May 16, 2025 By Abril Geralin
16 Mei 2025 – Konflik militer yang sedang berlangsung antara India dan Pakistan tidak hanya mengancam stabilitas geopolitik kawasan Asia Selatan, tetapi juga menciptakan lubang hitam ekonomi yang menelan dana fantastis dari kedua negara. Dalam perhitungan yang dilakukan oleh pakar militer Pakistan, Farrukh Saleem, total biaya konflik selama empat pekan terakhir diperkirakan telah melampaui USD500 miliar atau sekitar Rp8.260 Triliun. Angka ini mencakup pengeluaran militer langsung dan dampak ekonomi tidak langsung yang jauh lebih besar.
Salah satu komponen biaya terbesar dalam konflik ini berasal dari sektor militer, khususnya serangan udara intensif, penggunaan drone besar-besaran, dan peningkatan kesiapsiagaan tempur di kedua negara. Untuk India, beban finansial militer jauh lebih besar dibandingkan Pakistan, mencerminkan perbedaan kapasitas ekonomi dan militer kedua negara.
Dengan asumsi Angkatan Udara India (IAF) melakukan sekitar 100 serangan per hari menggunakan pesawat canggih seperti Rafale, Mirage 2000, Su-30MKI, dan Tejas, biaya operasional per serangan mencapai sekitar USD80.000. Namun, biaya sebenarnya melonjak ketika menghitung amunisi yang digunakan.
“Jika amunisi berpemandu presisi (PGM) seperti SCALP EG, Spice 2000, Hammer, dan bom berpemandu laser (LGB) digunakan dengan kecepatan 30 hingga 40 amunisi per hari, biaya senjata individual berkisar antara USD100.000 hingga USD1,1 juta,” jelas Farrukh Saleem.
Akumulasi selama empat minggu, total biaya serangan udara berkelanjutan India diperkirakan mencapai sekitar USD6 miliar. Sementara itu, Pakistan mengeluarkan jauh lebih sedikit, dengan biaya gabungan untuk serangan udara dan patroli udara tempur berkelanjutan sekitar USD25 juta per hari, atau total USD1 miliar selama periode empat minggu.
Era peperangan modern tidak bisa dilepaskan dari teknologi drone. India diperkirakan mengerahkan sekitar 30 sistem udara tak berawak setiap hari, termasuk amunisi Harop dan IAI, serta drone Heron dan Searcher. Pengerahan ini didukung oleh operasi ISR (Intelligence, Surveillance, Reconnaissance), logistik, dan aset peperangan elektronik.
“Dengan memperhitungkan pengurangan dan penggantian UAV, lebar pita satelit, stasiun kontrol darat, dan kemampuan pengacauan, perkiraan biaya dapat mencapai USD100 juta per hari—dengan total hampir USD3 miliar selama periode empat minggu,” papar Saleem.
Di sisi Pakistan, operasi pesawat nirawak dengan asumsi penyebaran sistem Bayraktar Turki beserta penggunaan rudal seperti Ra’ad dan Hatf-VII, diproyeksikan menelan biaya sekitar USD450 juta selama periode yang sama.
India menghabiskan USD4,5 miliar hanya untuk peluncuran rudal BrahMos dan Pralay selama empat pekan konflik. Ini berdasarkan penggunaan harian 10 rudal BrahMos—yang diluncurkan dari udara, darat, atau laut—bersama dengan 10 hingga 20 rudal balistik Pralay atau MLRS berpemandu presisi, dengan perkiraan pengeluaran sebesar USD150 juta per hari.
Selain itu, dalam kategori “kesiapan yang ditingkatkan”, India mengalokasikan:
Total pengeluaran untuk persiapan ini mencapai sekitar USD5,4 miliar selama periode empat minggu.
