December 21, 2024 By Abril Geralin
21 Desember 2024 – Masalah kesehatan mental di kalangan remaja Jakarta telah menjadi perhatian serius setelah sebuah studi mengungkap bahwa 34 persen pelajar SMA di kota ini memiliki gejala gangguan kesehatan jiwa. Studi yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) ini menyoroti betapa kompleksnya faktor-faktor yang memengaruhi kondisi mental remaja di salah satu kota metropolitan terbesar di Asia Tenggara. Tingginya angka ini mengundang pertanyaan mengenai penyebab utama dan solusi yang dapat diterapkan untuk mengatasi tantangan tersebut. menurut data dari Studi teranyar mengungkapkan fakta mengejutkan tentang kondisi kesehatan mental remaja di Jakarta. Data menunjukkan, 34 persen siswa SMA di Jakarta memiliki gejala gangguan mental. Sebanyak 30 persen di antaranya ditemukan memiliki gejala sering marah dan cenderung agresif. Studi tersebut dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC) dan Fokus Kesehatan Indonesia (FKI). Studi melibatkan 741 pelajar dan 97 guru di Jakarta.
Salah satu penyebab utama masalah kesehatan mental di kalangan remaja adalah konflik dengan teman sebaya. Studi yang diterbitkan dalam jurnal “International Journal of Adolescence and Youth” menunjukkan bahwa konflik dengan teman sebaya dapat meningkatkan risiko depresi hingga 40 persen. Selain itu, penelitian oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) juga menunjukkan bahwa 26 persen remaja mengalami masalah dengan teman sebayanya, baik dalam bentuk perundungan, tekanan sosial, atau rasa terisolasi. Konflik seperti ini sering kali memicu perasaan kesepian, rendah diri, dan stres yang berkepanjangan. Di usia remaja, hubungan sosial memiliki peran penting dalam membangun identitas dan kepercayaan diri, sehingga tekanan sosial yang berat dapat berdampak buruk pada kesejahteraan mental mereka.
Selain itu, gangguan emosional seperti rasa cemas berlebihan dan gejala psikosomatis menjadi salah satu penyebab utama lainnya. Studi dari “Journal of Child Psychology and Psychiatry” menyebutkan bahwa tekanan akademis yang tinggi dapat meningkatkan gejala kecemasan pada remaja hingga 35 persen. Sebanyak 23 persen kasus masalah kesehatan mental remaja berkaitan dengan tekanan emosional yang mereka rasakan. Situasi ini sering kali dipicu oleh ekspektasi dari keluarga serta ketidakmampuan mengelola stres. Banyak remaja merasa terjebak dalam tuntutan untuk meraih prestasi akademik yang sempurna, sementara mereka belum sepenuhnya matang dalam keterampilan manajemen emosional.
Gangguan hiperaktivitas juga menjadi faktor signifikan, dengan 29 persen remaja menunjukkan perilaku terlalu aktif dan kesulitan mempertahankan konsentrasi. Penelitian dari “National Institute of Mental Health” (NIMH) menyebutkan bahwa gangguan ini dapat mengganggu proses belajar mereka di sekolah serta hubungan interpersonal, yang pada akhirnya memperburuk kondisi kesehatan mental. Lingkungan belajar yang kurang mendukung serta kurangnya pemahaman terhadap kebutuhan khusus remaja dengan gangguan hiperaktivitas memperparah situasi ini.
Jakarta sebagai kota metropolitan membawa tantangan tersendiri bagi kesejahteraan mental remaja. Studi dari “Urban Mental Health” oleh WHO mencatat bahwa hidup di kota besar seperti Jakarta dapat meningkatkan risiko gangguan mental hingga 20 persen akibat polusi, kemacetan, dan tekanan sosial yang besar. Selain itu, Jakarta juga dikenal sebagai kota dengan budaya kompetitif yang kuat, baik dalam bidang pendidikan maupun sosial. Remaja sering kali merasa harus bersaing untuk mendapatkan pengakuan dan tempat di tengah masyarakat yang kompetitif ini.
