June 25, 2025 By A G
25 Juni 2025 – Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU TNI di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin, 23 Juni 2025, mencuat perdebatan sengit soal siapa yang berhak menggugat undang-undang. Pemerintah dan DPR RI kompak menyatakan bahwa mahasiswa, aktivis, dan ibu rumah tangga yang menjadi penggugat tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk menggugat revisi UU TNI.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas tegas menyatakan bahwa para penggugat “tidak memiliki pertautan langsung” dengan UU TNI karena mereka bukan prajurit aktif, calon prajurit TNI, atau pegawai instansi sipil yang berpotensi dirugikan. Pandangan serupa disampaikan Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto, yang menilai mayoritas penggugat hanyalah warga sipil biasa seperti mahasiswa, pekerja swasta, dan ibu rumah tangga.
Pemerintah berargumen bahwa revisi UU TNI dilakukan karena urgensi nasional untuk menghadapi dinamika keamanan regional dan berbagai ancaman, baik militer maupun non-militer. Menurut mereka, undang-undang ini merupakan kesepakatan politik antara DPR dan presiden yang telah melalui pembahasan di Komisi I DPR.
Utut Adianto menegaskan bahwa para penggugat “tidak berkapasitas sebagai TNI aktif, calon prajurit TNI, ataupun pegawai di instansi sipil yang berpotensi dirugikan dengan meluasnya jabatan sipil yang memungkinkan untuk dijabat oleh TNI.” Menurutnya, yang mengajukan gugatan justru mahasiswa, pelajar, karyawan swasta, dan pengurus rumah tangga yang tidak memiliki relevansi langsung.
DPR juga membantah tuduhan bahwa revisi UU TNI dilakukan tanpa partisipasi publik, dengan menyatakan bahwa revisi tersebut masuk dalam Prolegnas Prioritas dan dilakukan untuk menjawab tantangan masa kini dan masa depan terkait kepentingan pertahanan nasional.
Sikap pemerintah dan DPR yang mempertanyakan kapasitas para penggugat mendapat respons dari Hakim Konstitusi Arief Hidayat. Dia memandang langkah aktivis dan mahasiswa yang menggugat UU ini sebagai bentuk kepedulian generasi muda terhadap demokrasi dan hukum.
“Tapi ini positif, adanya kesadaran hukum di kalangan generasi muda. Sehingga berjalannya negara hukum yang demokratis berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mulai dari sedikit demi sedikit terbentuk,” ujar Arief, memberikan catatan positif terhadap partisipasi generasi muda dalam proses hukum.
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Beni Kurnia Illahi, memandang pernyataan DPR dan pemerintah sebagai sikap yang mendiskreditkan kedudukan masyarakat sipil. “Jadi mentang-mentang pemohon itu hanya ibu rumah tangga, pekerja swasta, lalu tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, dianggap tidak memiliki kewenangan, kedudukan menguji undang-undang,” kata Beni.
Dia menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Mengacu pada Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pemohon gugatan adalah pihak yang menganggap hak dan kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, termasuk perorangan warga negara Indonesia.
Para penggugat merasa dirugikan karena revisi UU TNI memperluas kewenangan militer di lembaga sipil, dari sebelumnya hanya bisa menempati 10 lembaga menjadi 14 lembaga. Perluasan ini menguatkan kekhawatiran kembalinya dwi fungsi TNI yang mengancam kedudukan masyarakat sipil, khususnya yang berkaitan dengan meritokrasi ASN.
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan bahwa setiap undang-undang bersifat umum dan mengikat siapa saja. “Makanya kemudian rakyat kan berkepentingan untuk memiliki TNI profesional, yang tugasnya sesuai dengan konstitusi,” kata Charles.
Peneliti Bidang Hukum dan Regulasi Center of Economics and Law Studies (Celios), Muhamad Saleh, mengatakan bahwa mahasiswa, aktivis, bahkan ibu rumah tangga memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan ke MK, asalkan mereka dapat menunjukkan hak konstitusional yang dilanggar.
Saleh menekankan bahwa MK adalah pengadilan konstitusi, bukan sekadar pengadilan administratif, sehingga substansi kerugian konstitusional lebih penting dibanding posisi formal pemohon. “MK sejak awal tidak bersifat kaku dalam menilai legal standing,” kata Saleh.
Dia mencontohkan bahwa MK dalam banyak perkara sebelumnya telah menerima permohonan dari individu atau kelompok sipil yang secara langsung tidak terkena dampak administratif namun secara konstitusional terdampak, seperti gugatan presidential threshold oleh mahasiswa dan gugatan batas usia presiden oleh pemohon perorangan.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, termasuk LBH Jakarta dan KontraS, mengkritisi pernyataan pemerintah dan DPR. Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, menilai sikap tersebut menunjukkan anti-demokrasi karena mereduksi partisipasi publik yang bermakna.
“Setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pembentukan suatu undang-undang. Oleh karena itu, proses pembentukan suatu undang-undang haruslah dipandang memiliki pertautan langsung dengan hajat hidup masyarakat luas,” kata Fadhil.
Koalisi menegaskan bahwa kedudukan TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan yang bertugas menjaga integritas wilayah dan keselamatan masyarakat memberikan justifikasi bagi masyarakat untuk mengoreksi pembentukan UU TNI. Terlebih dengan riwayat sejarah TNI (dulu ABRI) terkait berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM yang menjadikan masyarakat sebagai korban.
Kontroversi legal standing dalam gugatan UU TNI ini mencerminkan perdebatan fundamental tentang partisipasi publik dalam demokrasi Indonesia. Di satu sisi, pemerintah dan DPR berargumen bahwa tidak semua warga negara memiliki relevansi langsung dengan setiap undang-undang. Di sisi lain, para ahli hukum dan aktivis menekankan bahwa setiap warga negara memiliki hak konstitusional untuk berpartisipasi dalam proses hukum.
Kasus ini juga menunjukkan ketegangan antara pendekatan formalistik yang menekankan hubungan langsung pemohon dengan undang-undang, versus pendekatan substantif yang melihat dampak konstitusional yang lebih luas. Dengan 19 gugatan yang telah diajukan ke MK terhadap UU TNI, keputusan MK akan menjadi preseden penting untuk masa depan partisipasi publik dalam pengujian undang-undang di Indonesia.
Perdebatan ini pada akhirnya akan menentukan seberapa terbuka ruang bagi generasi muda dan masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi, khususnya dalam mengawasi kebijakan yang berkaitan dengan institusi keamanan negara.