatan mental adalah melalui chatbots yang memberikan konseling virtual. Aplikasi seperti Woebot dan Wysa menggunakan teknologi AI untuk berbicara dengan pengguna mengenai perasaan mereka dan memberikan dukungan berbasis Cognitive Behavioral Therapy (CBT), yang terbukti efektif dalam mengurangi kecemasan dan depresi.
Dalam sebuah penelitian oleh Stanford University pada tahun 2017, Woebot menunjukkan kemampuannya untuk mengurangi gejala kecemasan pada penggunanya. Peserta yang berinteraksi dengan Woebot selama dua minggu melaporkan penurunan yang signifikan dalam tingkat kecemasan mereka, serupa dengan hasil dari terapi tatap muka.
Aplikasi berbasis AI juga dapat membantu individu untuk memantau mood dan kondisi mental mereka sepanjang hari. Dengan mengumpulkan data tentang pola tidur, aktivitas fisik, dan perasaan yang dilaporkan pengguna, AI dapat memberikan wawasan dan rekomendasi untuk membantu mereka menjaga keseimbangan emosional.
Sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Medical Internet Research pada tahun 2018 menemukan bahwa aplikasi kesehatan mental berbasis AI dapat mendeteksi tanda-tanda depresi dengan akurasi 90% hanya berdasarkan data yang dikumpulkan dari perangkat wearable. Dengan menggunakan data ini, AI bisa memberitahu pengguna jika mereka menunjukkan pola perilaku yang mengindikasikan masalah kesehatan mental yang perlu diperhatikan.
Salah satu keuntungan besar dari menggunakan AI untuk kesehatan mental adalah kemampuannya untuk menawarkan bantuan secara anonim. Bagi banyak remaja Indonesia, stigma sosial terhadap kesehatan mental masih menjadi penghalang besar untuk mencari perawatan. Dengan AI, mereka bisa mendapatkan dukungan tanpa harus khawatir tentang penilaian sosial.
Halodoc, platform kesehatan digital terkemuka di Indonesia, banyak pengguna merasa lebih nyaman untuk berbicara tentang masalah kesehatan mental mereka secara anonim melalui aplikasi dibandingkan dengan berkonsultasi langsung dengan seorang profesional.
Meskipun AI menawarkan banyak potensi untuk mendukung kesehatan mental, ada beberapa tantangan yang perlu diatasi, terutama terkait dengan aksesibilitas dan keakuratan data.
Tidak semua generasi muda di Indonesia memiliki akses yang memadai terhadap perangkat teknologi seperti smartphone atau internet yang stabil. Hal ini menjadi tantangan besar dalam mengintegrasikan teknologi AI untuk kesehatan mental di seluruh lapisan masyarakat.
Meskipun AI dapat memberikan bantuan awal, ia tidak dapat menggantikan peran profesional yang memiliki pemahaman mendalam tentang kondisi psikologis seseorang. Dalam beberapa kasus, gangguan kesehatan mental yang lebih kompleks memerlukan perawatan yang lebih holistik yang melibatkan interaksi manusia langsung.
Kesehatan mental merupakan masalah yang signifikan di kalangan Generasi Z di Indonesia, dengan gangguan kecemasan dan depresi yang tinggi. Meskipun kesadaran terhadap pentingnya kesehatan mental semakin meningkat, masih banyak tantangan yang perlu diatasi, termasuk stigma sosial dan terbatasnya akses terhadap layanan kesehatan mental. AI menawarkan potensi besar untuk mengatasi beberapa kendala ini dengan memberikan alternatif yang lebih mudah diakses, namun peran profesional tetap sangat penting dalam menangani masalah yang lebih kompleks. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya kolaboratif antara pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat untuk mengurangi stigma, meningkatkan akses, dan memastikan bahwa teknologi ini digunakan secara efektif untuk mendukung kesejahteraan mental anak muda di Indonesia.