Leet Media

Misteri Ratusan Jasad Pendaki yang Tertinggal di Gunung Everest

December 16, 2024 By Amandira Maharani

Gunung everest

16 Desember 2024 – Gunung Everest, megah dengan ketinggian 8.800 meter di atas permukaan laut, tidak hanya menjadi simbol keberanian para pendaki, melainkan juga menyimpan kisah kelam ribuan pendakian. Di balik keindahan salju abadi dan tantangan alam yang menakjubkan, tersembunyi kisah tragis ratusan nyawa yang hilang di lereng curam nan berbahaya ini.

Statistik mencengangkan menunjukkan bahwa dari total 310 jasad pendaki yang tercatat, sekitar 150 di antaranya masih terbaring di lereng gunung, menjadi saksi bisu akan kompleksnya penyelamatan di zona maut tertinggi di dunia. Setiap jasad memiliki cerita sendiri, sebuah perjalanan terakhir yang berakhir di antara es dan angin dingin yang tak berperikemanusiaan.

Kisah “Green Boots” Titik Misterius di Everest

Salah satu jasad paling terkenal adalah “Green Boots”, pendaki yang identitasnya masih menjadi misteri. Diyakini sebagai Tsewang Paljor atau Lance Naik Dorje Morup, pendaki asal India yang melakukan pendakian pada 1996. Jasadnya telah menjadi titik penanda (landmark) di jalur utara Gunung Everest, sebuah pemandangan yang menghantui para pendaki berikutnya.

Pada 2014, tim ekspedisi asal China mencoba memindahkan jasad ini ke lokasi yang kurang mencolok, namun tetap membiarkannya di atas gunung. Lhakpa Sherpa, seorang pendaki berpengalaman yang memegang rekor pendakian perempuan terbanyak, menceritakan pengalamannya melihat tujuh jasad pada pendakiannya di 2018, salah satunya tampak seolah masih hidup karena angin meniup rambutnya.

Mengapa Jasad Tidak Dievakuasi?

Biaya Evakuasi yang Sangat Mahal

Biaya pemulangan jenazah di Gunung Everest mencapai USD 70.000 atau setara Rp 1,097 miliar. Untuk konteks, biaya pendakian sendiri sudah mencapai USD 45.000. Dalam beberapa paket pendakian, biaya repatriasi bahkan melebihi biaya pendakian itu sendiri. Calon pendaki pun diminta menandatangani formulir kematian yang mengatur opsi pemulangan jenazah.

Risiko Penyelamatan yang Fatal

Alan Arnette, seorang pendaki berpengalaman, menjelaskan kompleksnya proses evakuasi. Semakin tinggi lokasi jasad, semakin sulit proses penyelamatan. Di zona kematian (di atas 8.000 meter), kondisi cuaca ekstrem dengan suhu di bawah 0 derajat Celcius dan minimnya oksigen membuat setiap upaya penyelamatan nyaris mustahil.

Dibutuhkan 6-10 Sherpa untuk menurunkan satu jasad dengan cara yang terkendali, melewati turunan, tanjakan, cerukan, dan retakan es. Bahkan upaya penyelamatan pun berpotensi menelan korban tambahan.

Tragedi dalam Upaya Penyelamatan

Sejarah mencatat betapa berbahayanya upaya penyelamatan. Pada 29 Oktober 1984, Inspektur Polisi Nepal Yogendra Bahadur Thapa dan pemandu Ang Dorjee menemui ajal saat mencoba mengevakuasi jasad Hannelore Schmatz, seorang pendaki Jerman yang meninggal pada 1979. Mereka ditemukan dalam kondisi terikat tali pendakian, menambah daftar korban di Gunung Everest.

Musim Pendakian 2023 – Puncak Keramaian

Tahun 2023 tercatat akan menjadi musim pendakian tersibuk. Nepal telah mengeluarkan 463 izin pendakian, yang berarti sekitar 900 orang akan berupaya mencapai puncak, termasuk para Sherpa yang mendampingi.

Gunung Everest bukan sekadar tantangan fisik, melainkan ujian batas kemampuan manusia. Setiap jasad yang tertinggal adalah pengingat akan keagungan dan keganasan alam, sekaligus kisah keberanian dan tragedi para penjelajah yang bermimpi mencapai puncak tertinggi di dunia.


Pemandangan mayat di sepanjang rute pendakian telah menjadi pemandangan yang tidak lagi mengagetkan. Elia Saikaly, pembuat film Everest, menggambarkannya dengan kata-kata mencekam: “Kematian. Pembantaian. Kekacauan. Antrian. Mayat dalam perjalanan.”

Everest terus menjadi Mekkah bagi para penakluk gunung, tempat di mana batas kemampuan manusia diuji, dan di mana setiap langkah bisa menjadi yang terakhir.