December 4, 2024 By Abril Geralin
4 Desember 2024 – Presiden Korea Selatan (Korsel), Yoon Suk Yeol, mengumumkan status darurat militer pada Selasa (3/12/2024). Dalam pidato yang disiarkan langsung di televisi nasional, Yoon menegaskan bahwa tindakan ini diperlukan untuk melindungi Korsel dari ancaman “kekuatan komunis” Korea Utara dan elemen anti-negara yang dianggap mengganggu stabilitas negara.
Keputusan Yoon Suk Yeol untuk mengumumkan darurat militer datang di tengah ketegangan yang meningkat di Semenanjung Korea. Ketegangan ini dipicu oleh aktivitas pesawat militer asing dan konflik politik domestik yang terus memanas.
Pada Jumat (29/11/2024), sebanyak 11 pesawat militer dari China dan Rusia terdeteksi memasuki Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ) Korsel. Pesawat-pesawat tersebut terpantau berada di zona ADIZ selama empat jam, sebelum akhirnya keluar tanpa melakukan pelanggaran terhadap wilayah udara Korsel. Namun, keberadaan pesawat asing tersebut memicu respons langsung dari militer Korsel.
Kepala Staf Gabungan militer Korsel (JCS) melaporkan bahwa jet-jet tempur Angkatan Udara Korsel segera dikerahkan untuk melakukan manuver taktis. Langkah ini menunjukkan kesiapan Korsel dalam menghadapi potensi ancaman keamanan dari luar negeri.
Deklarasi darurat militer ini juga erat kaitannya dengan ancaman dari Korea Utara (Korut). Selama bertahun-tahun, hubungan antara Korsel dan Korut terus memburuk, dengan berbagai provokasi dari pihak Pyongyang, termasuk peluncuran rudal balistik dan latihan militer besar-besaran.
Dalam pidatonya, Yoon menyatakan komitmennya untuk melindungi sistem demokrasi liberal Korsel dari ancaman ideologi komunis yang diusung oleh Korut. Ia menegaskan pentingnya langkah tegas untuk menjaga kedaulatan Korsel di tengah ketegangan geopolitik yang semakin meningkat.
Selain faktor eksternal, darurat militer ini diumumkan di tengah meningkatnya konflik politik domestik. Partai Kekuatan Rakyat yang dipimpin Yoon bersitegang dengan oposisi utama, Partai Demokrat, terkait rencana pengurangan anggaran untuk tahun 2025.
Anggota parlemen dari Partai Demokrat, yang memegang mayoritas di parlemen, pekan lalu menyetujui pengurangan signifikan dalam anggaran negara melalui komite parlemen. Kebijakan ini menuai kritik keras dari Yoon, yang menyebut langkah tersebut sebagai upaya melumpuhkan pemerintahan dan melemahkan sistem administrasi negara.
“Majelis Nasional kita telah menjadi surga bagi para penjahat, sarang kediktatoran legislatif yang berupaya melumpuhkan sistem peradilan dan administratif kita,” tegas Yoon dalam pidatonya. Ia juga menuduh oposisi sengaja memangkas anggaran untuk sektor-sektor penting seperti pemberantasan narkoba dan keamanan publik.
Dalam pidatonya, Yoon menyebut oposisi sebagai “kekuatan anti-negara” yang bertujuan menggulingkan pemerintahannya. Ia menegaskan komitmennya untuk mengembalikan Korsel ke “keadaan normal” dengan menyingkirkan elemen-elemen yang dianggap merusak stabilitas negara.
“Untuk melindungi Korea Selatan yang liberal dari ancaman yang ditimbulkan oleh kekuatan komunis dan untuk melenyapkan elemen-elemen anti-negara, saya mengumumkan darurat militer,” ujar Yoon.
Pengumuman darurat militer ini memiliki dampak besar terhadap situasi politik dan keamanan di Korsel. Dalam konteks internasional, langkah ini dapat memperburuk hubungan Korsel dengan tetangga-tetangganya, termasuk Korut, China, dan Rusia.
Sementara itu, di dalam negeri, deklarasi ini memicu perdebatan tentang kebijakan Yoon yang dinilai semakin otoriter. Oposisi menuduh pemerintahannya menggunakan darurat militer sebagai alat untuk melemahkan kekuatan politik yang berseberangan.
Namun, pemerintah Yoon menegaskan bahwa keputusan ini diambil semata-mata untuk melindungi keamanan nasional dan menjaga stabilitas Korsel di tengah ancaman internal dan eksternal.
Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ) adalah wilayah udara yang ditetapkan oleh sebuah negara untuk tujuan keamanan. Di dalam zona ini, negara tersebut dapat memantau dan mengidentifikasi pesawat-pesawat asing yang masuk, meskipun mereka tidak melanggar wilayah udara negara tersebut secara langsung.
Ketegangan meningkat ketika 11 pesawat militer China dan Rusia terdeteksi di ADIZ Korsel pada 29 November 2024. Insiden ini bukan pertama kalinya pesawat asing memasuki ADIZ Korsel, tetapi kali ini memicu respons tegas dari militer Seoul.
Presiden Korea Selatan Yoon Suk-Yeol akhirnya mencabut dekrit darurat militer yang sempat memicu penolakan luas dari parlemen, kabinet, hingga masyarakat sipil. Dekrit ini, yang memberikan kekuasaan sementara kepada militer untuk mengendalikan situasi keamanan dengan melarang aksi protes dan aktivitas politik, telah memanaskan suasana politik dan sosial di negara tersebut.
