Leet Media

Program KB 4 Anak di Bali Diberikan Insentif: Upaya Pelestarian Budaya Melalui Pertumbuhan Penduduk

April 15, 2025 By Abril Geralin

15 April 2025 – Dalam lanskap kebijakan kependudukan Indonesia yang selama ini familiar dengan program KB dua anak, Provinsi Bali tampil dengan pendekatan berbeda. Gubernur Bali I Wayan Koster secara resmi mewacanakan program KB empat anak yang dilengkapi dengan pemberian insentif, khususnya bagi keluarga yang memiliki anak dengan nama Nyoman (anak ketiga) dan Ketut (anak keempat). Kebijakan ini menjadi sorotan karena berbeda dengan tren nasional, namun memiliki landasan kuat dalam upaya pelestarian budaya Bali.

Alasan di Balik Program KB 4 Anak

Source: Kompas.com

Program KB empat anak yang digagas Gubernur Koster memiliki latar belakang yang berkaitan dengan kondisi demografis dan kebudayaan. Pertumbuhan penduduk Bali tercatat hanya 0,66 persen per tahun, jauh di bawah rata-rata nasional yang mencapai 1,04 persen. Angka ini menjadi kekhawatiran tersendiri karena berdampak pada kelestarian budaya Bali yang sangat kental dengan tradisi dan adat istiadat.

“Saya sedang bekerja keras untuk memproteksi budaya Bali ini. Kalau tidak, bahaya. Bali ini keunggulannya cuma satu, cuma budaya. Kalau kebudayaan Bali ini tidak dijaga dengan baik, wilayahnya kecil, penduduknya sedikit, siapa yang akan mengurusnya ke depan?” ungkap Koster saat menghadiri Kongres Daerah XI IA ITB Pengda Bali di Denpasar.

Gubernur yang kini menjalani periode kedua kepemimpinannya ini menekankan bahwa tanpa jumlah penduduk lokal yang memadai, berbagai tradisi budaya Bali terancam punah. “Tidak ada yang mebanjar, tidak ada yang ngelawar, tidak ada Purnama-Tilem, tidak ada odalan, Galungan, Kuningan, ngaben. Berbagai aktivitas budaya akan terancam,” jelasnya.

Nyoman dan Ketut: Nama yang Terancam Punah

Data sensus terbaru yang dirujuk pemerintah provinsi menunjukkan fakta menarik tentang distribusi penggunaan nama khas Bali. Dari jumlah siswa tingkat SD sampai SMA dengan nama Bali yang mencapai 595.931 orang, tercatat:

Koster menyoroti bahwa nama Nyoman dan Ketut hampir punah di Bali. “Kalau Nyoman dan Ketut hilang, kita akan dimarahi leluhur. Kalau ini dibiarkan, nanti Pak Nyoman Giri Prasta jadi yang terakhir yang menggunakan nama Nyoman,” ujarnya. Bahkan dengan nada berkelakar, ia menyebut bahwa Kajati Bali Ketut Sumedana bisa menjadi orang terakhir bernama Ketut jika tidak ada upaya pelestarian.

Mekanisme Pemberian Insentif

Source: BaliPost.com

Program insentif untuk keluarga dengan anak bernama Nyoman/Komang dan Ketut dirancang sebagai bagian dari program prioritas pemerintah provinsi. Untuk memastikan implementasi yang efektif, Pemprov Bali membentuk Tim Perencanaan Pelestarian Nama Depan Anak untuk Nyoman/Komang dan Ketut.

Insentif yang diberikan meliputi:

Selain insentif langsung, pemerintah provinsi juga mempercepat pelaksanaan berbagai regulasi yang mendukung kelestarian budaya Bali, seperti Perda Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat, Perda Bali Nomor 4 Tahun 2020 tentang penguatan dan pemajuan kebudayaan Bali, dan Pergub Bali Nomor 6 Tahun 2020 tentang sipandu beradab.

“Ini untuk meningkatkan upaya menggali warisan adiluhung berkaitan dengan tradisi seni budaya dan kearifan lokal yang telah punah atau ditinggalkan oleh masyarakat di desa adat. Termasuk memperluas penggunaan aksara Bali sesuai Pergub Bali Nomor 80 tahun 2018,” jelas Koster.

