April 25, 2025 By Rio Baressi
25 April 2025 – Survei Penilaian Integritas Pendidikan Nasional 2024 yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap realita mengejutkan mengenai maraknya praktik ketidakjujuran di dunia pendidikan Indonesia. Mulai dari menyontek, plagiarisme, gratifikasi, hingga penyalahgunaan dana pendidikan, temuan-temuan ini menggambarkan perlunya reformasi menyeluruh dalam sistem pendidikan kita.
Hasil survei menunjukkan bahwa praktik menyontek terjadi di 78 persen sekolah dan 98 persen kampus. Ini menunjukkan bahwa ketidakjujuran akademik bukan lagi kasus individual, melainkan sudah menjadi budaya yang mengakar.
Sebanyak 43 persen siswa dan 58 persen mahasiswa mengaku pernah menyontek. Hal ini mencerminkan lemahnya pengawasan dan internalisasi nilai-nilai kejujuran di lingkungan belajar.
Selain menyontek, plagiarisme juga menjadi persoalan serius, terjadi di 43 persen perguruan tinggi dan 6 persen sekolah. Hal ini menandakan kurangnya literasi tentang etika akademik serta lemahnya pembinaan karakter dalam kurikulum.
Tak hanya itu, survei juga mengungkap rendahnya kedisiplinan. Sebanyak 45 persen siswa dan 84 persen mahasiswa mengaku sering terlambat hadir. Sementara itu, 69 persen siswa dan 96 persen mahasiswa mengatakan bahwa guru atau dosen juga sering terlambat, bahkan ada yang tidak hadir tanpa alasan jelas.
Salah satu temuan mencemaskan adalah persepsi keliru tentang gratifikasi. Sekitar 30 persen guru-dosen dan 18 persen kepala sekolah-rektor menganggap pemberian hadiah dari siswa atau wali murid sebagai hal yang wajar.
Di 65 persen sekolah, orang tua biasa memberikan bingkisan saat hari raya atau kenaikan kelas. Bahkan, 22 persen orang tua mengaku memberikan bingkisan agar anaknya mendapat nilai bagus atau bisa lulus.
KPK juga menemukan adanya penyimpangan dana BOS di 12 persen sekolah, dengan bentuk seperti:
Selain itu, 26 persen sekolah dan 68 persen kampus diketahui menerima komisi dari vendor yang dipilih berdasarkan relasi pribadi, menandakan adanya konflik kepentingan dalam pengadaan.
Perilaku koruptif lainnya juga ditemukan, antara lain:
Secara umum, 42 persen sekolah masih menunjukkan indikasi berbagai pelanggaran lain yang merusak integritas pendidikan.
Skor nasional SPI 2024 mencapai 69,50, masuk dalam kategori korektif, yang berarti bahwa meskipun nilai-nilai integritas mulai diinternalisasikan, pelaksanaannya belum optimal dan masih perlu ditingkatkan.
Berikut kategori nilai SPI:
Survei ini melibatkan 449.865 responden dari 36.888 satuan pendidikan di 38 provinsi dan 507 kabupaten/kota, termasuk Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN). Metode pelaksanaannya menggabungkan survei online (CAWI, WhatsApp, email blast) dan hybrid (CAPI).
Menanggapi temuan KPK, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof Abdul Mu’ti, menekankan pentingnya transformasi pendekatan pendidikan. Ia menyatakan bahwa orientasi pendidikan harus bergeser dari sekadar pencapaian nilai menuju pembentukan karakter dan nilai-nilai integritas.
“Orientasi pendidikan tidak hanya menekankan pada aspek penghargaan, tetapi juga memperkuat pendidikan nilai. Ini yang sudah mulai kami terapkan dalam pelatihan guru,” ujarnya.