Leet Media

Perang Saudara di Suriah, Dari Awal Pemberontakan hingga Sekarang

December 6, 2024 By Abril Geralin

6 Desember 2024 – Perang saudara di Suriah, yang bermula pada 2011, terus menjadi salah satu konflik paling kompleks di dunia. Awalnya dipicu oleh gelombang protes Musim Semi Arab, rakyat Suriah menuntut reformasi politik dan mengakhiri pemerintahan otoriter Bashar al-Assad. Respon keras pemerintah, termasuk kekerasan terhadap demonstran, memperparah situasi hingga berkembang menjadi konflik bersenjata.

Akar Konflik: Dari Protes ke Perang

Pada Maret 2011, demonstrasi damai di Daraa, sebuah kota di selatan Suriah, mendapat respons brutal dari pasukan keamanan. Penangkapan dan penyiksaan terhadap demonstran muda semakin menyulut kemarahan rakyat. Oposisi mulai terbentuk, menyerukan reformasi besar-besaran, namun pemerintah menolak memberi jalan kompromi.

Di tengah kekacauan, faksi-faksi pemberontak mulai terbentuk, termasuk Tentara Pembebasan Suriah (FSA). Dalam waktu singkat, Suriah menjadi ajang pertarungan banyak kelompok bersenjata, termasuk organisasi ekstremis seperti ISIS yang memperumit konflik.

Serangan Kelompok Pemberontak

Kelompok pemberontak, termasuk Hayat Tahrir al-Sham dan Tentara Nasional Suriah yang didukung Turki, telah melancarkan serangan masif dalam beberapa minggu terakhir. Mereka berhasil merebut sebagian besar wilayah kota Hama, memaksa mundurnya pasukan pemerintah hingga 20 kilometer ke pinggiran kota. Pertempuran ini juga melibatkan serangan udara intensif dari pihak pemerintah dengan dukungan Rusia. Sementara itu, klaim penangkapan tentara Suriah dan milisi pendukung Iran oleh pemberontak memperlihatkan dinamika konflik yang semakin kompleks

Keterlibatan Asing, Menambah Kompleksitas

Iran dan Rusia menjadi pendukung utama rezim Assad, memasok senjata dan kekuatan militer. Sebaliknya, negara-negara Barat serta Turki memberikan dukungan kepada kelompok oposisi. Amerika Serikat dan sekutunya juga melakukan intervensi untuk melawan ISIS, yang sempat menguasai sebagian besar wilayah timur Suriah.

Konflik ini pun berubah menjadi perang proksi dengan berbagai agenda: mempertahankan kekuasaan Assad, memerangi terorisme, dan memperjuangkan pengaruh geopolitik di kawasan Timur Tengah.

Eskalasi 2024: Kebangkitan Pemberontak

Setelah sempat mereda, pemberontakan kembali memanas pada 2024. Kelompok HTS dan aliansinya melancarkan serangan besar di Aleppo, salah satu kota strategis Suriah. Momentum ini terjadi setelah pasukan Iran, yang menjadi sekutu utama Assad, melemah karena keterlibatan mereka dalam konflik dengan Israel.

Para pemberontak berhasil merebut istana kepresidenan di Aleppo pada awal Desember 2024, menciptakan ketegangan baru di wilayah tersebut. Sebagai balasan, pasukan Assad, dengan bantuan Rusia, meluncurkan serangan udara besar-besaran untuk merebut kembali kota tersebut. Konflik ini memicu kekhawatiran akan perang saudara baru seperti yang terjadi pada dekade sebelumnya​.

Kota Hama Jadi Titik Panas Baru

Krisis di Suriah kembali memanas dengan kota Hama menjadi pusat konflik terbaru antara pasukan pemerintah Presiden Bashar al-Assad dan kelompok pemberontak. Kota ini merupakan wilayah strategis yang menghubungkan ibu kota Damaskus dengan Aleppo, menjadikannya penting bagi kedua pihak yang bertikai.

.

Mengapa Pemberontakan Terjadi Lagi?

Source: detik.com

Kembalinya aksi pemberontakan tak lepas dari faktor-faktor internal dan eksternal. Di dalam negeri, ketidakpuasan terhadap rezim Assad tetap tinggi karena ekonomi yang runtuh, korupsi, dan minimnya kebebasan politik. Di sisi lain, ketegangan regional, termasuk perang antara Israel dan Hizbullah, mengurangi dukungan militer Iran untuk Suriah, memberikan celah bagi pemberontak.

Kelompok pemberontak juga memanfaatkan situasi geopolitik yang semakin rumit, termasuk melemahnya posisi pemerintah di kawasan barat laut akibat kurangnya koordinasi militer.

Dampak Konflik: Kemanusiaan dan Politik

Perang saudara di Suriah telah menyebabkan lebih dari 500.000 kematian sejak 2011. Puluhan juta orang terpaksa mengungsi, menciptakan krisis pengungsi global. Kota-kota hancur, ekonomi lumpuh, dan tatanan sosial terkoyak.

Kebangkitan pemberontakan ini memunculkan tantangan baru bagi upaya perdamaian internasional. Rusia dan Iran terus menghadapi tekanan dari negara-negara Barat, sementara Amerika Serikat memperkuat kehadirannya di wilayah tersebut dengan dalih melawan terorisme.

Konflik di Suriah menunjukkan bagaimana campur tangan domestik dan asing dapat memicu dan memperpanjang kekerasan. Dengan eskalasi baru pada 2024, masa depan Suriah tetap tidak menentu. Resolusi konflik membutuhkan pendekatan menyeluruh, melibatkan rekonsiliasi domestik dan kerja sama internasional yang tulus.