April 29, 2025 By Abril Geralin
29 April 2025 – Mulai 2 Mei 2025, Jawa Barat akan menerapkan kebijakan kontroversial yang menggemparkan dunia pendidikan: mengirim siswa bermasalah ke barak militer. Program ini merupakan bentuk kerja sama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan TNI Angkatan Darat yang bertujuan untuk membina karakter siswa yang dinilai sulit dibina di lingkungan sekolah konvensional.
Kebijakan yang digagas oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, ini ditujukan untuk mengatasi permasalahan kenakalan remaja yang semakin meresahkan, seperti tawuran, pergaulan bebas, dan keterlibatan dalam geng motor. Namun, rencana ini juga menuai banyak kritik dari berbagai pihak, termasuk dari pakar pendidikan dan psikolog anak.
Program ini akan dilaksanakan secara bertahap, dimulai dari daerah-daerah yang dianggap rawan dan siap untuk implementasi. TNI Angkatan Darat telah menyiapkan sekitar 30 hingga 40 barak khusus untuk menampung para siswa yang akan mengikuti program pembinaan karakter ini.
“Tidak harus langsung di 27 kabupaten/kota. Kita mulai dari daerah yang siap dan dianggap rawan terlebih dahulu, lalu bertahap,” ujar Dedi Mulyadi dalam keterangan resminya di Bandung.
Para siswa yang terpilih akan menjalani program pembinaan selama enam bulan, di mana mereka tidak akan mengikuti sekolah formal. Selama periode tersebut, TNI akan bertanggung jawab untuk menjemput siswa dari rumah mereka dan membina karakter serta perilaku mereka di barak militer.
“Selama enam bulan siswa akan dibina di barak dan tidak mengikuti sekolah formal. TNI yang akan menjemput langsung siswa ke rumah untuk dibina karakter dan perilakunya,” kata Dedi.
Kriteria utama bagi siswa yang akan mengikuti program ini adalah mereka yang dinilai bermasalah, terindikasi terlibat dalam pergaulan bebas, atau tindakan kriminal. Prioritas diberikan kepada siswa yang terlibat dalam tawuran, geng motor, atau siswa yang dinilai oleh orang tua mereka sudah sulit dibina dalam aspek etika dan perilaku.
Penting untuk dicatat bahwa program ini tidak bersifat memaksa. Kepala Dinas Penerangan TNI AD, Brigadir Jenderal Wahyu Yudhayana, menegaskan bahwa penentuan siswa yang akan mengikuti program harus berdasarkan kesepakatan antara pihak sekolah dan orang tua.
“Jadi sekali lagi, untuk penentuan ini berdasarkan rencana dari Pemprov Jabar yang melibatkan orang tua atau tetap berdasarkan kesepakatan dengan orang tua masing-masing siswa,” tegas Wahyu.
Program ini akan fokus pada pembentukan karakter dan perilaku positif. Kurikulum yang akan diterapkan meliputi pendidikan etika, pengetahuan umum, keterampilan pertanian, dan pelatihan kedisiplinan. Pendekatan militer dipilih karena dianggap efektif dalam membentuk kedisiplinan dan ketahanan mental para siswa.
Brigadir Jenderal Wahyu Yudhayana menjelaskan bahwa program ini secara umum merupakan pembinaan karakter bagi siswa-siswa yang memiliki sikap perilaku negatif. “Programnya sendiri secara umum yaitu pembinaan karakter bagi siswa-siswa yang memiliki sikap perilaku negatif meliputi pendidikan etika, pengetahuan, pertanian dan kedisiplinan,” katanya.
Sesuai dengan hasil komunikasi antara Staf Teritorial Angkatan Darat dan Staf Teritorial Kodam III/Siliwangi, kerja sama antara Kodam III/Siliwangi dan Pemprov Jabar terkait penanganan siswa bermasalah ini akan segera direalisasikan, dengan rencana waktu pelaksanaan yang akan dibicarakan secara lebih rinci dengan Pemprov Jabar.
Pembiayaan program ini akan dilakukan melalui kolaborasi antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pemerintah kabupaten/kota yang terlibat. Dedi Mulyadi bahkan mengungkapkan kesediaannya untuk menyiapkan anggaran selama 6 bulan hingga satu tahun untuk program pembinaan ini.
“Nanti udah baik baru dibalikin ke orang tuanya,” kata Dedi saat menghadiri acara HUT ke-26 Kota Depok pada Jumat, 25 April 2025.