Dekrit darurat militer diumumkan oleh Presiden Yoon untuk merespons situasi tertentu yang dianggap mendesak. Namun, langkah ini segera memicu kritik tajam, terutama dari Partai Demokrat, oposisi utama yang mendominasi parlemen.
Anggota parlemen oposisi dengan cepat menggelar rapat darurat di gedung Majelis Nasional Korea Selatan untuk merespons langkah tersebut. Sementara itu, ratusan warga sipil berkumpul di luar gedung parlemen, memprotes keputusan presiden dan menuntut pengunduran dirinya.
Ketegangan meningkat ketika personel militer mencoba memasuki gedung parlemen tetapi dihalangi oleh staf parlemen. Perlawanan politik terhadap dekrit ini memuncak dalam voting parlemen, di mana 190 dari total anggota menyatakan penolakan bulat terhadap langkah tersebut. Secara hukum, keputusan parlemen ini mengikat presiden untuk mencabut dekrit darurat militer.
Pada Rabu dini hari, 4 Desember 2024, Presiden Yoon akhirnya mengumumkan pencabutan dekrit tersebut. Keputusan ini disusul dengan persetujuan dari kabinetnya, yang secara resmi meresmikan pencabutan darurat militer. Usai pengumuman, militer yang sebelumnya ditempatkan di sekitar gedung parlemen ditarik mundur, dan perlengkapan mereka dilucuti.
Meskipun darurat militer telah dicabut, situasi di Korea Selatan tetap bergejolak. Demonstrasi masih berlangsung, terutama di luar gedung Majelis Nasional di Seoul. Ratusan demonstran meneriakkan slogan seperti “Tangkap Yoon Suk Yeol” dan “Sampah Yoon Suk Yeol,” sembari menuntut pemakzulan dan pencopotan Presiden Yoon dari jabatannya.
Pihak kepolisian memperketat pengamanan di sekitar gedung parlemen untuk mencegah eskalasi lebih lanjut. Hingga kini, tekanan publik terhadap Presiden Yoon terus meningkat, dengan tuntutan agar dia bertanggung jawab atas keputusan kontroversialnya.
Krisis ini menyoroti ketegangan politik di Korea Selatan, terutama hubungan antara pemerintah dan oposisi. Dengan dukungan kuat dari parlemen, oposisi Partai Demokrat kini memiliki momentum untuk terus mendesak pertanggungjawaban Presiden Yoon.
Masyarakat Korea Selatan, yang dikenal dengan tradisi politiknya yang aktif, diperkirakan akan terus memantau dan merespons kebijakan pemerintah ke depan. Stabilitas politik dan keamanan menjadi prioritas utama di tengah situasi yang masih memanas.
Pencabutan dekrit darurat militer menandai akhir dari langkah kontroversial yang dilakukan oleh Presiden Yoon Suk-Yeol. Namun, gelombang protes yang terus berlangsung menunjukkan ketidakpuasan publik terhadap kepemimpinannya. Dengan tekanan dari parlemen dan masyarakat, Korea Selatan memasuki babak baru dalam dinamika politiknya yang akan menentukan arah negara ini di masa depan.
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Seoul mengeluarkan imbauan resmi kepada Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di Korea Selatan untuk tetap waspada pasca dikeluarkannya Dekrit Darurat Militer oleh Presiden Yoon Suk-Yeol. Meskipun dekrit tersebut telah dicabut setelah ditolak oleh parlemen dan kabinet, situasi keamanan di wilayah tertentu tetap menjadi perhatian.
Dalam imbauan yang dirilis pada Selasa, 3 Desember 2024, KBRI Seoul meminta seluruh WNI di Korea Selatan, khususnya di ibu kota Seoul dan sekitarnya, untuk tetap tenang serta memantau perkembangan situasi keamanan.
Berikut poin-poin penting yang disampaikan oleh KBRI Seoul:
Langkah-langkah pencegahan ini diambil untuk memastikan keselamatan WNI di Korea Selatan di tengah ketidakpastian situasi politik dan keamanan. KBRI Seoul terus memantau kondisi terkini dan akan memberikan pembaruan kepada warga negara Indonesia jika diperlukan.
WNI yang membutuhkan bantuan dapat menghubungi KBRI Seoul melalui saluran resmi yang telah disediakan. Dengan tetap tenang, waspada, dan mematuhi imbauan ini, diharapkan semua WNI di Korea Selatan dapat terhindar dari potensi risiko yang mungkin terjadi.
Pengumuman darurat militer oleh Presiden Yoon Suk Yeol menunjukkan betapa seriusnya Korsel menghadapi ancaman keamanan dari dalam dan luar negeri. Ketegangan dengan Korut, aktivitas militer asing di ADIZ, serta konflik politik domestik menciptakan situasi yang kompleks dan penuh tantangan bagi pemerintahan Yoon.
Langkah ini juga menyoroti pentingnya dialog dan kerja sama internasional untuk menjaga stabilitas di Semenanjung Korea, sembari memastikan kebijakan dalam negeri tidak memperburuk perpecahan politik yang ada. Dengan situasi yang terus berkembang, dunia akan terus mengamati bagaimana Korsel menangani tantangan ini untuk menjaga stabilitas regional dan domestiknya.