Kurangnya ruang terbuka hijau dan fasilitas rekreasi yang terjangkau juga menjadi hambatan bagi remaja untuk melepaskan stres dan mencari kenyamanan emosional. Akibatnya, banyak remaja menghabiskan waktu mereka di depan layar gadget tanpa aktivitas fisik yang memadai, yang dapat memperburuk kondisi mental mereka. Penelitian oleh “Environmental Health Perspectives” menunjukkan bahwa akses ke ruang hijau dapat menurunkan risiko depresi hingga 25 persen, namun Jakarta masih kekurangan ruang hijau per kapita dibandingkan kota besar lainnya.
Keluarga memiliki peran krusial dalam menjaga kesehatan mental remaja. Namun, pengasuhan yang kurang optimal, seperti minimnya perhatian dan komunikasi antara orang tua dan anak, sering kali menjadi pemicu masalah kesehatan mental. Ketika remaja merasa tidak didengar atau dipahami oleh orang tua mereka, mereka cenderung menarik diri dan mengalami kesulitan mengungkapkan emosi mereka. Studi dari “Journal of Family Psychology” menunjukkan bahwa remaja dengan pola asuh otoriter memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi mengalami gangguan kecemasan dibandingkan remaja dengan pola asuh demokratis.
Pengalaman traumatis dalam keluarga, seperti kekerasan atau pelecehan, juga dapat berdampak jangka panjang terhadap kesehatan mental remaja. Trauma ini tidak hanya memengaruhi kondisi emosional mereka saat ini tetapi juga dapat menciptakan pola pikir negatif yang sulit diubah di masa depan. Selain itu, kurangnya kesadaran orang tua terhadap pentingnya kesehatan mental sering kali membuat mereka tidak memberikan dukungan yang cukup kepada anak-anak mereka.
Meski pemerintah telah berupaya meningkatkan akses ke layanan kesehatan mental, masih banyak remaja yang enggan mencari bantuan profesional. Stigma sosial yang melekat pada masalah kesehatan mental membuat banyak remaja merasa malu atau takut dicap negatif jika mengungkapkan kesulitan yang mereka hadapi. Selain itu, layanan kesehatan mental yang ramah remaja masih sangat terbatas, baik dari segi jumlah maupun kualitasnya.
Menurut survei oleh UNICEF, hanya 2,6 persen remaja dengan masalah kesehatan mental yang benar-benar memanfaatkan layanan kesehatan atau konseling dalam setahun terakhir. Hal ini menunjukkan perlunya peningkatan kesadaran dan aksesibilitas terhadap layanan kesehatan mental, khususnya untuk remaja di Jakarta.
Untuk mengatasi masalah kesehatan mental remaja di Jakarta, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pihak, termasuk keluarga, sekolah, dan pemerintah. Pendidikan tentang kesehatan mental perlu ditingkatkan, baik untuk remaja maupun orang dewasa di sekitar mereka. Guru dan orang tua harus dilatih untuk mengenali tanda-tanda awal gangguan mental dan memberikan dukungan yang dibutuhkan.
Layanan konseling yang ramah remaja harus disediakan di sekolah dan komunitas, sehingga remaja merasa lebih nyaman mencari bantuan ketika menghadapi masalah. Selain itu, kampanye untuk mengurangi stigma terhadap kesehatan mental juga harus digencarkan, agar remaja tidak takut atau malu untuk berbicara tentang perasaan mereka.
Pemerintah juga perlu berinvestasi dalam menyediakan fasilitas kesehatan mental yang lebih baik, termasuk tenaga profesional yang terlatih dalam menangani remaja. Dengan pendekatan yang komprehensif, diharapkan kesejahteraan mental remaja di Jakarta dapat ditingkatkan, memungkinkan mereka untuk tumbuh menjadi individu yang sehat secara fisik dan emosional, serta mampu memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.