January 14, 2025 By Amandira Maharani
14 Januari 2025 – Swedia, negeri Skandinavia yang tersohor akan kesejahteraan dan keindahan alamnya, menyimpan sebuah keunikan lain yang mungkin tak banyak diketahui: kesederhanaan para pejabatnya. Bayangkan seorang menteri berangkat kerja dengan berdesakan di kereta, atau anggota parlemen yang antri membeli tiket bus seperti masyarakat biasa. Di Swedia, pemandangan seperti ini bukanlah hal yang aneh.
Kebijakan ini berakar dari nilai-nilai kesetaraan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Swedia. Mereka percaya bahwa setiap warga negara, terlepas dari status sosial atau jabatannya, memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Seperti dikutip dari Mail & Guardian (31/5/2019), pemerintah Swedia menerapkan kebijakan yang menempatkan para politisi setara dengan warga biasa. Mereka tidak diberikan fasilitas istimewa seperti mobil dinas dan sopir pribadi. Para menteri dan anggota parlemen justru dituntut untuk hidup dalam kondisi yang sama dengan rakyat yang mereka wakili.
Alasan lain di balik kebijakan ini adalah transparansi dan akuntabilitas penggunaan uang rakyat. Masyarakat Swedia memiliki standar tinggi dalam hal ini. Menghambur-hamburkan uang pajak untuk kemewahan pribadi adalah sebuah pelanggaran serius. Jika seorang pejabat ketahuan menggunakan dana publik untuk kepentingan pribadi, beritanya akan langsung tersebar luas dan berdampak pada reputasi mereka.
Lembaga legislatif Swedia, Sveriges Riksdag, telah mengatur dengan jelas mengenai transportasi bagi para pejabatnya. Mereka diperbolehkan menggunakan transportasi umum, mobil pribadi, mobil sewaan, atau taksi untuk perjalanan dinas. Namun, parlemen hanya memiliki tiga mobil dinas yang tersedia untuk keperluan kenegaraan. Selebihnya, para anggota parlemen harus menggunakan transportasi umum atau kendaraan pribadi.
Untuk perjalanan dinas, anggota parlemen mendapatkan tiket kereta dan pesawat tahunan dengan kuota perjalanan tak terbatas. Uniknya, tiket pesawat ini hanya berlaku untuk kelas ekonomi. Jika mereka menggunakan mobil pribadi, akan diberikan uang penggantian dengan potongan pajak. Perjalanan dinas ke luar negeri pun diatur dengan ketat. Untuk perjalanan jarak pendek, mereka hanya boleh menggunakan kelas ekonomi. Kelas bisnis hanya diperbolehkan untuk perjalanan jauh, misalnya ke luar Eropa.
Kebijakan ini bukan semata-mata tentang penghematan anggaran. Lebih dari itu, ini adalah cerminan dari budaya dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Swedia. Kesederhanaan, transparansi, dan akuntabilitas menjadi prinsip utama dalam menjalankan pemerintahan.
Bayangkan dampaknya jika budaya ini diterapkan di Indonesia. Anggaran untuk mobil dinas yang mewah bisa dialihkan untuk program-program yang lebih bermanfaat bagi masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur. Pejabat negara pun akan lebih dekat dengan rakyat, merasakan langsung permasalahan yang dihadapi masyarakat, dan mengambil kebijakan yang lebih tepat sasaran.
Tentu saja, menerapkan budaya seperti di Swedia bukanlah hal yang mudah di Indonesia. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi, mulai dari infrastruktur transportasi umum yang belum memadai, hingga mentalitas masyarakat dan pejabat yang masih terjebak dalam budaya “feodal”.
Namun, bukan berarti kita tidak bisa belajar dari Swedia. Kita bisa memulainya dari hal-hal kecil, seperti membiasakan diri menggunakan transportasi umum, mendukung kebijakan yang mendorong transparansi anggaran, dan menjadi pemilih yang kritis.
Sayangnya, realita di Indonesia masih jauh dari nilai-nilai kesederhanaan dan kesetaraan yang diterapkan di Swedia. Salah satu contohnya adalah kasus viral pengawalan mobil berpelat nomor RI 36 yang arogan di jalan raya. Video yang beredar luas di media sosial menunjukkan aksi “patwal” atau pengawalan yang dilakukan oleh beberapa pengendara motor, bahkan sampai menghentikan paksa kendaraan lain agar mobil RI 36 bisa lewat.
Aksi ini menuai kecaman publik karena dianggap arogan dan sewenang-wenang. Pertanyaan pun muncul, siapa sebenarnya pemilik mobil RI 36 tersebut?
Berdasarkan penelusuran, Utusan Khusus Presiden Bidang Generasi Muda dan Pekerja Seni, Raffi Ahmad. Raffi Ahmad mengakui dengan jelas bahwa mobil tersebut adalah miliknya, yang biasa digunakan sebagai kendaraan dinas. Hal ini tentu saja memicu kontroversi dan mempertanyakan etika pejabat publik dalam menggunakan fasilitas negara.
Kasus ini menjadi pengingat bagi kita semua akan pentingnya kesadaran dan etika dalam berkendara, terutama bagi para pejabat publik. Penggunaan fasilitas negara haruslah sesuai dengan kebutuhan dan tidak untuk kepentingan pribadi. Kesederhanaan dan kerendahan hati adalah sikap yang seharusnya diprioritaskan, bukan justru menunjukkan kekuasaan dan keistimewaan.
Kisah pejabat Swedia yang naik transportasi umum adalah sebuah pelajaran berharga bagi kita semua. Ini menunjukkan bahwa kesejahteraan dan kemajuan suatu bangsa tidak harus diukur dari kemewahan pejabatnya. Justru, kesederhanaan, transparansi, dan akuntabilitaslah yang menjadi kunci utama dalam membangun pemerintahan yang bersih dan melayani rakyat.
Mungkin kita belum bisa sepenuhnya meniru Swedia, tapi setidaknya kita bisa mulai menanamkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Siapa tahu, suatu saat nanti kita akan melihat para pejabat di Indonesia dengan bangga menggunakan transportasi umum dan lebih dekat dengan rakyatnya.