May 21, 2025 By Rio Baressi
21 Mei 2025 – Usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, memicu gelombang penolakan dari berbagai pihak, baik dari dalam negeri maupun komunitas internasional. Aksi penolakan ini ditandai dengan petisi, unjuk rasa, hingga pertemuan langsung dengan Kementerian Sosial yang bertanggung jawab dalam proses penetapan gelar tersebut.
Sebanyak 30 organisasi masyarakat sipil internasional menyatakan penolakan atas wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Dalam pernyataan bersama berjudul Reject the Proposal to Grant the Title of National Hero to Soeharto and the Legitimization of Impunity for the New Order’s Crimes, mereka mengecam upaya tersebut.
Mengutip laman Kontras, organisasi internasional memandang rezim Soeharto sarat dengan pelanggaran hak asasi manusia dan praktik korupsi, kolusi, serta nepotisme (KKN).
“Upaya untuk menghormati Soeharto sebagai Pahlawan Nasional adalah cerminan bagaimana kekuasaan politik terus mereproduksi dirinya sendiri dengan membersihkan masa lalu dan menghapus ingatan akan kekerasan dan penindasan yang disponsori oleh negara,” tulis mereka dalam pernyataan tersebut.
Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas) juga menjadi penggerak utama penolakan di dalam negeri. Mereka melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Kementerian Sosial pada 15 Mei 2025. Setelahnya, para aktivis diterima langsung oleh Menteri Sosial Saifullah Yusuf dan staf khususnya.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, menyatakan, “Kami tegaskan bahwa kepemimpinan Soeharto jauh dari integritas moral, keadilan, dan kemanusiaan.” Ia juga menambahkan bahwa rezim Soeharto menjadi latar belakang munculnya gerakan reformasi untuk menghapus praktik KKN dan kekerasan negara.
Sebagai bentuk penolakan formal, Gemas menyerahkan tiga dokumen penting yang terdiri dari argumentasi hukum, petisi sipil, dan pernyataan bersama dari organisasi internasional. Jane Rosalina dari Kontras menyatakan, “Sebelumnya disebut pengusulan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto itu berangkat dari usulan masyarakat. Tapi, dalam forum ini, kami berharap usulan penolakan juga dari masyarakat itu dapat dipertimbangkan.”
Petisi tersebut telah ditandatangani oleh lebih dari 6.000 warga sipil, termasuk korban Peristiwa 1965, Widjo Untung, yang ikut menyerahkan dokumen sebagai bentuk protes.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf, yang akrab disapa Gus Ipul, menyatakan keterbukaan terhadap semua masukan. Ia menegaskan bahwa seluruh usulan, termasuk yang kontra, akan dikaji secara objektif oleh Tim Pengkaji dan Peneliti Gelar Pahlawan Nasional. “Tim kami terdiri dari akademisi, sejarawan, dan tokoh masyarakat yang akan mempertimbangkan semua sisi dalam proses ini,” ungkapnya.
Abdul Malik Haramain, Staf Khusus Menteri Sosial, juga menyampaikan bahwa hasil kajian akan diteruskan kepada Dewan Gelar untuk dibahas secara detail dan komprehensif.
Gemas menyoroti berbagai persoalan yang menjadi alasan penolakan. Soeharto dinilai memiliki rekam jejak pelanggaran HAM berat dan tindak pidana korupsi. Jane Rosalina mengungkapkan bahwa Soeharto tercatat dalam sembilan kasus pelanggaran HAM berat serta kekerasan negara dari masa Orde Baru hingga akhir kekuasaannya.
“Soeharto punya rekam jejak dalam konteks tindak pidana korupsi. Dan, perlu dicatat juga bahwa Soeharto pernah dinobatkan sebagai pemimpin terkorup abad ke-20 menurut Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), UNODC, maupun Bank Dunia, dan juga dalam laporan Transparency International Indonesia (TII),” ujarnya.
Gemas menekankan bahwa TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN masih berlaku, sebagaimana dikukuhkan kembali oleh TAP MPR Nomor I Tahun 2003. Karena itu, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dinilai bertentangan dengan semangat reformasi dan hukum yang berlaku.
Menurut Airlangga Julio dari Amar Law Firm & Public Interest Law Office, pemberian gelar pahlawan akan menciptakan dampak simbolik dan finansial. “Kalau Soeharto jadi pahlawan, ini menjadi aneh dan kontradiktif. Di saat yang bersamaan, putusan pengadilan tertinggi menyatakan dia merugikan negara,” ujarnya. Ia juga menyoroti kemungkinan keluarga Soeharto akan menerima tunjangan negara yang berasal dari pajak rakyat.
Isu pengusulan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto menjadi polemik besar yang melibatkan aspek historis, moral, hukum, dan politik. Dengan adanya penolakan luas dari masyarakat sipil dan organisasi internasional, pemerintah diharapkan dapat mengambil keputusan dengan mempertimbangkan keadilan sejarah dan nilai-nilai reformasi.
Related Tags & Categories :