Tanggapan BKKBN dan Pertimbangan Kualitas Keluarga

Source: DP3KB

Menanggapi program KB empat anak, Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Bali Ni Luh Gede Sukardiasih memberikan pandangan yang lebih berimbang. Meskipun menilai kebijakan Pemprov Bali cukup baik dari sisi pelestarian budaya, ia mengingatkan pentingnya memperhatikan kualitas hidup keluarga.

“Kami tidak ada lagi mengisyaratkan dua anak, laki-laki dan perempuan sama saja. Itu tidak ada lagi. Yang penting, keluarga harus berkualitas. Itu kebijakannya Bapak (Wayan Koster) untuk melestarikan. Kalau kami dari BKKBN, men-support bagaimana mewujudkan keluarga berkualitas,” jelasnya.

BKKBN tetap mengimbau agar masyarakat memberi jarak 3 tahun untuk masing-masing kehamilan dengan memakai alat kontrasepsi, serta menetapkan usia maksimal untuk hamil pada umur 35 tahun. Ini menunjukkan bahwa meskipun mendorong pertumbuhan penduduk, aspek kesehatan reproduksi tetap menjadi perhatian.

Dukungan dari Komunitas dan Masyarakat

Program KB empat anak mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan, termasuk para alumni ITB yang hadir dalam Kongres Daerah XI IA ITB Pengda Bali 2025. Mereka bahkan berpose dengan gaya empat jari sebagai bentuk dukungan terhadap program yang digagas oleh Koster, yang juga merupakan alumnus ITB.

Ketua Umum IA ITB Pengda Bali Cokorda Alit Indra Wardhana menyatakan bahwa komunitas alumni ITB siap mendukung program strategis Pemerintah Provinsi Bali. “IA ITB Bali siap mendukung program strategis Pemerintah Provinsi Bali, mulai dari penguatan SDM, teknologi terapan, transisi energi, hingga digitalisasi berbasis kearifan lokal,” ujarnya.

Keseimbangan antara Pelestarian Budaya dan Dinamika Penduduk

Kebijakan KB empat anak di Bali memberikan perspektif baru dalam melihat hubungan antara kebijakan kependudukan dan pelestarian budaya. Berbeda dengan pendekatan nasional yang lebih menekankan pada pengendalian pertumbuhan penduduk, Bali memilih jalan yang lebih sesuai dengan kebutuhan lokalnya.

Gubernur Koster menegaskan bahwa ia tidak menutup diri terhadap kehadiran pendatang yang mencari penghidupan di Bali. “Di Bali bukan persoalan jumlah siapa yang datang ke Bali, tetapi siapa yang kami ajak untuk mengurus budaya,” jelasnya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa kebijakan ini tidak anti-imigran, melainkan pro-kelestarian budaya.

Program ini menggarisbawahi pentingnya mempertimbangkan aspek sosiokultural dalam merumuskan kebijakan kependudukan. Bagi Bali, mempertahankan tradisi penamaan Wayan-Made-Nyoman-Ketut bukan sekadar masalah nama, tetapi terkait erat dengan identitas budaya yang telah bertahan selama berabad-abad.

Inisiatif Gubernur Koster ini menjadi contoh bagaimana pemerintah daerah dapat mengambil langkah inovatif yang disesuaikan dengan konteks lokal masing-masing. Di tengah kekhawatiran global tentang ledakan penduduk, Bali justru menunjukkan bahwa dalam beberapa konteks, pertumbuhan penduduk yang terkendali dengan baik justru menjadi kunci kelestarian warisan budaya.

Implementasi program ini tentu akan terus dipantau dan dievaluasi untuk memastikan keseimbangan antara pertumbuhan penduduk dan kualitas hidup keluarga tetap terjaga. Yang jelas, Bali telah membuka diskusi penting tentang bagaimana kebijakan kependudukan dapat dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan unik tiap daerah.

Related Tags & Categories :

highlight

#insentif

#Leet Media