Meskipun rencana pelaksanaan program ini sudah cukup matang, masih ada beberapa aspek teknis yang perlu dikoordinasikan lebih lanjut antara Kodam III/Siliwangi dan Pemprov Jawa Barat. Brigjen Wahyu menambahkan bahwa sebelum program dimulai, akan ada pemberitahuan resmi setelah seluruh aspek teknis selesai dikomunikasikan.
Program ini menuai berbagai reaksi dari masyarakat. Di satu sisi, banyak netizen yang menyambut positif gagasan tersebut, menganggapnya sebagai solusi efektif untuk mengatasi kenakalan remaja yang semakin meresahkan.
“Ide bagus, daripada terus dibiarkan nakal ujung-ujung bikin resah masyarakat, mending didik secara militer, mantap pak Dedi Mulyadi,” tulis seorang netizen di media sosial.
“Setuju pak, banyak sekolah sudah angkat tangan melihat siswanya bandel malah dibiarkan begitu saja, program seperti ini harus diterapkan di Indonesia, semoga daerah lain bisa terapkan kebijakan ini,” timpal netizen lainnya.
Namun, di sisi lain, program ini juga mendapat kecaman dari berbagai kalangan, termasuk para pakar pendidikan dan psikolog anak. Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai usulan itu berbahaya dan bisa memunculkan trauma militerisme.
“Ini bisa membangunkan trauma lama soal militerisme dalam ruang-ruang sipil. Bukan menjadi solusi, malah bisa menjadi intimidasi, terutama anak-anak dan orang tua,” kata Ubaid.
Psikolog anak, Gisella Tani Pratiwi, memperingatkan bahwa ancaman atau gertakan dalam proses pengasuhan atau pendidikan akan berdampak negatif pada perkembangan anak. “Ancaman dan gertakan bisa digolongkan menjadi tindakan kekerasan verbal kepada anak,” katanya.
Gisella menjelaskan bahwa pendekatan semacam itu akan membuat anak terus-menerus merasa tidak aman secara psikologis, merasa terancam, dan memiliki pandangan negatif terhadap dirinya. Selain itu, metode ancaman dan pendekatan keras justru mematikan ruang anak untuk mengolah dirinya secara komprehensif.
Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Atip Latipulhayat, juga menilai rencana Dedi kurang tepat. Menurutnya, sistem pendidikan di Indonesia sudah memiliki mekanisme yang baku untuk menangani anak-anak yang butuh bimbingan, yaitu melalui guru bimbingan konseling (BK).
“Kita sudah punya mekanisme yaitu dengan guru-guru bimbingan konseling (BK). Jadi, untuk menangani persoalan, masalah-masalah yang berkaitan dengan siswa, termasuk di dalamnya yang disebut kenakalan siswa, itu ditangani oleh guru BK,” kata Atip.
Program pembinaan karakter di barak militer ini memunculkan pertanyaan penting: apakah ini merupakan langkah tepat dalam membangun karakter generasi muda, atau justru bentuk militerisasi pendidikan yang dapat berdampak buruk pada perkembangan psikologi anak?
Di satu sisi, pendekatan militer memang dikenal efektif dalam membentuk kedisiplinan dan ketahanan mental. Namun, di sisi lain, pendekatan yang terlalu keras dan mengandalkan ketakutan dapat merusak perkembangan psikologis anak dan menghalangi tumbuhnya motivasi internal untuk berperilaku baik.
Sebagaimana diingatkan oleh Ubaid Matraji, pelibatan militer dalam ranah pendidikan sipil pernah meninggalkan luka sejarah di masa lalu yang tidak boleh diulang. “Kenapa sekarang sedikit-sedikit harus melibatkan mililter? Seakan-akan apa pun masalahnya, solusinya adalah TNI?” tanyanya.
Sementara itu, Atip Latipulhayat menegaskan bahwa pendekatan yang tepat seharusnya menggunakan pendekatan edukatif. “Nanti malah konotasinya kurang baik. Kok, militerisasi di dalam pendidikan Indonesia?” katanya.
Terlepas dari pro dan kontra, program ini akan segera diimplementasikan mulai 2 Mei 2025. Masyarakat, khususnya para orang tua dan pendidik, diharapkan dapat mengikuti perkembangan program ini dengan kritis dan memberikan masukan yang konstruktif demi perbaikan sistem pendidikan dan pembinaan karakter generasi muda Indonesia.
Apapun hasilnya nanti, program ini setidaknya telah membuka diskusi penting tentang metode pendidikan karakter yang efektif dan humanis bagi anak-anak Indonesia, khususnya mereka yang membutuhkan pendekatan khusus dalam proses pendidikan dan pengembangan kepribadian.