June 17, 2025 By RB
17 Juni 2025 – Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut kasus perkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 sebagai rumor memicu gelombang kritik dan kecaman dari berbagai pihak. Komnas Perempuan, organisasi masyarakat sipil, hingga Amnesty International Indonesia, menilai pernyataan itu sebagai bentuk penyangkalan sejarah dan ketidakpekaan terhadap penderitaan para penyintas.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) secara tegas meminta Fadli Zon menarik ucapannya dan menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada para penyintas dan masyarakat luas.
“Komnas Perempuan mendorong agar Fadli menarik pernyataannya serta meminta maaf kepada penyintas dan masyarakat sebagai wujud tanggung jawab moral dan komitmen terhadap prinsip hak asasi manusia,” ujar Wakil Ketua Transisi Komnas Perempuan Sondang Frishka Simanjuntak melalui siaran pers, Minggu (15/6).
Komnas Perempuan juga mengingatkan bahwa laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) telah menemukan 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus perkosaan dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998.
TGPF dibentuk atas mandat resmi negara melalui Keputusan Bersama lima menteri pada 23 Juli 1998. Laporan mereka mencatat bahwa sebagian besar korban adalah perempuan etnis Tionghoa, yang mengalami kekerasan seksual dalam bentuk:
TGPF juga mencatat bahwa sebagian besar tindakan perkosaan dilakukan secara berkelompok (gang rape), di depan umum, dan terjadi di berbagai wilayah seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya.
Pernyataan Fadli yang disampaikan dalam video debat publik bertajuk “Real Talk: Debat Panas!! Fadli Zon vs Uni Lubis” di kanal YouTube IDN Times pada 10 Juni 2025, dinilai meremehkan tragedi kemanusiaan yang tercatat dalam sejarah.
Amnesty International Indonesia menilai pernyataan tersebut sebagai bentuk penyangkalan ganda. Direktur Eksekutif AII, Usman Hamid, mengatakan:
“Jelas keliru ucapan yang bilang perkosaan massal saat kerusuhan rasial 13-15 Mei 1998 adalah rumor dan tidak ada buktinya… Itu penyangkalan literal dan interpretatif demi menghindari rasa bersalah,” ujarnya.
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas yang terdiri dari 547 organisasi dan individu menyebut pernyataan Fadli sebagai bentuk manipulasi sejarah dan pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran.
“Kami menilai pernyataan tersebut merupakan bentuk manipulasi, pengaburan sejarah, serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan…” tulis koalisi dalam pernyataan sikapnya.
Menanggapi kritik tersebut, Fadli Zon menegaskan bahwa dirinya tidak menafikan kekerasan seksual, namun meminta kehati-hatian dalam penggunaan istilah “perkosaan massal”.
“Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi,” ujarnya.
Ia mengklaim pernyataannya bertujuan agar penulisan sejarah dilakukan dengan teliti dan tidak menyandarkan pada informasi yang belum konklusif.
Namun pernyataan ini dianggap semakin menyakitkan bagi para korban. Komisioner Komnas Perempuan Dahlia Madanih menyebut:
“Penyintas sudah terlalu lama memikul beban dalam diam. Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperpanjang impunitas,” katanya dalam siaran pers resmi.
Selain desakan permintaan maaf, koalisi masyarakat sipil juga menuntut agar proyek penulisan ulang sejarah yang dipimpin oleh Fadli Zon dihentikan. Mereka khawatir upaya ini justru akan mengaburkan kebenaran sejarah dan menghapus narasi penting tentang pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Tragedi Mei 1998 merupakan salah satu episode kelam dalam sejarah Indonesia yang tak hanya berdampak politik, tetapi juga menyisakan luka mendalam bagi para korban kekerasan seksual. Penyangkalan atas fakta sejarah, apalagi dilakukan oleh pejabat negara, berpotensi menghambat proses pemulihan, rekonsiliasi, dan keadilan bagi para penyintas. Sudah saatnya negara hadir melalui pengakuan, bukan pengaburan sejarah.
Related Tags & Categories :