March 12, 2025 By Rio Baressi
12 Maret 2025 – Kasus dugaan tindak asusila dan penyalahgunaan narkoba yang melibatkan Kapolres Ngada nonaktif, AKBP Fajar Widyadharma Lukman, tengah menjadi perhatian publik. Kejadian ini memunculkan berbagai pertanyaan terkait integritas institusi kepolisian dan pentingnya penegakan hukum secara transparan. Artikel ini mengulas kronologi kasus, bukti-bukti yang ditemukan, dan langkah hukum yang diambil.
Kasus ini pertama kali mencuat setelah Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Mabes Polri menerima laporan dari Australian Federal Police (AFP) pada 23 Januari 2025. Laporan tersebut menyebutkan adanya video kekerasan seksual terhadap anak yang diunggah di situs luar negeri, yang ditelusuri berasal dari Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTT, Kombes Patar Silalahi, mengonfirmasi, “Surat dari Hubinter Mabes Polri menyampaikan adanya dugaan kekerasan seksual terhadap anak di Kupang.”
Pada 20 Februari 2025, AKBP Fajar diamankan oleh Divisi Propam Mabes Polri. Ia mengakui perbuatannya dalam interogasi di Polda NTT.
Patar Silalahi menyatakan, “Yang bersangkutan secara terbuka mengakui semua perbuatannya.” Sebelum itu, pihak kepolisian telah menemukan bukti berupa fotokopi Surat Izin Mengemudi (SIM) atas nama Fajar di hotel tempat kejadian.
Menurut penyelidikan, Fajar memanfaatkan seorang perempuan berinisial F untuk mencari korban. F membawa seorang anak berusia enam tahun ke hotel yang telah dipesan oleh Fajar dengan imbalan Rp3 juta.
“F disanggupi untuk menghadirkan anak tersebut di hotel pada tanggal 11 Juni 2024 dan diberi imbalan Rp3 juta,” ujar Kombes Patar.
Terkait kasus ini juga Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Kupang mengatakan telah mendampingi satu korban dugaan pencabulan AKBP Fajar. Namun, terdapat perbedaan keterangan dengan yang dirilis Polda NTT, karena korban yang didampingi berusia 12 tahun.
Selain itu, berdasarkan asesmen, diduga ada dua korban lain AKBP Fajar sehingga total korban tindak pencabulan itu jadi tiga anak di bawah umur.
Dua korban yang diduga jadi korban AKBP Fajar berdasarkan asesmen DP3A Kota Kupang adalah anak perempuan usia 3 dan 14 tahun.
“Setelah ditelusuri kami baru dapatkan satu korban dan berdasarkan hasil asesmen tiga korban,” kata Plt Kepala Dinas P3A Kota Kupang, Imelda Manafe, saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Senin (10/3) pagi.
Menurut Plt. Kadis Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Imelda Manafe kasus tersebut dilaporkan pihak Pemerintah Australia kepada Kementerian PPPA. Lalu dari Kementerian PPPA itu pun menyampaikan ke kepolisian dan pihak terkait.
“Pertama itu ada berita dari Pemerintah Australia itu langsung disampaikan ke Kementerian PPPA. Dari Kementerian PPPA itu menyampaikan ke Polda NTT,” kata Imelda pada Senin lalu.
Bukti lain yang memberatkan adalah video kekerasan seksual yang direkam oleh Fajar dan diunggah ke situs porno Australia. Pihak Australia kemudian melaporkan temuan tersebut ke pemerintah Indonesia.
“Untuk videonya, dari Polda NTT hanya menerima soft copy dari Mabes Polri,” ungkap Kombes Hendry Novika Chandra.
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) menunjukkan Fajar hanya memiliki kekayaan Rp14 juta pada tahun 2023, turun dari Rp103 juta di tahun sebelumnya. Temuan ini memunculkan dugaan adanya upaya pencucian uang yang mungkin terkait dengan kejahatannya.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan bahwa siapa pun yang melanggar hukum akan ditindak tegas.
“Anggota yang terbukti bermasalah, apapun pangkatnya, akan ditindak,” tegas Kapolri.
Kasus ini menuai kecaman luas dari masyarakat dan anggota DPR. Legislator Dewi Juliani mendesak agar hukuman maksimal diberikan.
“Ini bukan sekadar pelanggaran kode etik, tetapi kejahatan serius yang mencoreng institusi Polri,” tegasnya.
Anggota Komisi III DPR RI Benny K Harman juga menyatakan, “Mabes Polri harus segera memecat dan memproses hukum pelaku untuk menjaga kepercayaan masyarakat.”
Kasus ini mencerminkan tantangan besar dalam menjaga integritas institusi kepolisian. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menegaskan, “Semua pihak perlu memastikan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual diaplikasikan dengan optimal.”
Harapan besar publik adalah agar kasus ini menjadi langkah awal untuk mereformasi kepolisian dan memastikan keadilan ditegakkan tanpa kompromi.