Pakistan, dengan kondisi ekonomi yang lebih terbatas, menghabiskan sekitar USD450 juta untuk peningkatan kesiapan dan peringatan perbatasan selama empat minggu. Ini mencakup pergerakan pasukan, konsumsi bahan bakar, aktivasi radar, penyebaran rudal permukaan-ke-udara, dan mobilisasi aset intelijen.
Sementara pengeluaran militer langsung sudah sangat besar, dampak ekonomi tidak langsung dari konflik ini jauh lebih mencengangkan. Kerusakan pada perekonomian kedua negara mencakup beberapa aspek krusial.
India mengalami gangguan PDB yang diperkirakan sebesar USD150 miliar selama empat minggu konflik. Volatilitas pasar keuangan dan depresiasi mata uang rupee India menambah kerugian sekitar USD90 miliar.
Pakistan, dengan ekonomi yang lebih kecil namun lebih rentan, mengalami gangguan PDB sekitar USD25 miliar. Ketidakstabilan pasar keuangan dan depresiasi mata uang rupee Pakistan diperkirakan mengakibatkan kerugian USD15 miliar.
Konflik ini secara signifikan mengganggu perdagangan internasional kedua negara. India diperkirakan mengalami kerugian sekitar USD80 miliar dari gangguan perdagangan dan kerusakan rantai pasokan. Lebih mengkhawatirkan lagi, arus masuk investasi asing langsung (FDI) ke India akan menyusut sekitar USD100 miliar.
Pakistan, yang ekonominya sudah bergantung pada dana talangan IMF, mengalami kerugian sekitar USD12 miliar dari gangguan perdagangan dan rantai pasokan. Arus masuk FDI dan kerugian terkait IMF diperkirakan mencapai USD5 miliar.
Konflik yang sedang berlangsung ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang prioritas pengeluaran nasional. Di India, anggaran pertahanan yang membengkak secara langsung bersaing dengan kebutuhan sosial yang mendesak seperti infrastruktur, pendidikan, dan perawatan kesehatan.
Di Pakistan, ketidakstabilan ekonomi yang berkelanjutan dan ketergantungan pada dana talangan IMF semakin memperburuk dampak pengeluaran militer yang berlebihan. Prospek ekonomi kedua negara tampak suram jika konflik terus berlanjut.
Konflik ini juga menyoroti ketimpangan kekuatan militer antara kedua negara. India memiliki 4.082 pesawat dengan 627 pesawat tempur, sementara Pakistan memiliki 1.399 pesawat dengan 328 pesawat tempur. Di darat, India memiliki 4.201 tank dan hampir 149.000 kendaraan lapis baja, jauh melebihi Pakistan yang memiliki 2.627 tank dan 17.500 unit lapis baja.
Ketimpangan paling mencolok terlihat di kekuatan angkatan laut. Angkatan Laut India adalah raksasa regional dengan 293 kapal, termasuk 2 kapal induk, 18 kapal selam, dan 13 kapal perusak. Sementara Pakistan hanya mengoperasikan 121 kapal tanpa memiliki kapal induk atau kapal perusak.
Dengan total biaya konflik selama empat minggu yang mencapai lebih dari USD500 miliar (Rp8.260 triliun), kedua negara dihadapkan pada pilihan sulit. Jika konflik berlanjut, dampak ekonomi akan semakin parah dan berpotensi menghancurkan fundamental ekonomi yang telah dibangun selama dekade.
Bagi generasi muda di kedua negara, konflik ini bukan hanya soal keamanan nasional, tetapi juga ancaman terhadap prospek ekonomi dan kesejahteraan mereka di masa depan. Tingginya biaya konflik ini menggarisbawahi pentingnya resolusi damai dan diplomasi, bukan hanya demi stabilitas regional, tetapi juga demi keberlanjutan ekonomi di Asia Selatan.
Satu hal yang pasti: Rp8.260 triliun yang terbuang dalam empat minggu konflik ini bisa jauh lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk pembangunan, pendidikan, kesehatan, dan inovasi yang dapat meningkatkan kualitas hidup ratusan juta penduduk di kedua negara.