March 25, 2025 By Rio Baressi
25 Maret 2025 – Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, mengusulkan pencabutan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) sebagai salah satu syarat melamar pekerjaan. Usulan ini muncul setelah ditemukannya fakta bahwa banyak mantan narapidana kesulitan mendapatkan pekerjaan karena keberadaan SKCK yang mencantumkan catatan pidana. Langkah ini menuai respons dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri), yang memandang SKCK sebagai dokumen penting dalam pelayanan masyarakat.
Direktur Jenderal Instrumen dan Penguatan HAM, Nicholay Aprilindo, mengungkapkan bahwa mantan narapidana sering menghadapi diskriminasi saat melamar pekerjaan. Hal ini menyebabkan beberapa di antaranya memilih untuk kembali melakukan tindakan kriminal agar dapat hidup di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas), di mana kebutuhan dasar mereka lebih terjamin.
Kementerian HAM menilai bahwa penghapusan SKCK dapat membuka peluang bagi mantan narapidana untuk kembali berkontribusi di masyarakat tanpa hambatan administratif. Surat resmi mengenai usulan ini telah dikirimkan ke Kapolri pada 21 Maret 2025, dengan harapan mendapatkan respons positif.
Polri, melalui Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divhumas Polri, Brigjen Polisi Trunoyudo Wisnu Andiko, memberikan tanggapan atas usulan ini. Ia menegaskan bahwa SKCK memiliki fungsi strategis dalam pelayanan publik, termasuk sebagai alat pengawasan dan keamanan.
“SKCK adalah dokumen penting yang mendukung operasional Polri dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Selain untuk keperluan melamar pekerjaan, SKCK juga membantu dalam pengawasan dan pengendalian keamanan,” ujar Trunoyudo.
Menurutnya, penerbitan SKCK sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku, termasuk Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Trunoyudo menambahkan bahwa hak masyarakat untuk mendapatkan layanan ini diatur dalam konstitusi, dan Polri berkomitmen untuk melayani setiap individu yang membutuhkan dokumen tersebut.
Meski mempertahankan pentingnya SKCK, Polri tetap terbuka terhadap diskusi lebih lanjut mengenai usulan ini. Trunoyudo menyatakan bahwa Polri siap mencari solusi jika keberadaan SKCK dianggap menghambat masyarakat, terutama mantan narapidana, dalam mengakses pekerjaan.
“Kami menghargai masukan dari Kementerian HAM. Jika SKCK dirasakan menghambat, kami akan mengevaluasi prosesnya untuk memastikan pelayanan tetap optimal tanpa mengabaikan fungsi utamanya,” jelasnya.
Kementerian HAM memberikan waktu satu bulan kepada Polri untuk memberikan respons terhadap usulan ini. Jika tidak ada tanggapan, Kementerian HAM berencana melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendiskusikan kemungkinan perubahan kebijakan lebih lanjut.
Dengan polemik ini, masyarakat menunggu langkah konkret dari kedua institusi dalam menyelesaikan isu yang menyentuh aspek kemanusiaan sekaligus keamanan nasional.
Related Tags & Categories :