Leet Media

Perbedaan Sinterklas dan Santa Claus, Hingga Peristiwa Sinterklas Hitam di Indonesia

December 26, 2024 By Amandira Maharani

Sumber : Kabar24

26 Desember 2024 – Perayaan Natal identik dengan sosok Sinterklas dan Santa Claus. Meski sekilas tampak serupa dengan pakaian merah dan jenggot putih, keduanya memiliki asal usul dan tradisi yang berbeda. Pemahaman mendalam tentang kedua tokoh ini mengungkapkan perbedaan signifikan dalam sejarah, penampilan, dan tradisi mereka.

Asal Usul dan Sejarah

Sinterklas berasal dari cerita rakyat Belanda yang mengakar pada kisah Saint Nicholas, seorang uskup dermawan yang hidup pada abad ke-3 Masehi di wilayah yang kini dikenal sebagai Turki. Saint Nicholas dikenal karena kebiasaannya memberikan hadiah secara diam-diam kepada orang-orang miskin, terutama pada malam hari agar identitasnya tidak diketahui. Kemurahan hatinya dalam membantu orang miskin, terutama dalam memberikan mas kawin kepada tiga gadis miskin, menjadi inspirasi lahirnya cerita Sinterklas di Belanda.

Sementara itu, Santa Claus memiliki evolusi yang lebih modern dan kompleks. Tokoh ini berkembang di Amerika Serikat pada abad ke-19, terinspirasi dari berbagai tradisi Eropa, terutama Sinterklas Belanda. Sejarah Santa Claus terkait erat dengan sejarah Kota New York yang awalnya merupakan koloni Belanda bernama New Amsterdam. Transformasi dari Sinterklas menjadi Santa Claus dimulai ketika penulis Washington Irving menciptakan versi modern Santa Claus dalam bukunya “History of New York” pada 1809. Popularitas Santa Claus semakin meningkat setelah puisi “A Visit from St. Nicholas” (yang terkenal dengan pembuka “Twas the night before Christmas”) diterbitkan pada 1823.

Sumber : Tribunnews

Perbedaan Penampilan dan Atribut

Sinterklas memiliki penampilan yang lebih formal dan keagamaan. Ia mengenakan pakaian uskup merah lengkap dengan mitra (topi tinggi uskup) dan tongkat keuskupan yang melambangkan jabatannya sebagai uskup. Jubah merahnya dihiasi dengan salib dan ornamen keagamaan lainnya. Sinterklas digambarkan sebagai pria tinggi dan kurus dengan janggut putih panjang, berbeda dengan Santa Claus yang gemuk dan bulat.

Santa Claus modern memiliki penampilan yang lebih kasual dan ramah. Ia mengenakan setelan wol merah berbulu dengan kerah dan manset putih, ikat pinggang hitam lebar, dan topi musim dingin berbulu. Penampilannya yang ikonik ini sebagian besar dibentuk oleh ilustrator Thomas Nast pada 1860-an dan disempurnakan melalui kampanye iklan Coca-Cola yang terkenal pada 1931. Sejak saat itu, gambaran Santa Claus sebagai pria gemuk berwajah ceria dengan pipi kemerahan menjadi standar global.

Tradisi dan Cara Pemberian Hadiah

Tradisi Sinterklas di Belanda memiliki ritual yang khas. Ia diceritakan tiba dari Spanyol menggunakan kapal layar besar, didampingi oleh para pembantunya. Setelah tiba di pelabuhan, Sinterklas menunggangi kuda putihnya yang bernama Amerigo untuk mengunjungi rumah-rumah. Anak-anak meletakkan sepatu mereka di dekat perapian atau jendela, diisi dengan wortel atau jerami untuk kuda Sinterklas. Perayaan utama berlangsung pada malam 5 Desember, yang dikenal sebagai “Sinterklaasavond” atau “Pakjesavond” (Malam Hadiah).

Santa Claus memiliki tradisi yang berbeda. Ia tinggal di Kutub Utara, tempat ia dan para peri membuat mainan sepanjang tahun. Pada malam Natal, 24 Desember, ia menggunakan kereta salju yang ditarik oleh sembilan rusa terbang, dengan Rudolph si hidung merah sebagai pemimpin. Santa masuk ke rumah-rumah melalui cerobong asap, meninggalkan hadiah dalam kaus kaki yang digantung di perapian atau di bawah pohon Natal. Tradisi ini menyebar ke seluruh dunia melalui pengaruh budaya populer Amerika.

Peranan dalam Budaya Modern

Sinterklas tetap menjadi tradisi penting di Belanda dan beberapa negara Eropa lainnya. Perayaannya lebih fokus pada aspek tradisional dan keagamaan, meskipun telah mengalami beberapa modifikasi seiring waktu untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai modern.

Santa Claus telah menjadi ikon global yang lebih komersial, muncul di pusat perbelanjaan, iklan, dan berbagai media hiburan selama musim Natal. Karakternya telah berkembang melampaui akar keagamaannya, menjadi simbol universal dari kemurahan hati dan keajaiban Natal yang dinikmati oleh orang-orang dari berbagai latar belakang budaya dan agama.

Sumber : Ceknricek

Peristiwa Sinterklas Hitam di Indonesia

Di Indonesia, tradisi Sinterklas memiliki sejarah yang terkait erat dengan periode kolonial Belanda. Perayaan Sinterklas pernah menjadi bagian dari kehidupan sosial di Indonesia, khususnya pada masa-masa awal kemerdekaan. Namun, dinamika hubungan Indonesia-Belanda pada tahun 1957 mengubah signifikansi tanggal 5 Desember, yang sebelumnya dikenal sebagai hari perayaan Sinterklas, menjadi momen bersejarah yang berbeda.

Tanggal 5 Desember 1957 menjadi momen kelam dalam sejarah hubungan Indonesia-Belanda. Peristiwa ini dikenal sebagai “Zwarte Sinterklaas” atau Sinterklas Hitam, di mana Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan pengusiran terhadap 46.000 warga Belanda dari Indonesia. Kebijakan ini tidak hanya menyasar warga negara Belanda totok, tetapi juga warga Indo-Belanda yang memiliki darah campuran Indonesia dan Belanda.

Sumber ; VOI

Latar Belakang Peristiwa

Pengusiran besar-besaran ini dilatarbelakangi oleh meningkatnya ketegangan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Belanda. Meskipun Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, isu perebutan wilayah Papua Barat terus menjadi sumber konflik di antara kedua negara. Indonesia menuntut agar Papua Barat, yang saat itu masih disebut Irian Barat, diserahkan ke Indonesia. Namun, Belanda bersikukuh untuk mempertahankan kendali atas wilayah tersebut.

Ketegangan semakin memuncak ketika Resolusi Indonesia mengenai Irian Barat ditolak dalam Sidang Umum PBB. Penolakan ini memicu kemarahan Presiden Soekarno dan mendorongnya untuk mengambil tindakan tegas terhadap Belanda, termasuk mengeluarkan kebijakan pengusiran warga negara Belanda dari Indonesia.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Kebijakan pengusiran warga Belanda menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang luas di Indonesia. Pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi terhadap berbagai perusahaan milik Belanda di berbagai sektor, mulai dari perkebunan hingga perbankan. Aset-aset Belanda yang dinasionalisasi kemudian dikelola oleh pemerintah Indonesia atau diserahkan kepada pengusaha pribumi.

Selain nasionalisasi perusahaan, pemerintah Indonesia juga menutup konsulat Belanda di Indonesia dan memberlakukan pembatasan ketat terhadap aktivitas warga Belanda di Indonesia. Sentimen anti-Belanda menyebar dengan cepat ke berbagai lapisan masyarakat. Diskriminasi terhadap warga Belanda terjadi di mana-mana, bahkan toko-toko dan kantor pos pun menolak untuk melayani mereka.

Tradisi Sinterklas dalam Masyarakat Indonesia

Menariknya, sebelum peristiwa Sinterklas Hitam terjadi, perayaan Sinterklas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di kalangan menengah ke atas. Perayaan Sinterklas di Indonesia menunjukkan pengaruh budaya Belanda yang masih kuat di masa itu.

Bahkan, dalam biografi Achmad Yani “Tumbal Revolusi” (1988) disebutkan bahwa keluarga-keluarga Muslim, seperti keluarga Jenderal Yani, juga ikut merayakan tradisi Sinterklas. Hal ini menunjukkan bahwa Sinterklas dipandang sebagai sebuah perayaan budaya dan tidak memiliki konotasi religius yang kuat di Indonesia. Namun, setelah peristiwa Sinterklas Hitam, perayaan Sinterklas menjadi identik dengan kolonialisme Belanda dan semakin ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia.