Leet Media

Kini DPR diberi Kewenangan Copot Pimpinan KPK, Hakim MK, Kapolri, Hingga MA, Langkah Maju atau Sebaliknya?

February 5, 2025 By Rio Baressi

Sumber : Tribun News

5 Februari 2025 – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia baru saja merombak salah satu peraturan penting dalam tata tertib mereka, yaitu Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020. Revisi ini memberikan DPR kewenangan baru untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang sebelumnya telah melewati uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test di DPR. Dengan perubahan ini, DPR berhak memberikan rekomendasi pemberhentian jika ditemukan kinerja yang tidak memenuhi harapan. Hal ini dapat berdampak besar pada struktur pemerintahan Indonesia dan menimbulkan sejumlah kontroversi.

Apa yang Berubah dalam Peraturan DPR?

Revisi tersebut mengintroduksi Pasal 228A yang memberi ruang bagi DPR untuk mengevaluasi secara berkala pejabat-pejabat negara yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna. Evaluasi ini mencakup pejabat-pejabat penting, seperti Komisioner dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Hakim Mahkamah Agung (MA), serta Kapolri dan Panglima TNI.

Bob Hasan, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, menjelaskan bahwa dengan adanya revisi ini, DPR memiliki hak untuk menilai kinerja pejabat negara yang sudah dilantik melalui rapat paripurna. Jika hasil evaluasi tidak memuaskan, DPR dapat memberikan rekomendasi pemberhentian.

“Dengan pasal 228A diselipkan, DPR memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap jabatan calon-calon yang sebelumnya dilakukan fit and proper test melalui DPR,” ujar Bob Hasan, di Gedung DPR RI, Selasa (4/2/2025).

“Iya, itu kan ujungnya masalah pemberhentian dan keberlanjutan daripada pejabat ataupun calon yang telah diparipurnakan melalui fit and proper test DPR itu. Itu kan pejabat yang berwenang, mekanisme yang berlaku itu kan pejabat yang berwenang, ya kan,” lanjutnya. 

Sementara itu, Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra, menegaskan bahwa tujuan revisi ini adalah untuk menegaskan fungsi pengawasan DPR terhadap mitra kerjanya. Evaluasi berkala dilakukan untuk memastikan pejabat yang telah terpilih dapat menjalankan tugasnya dengan baik.

“Nah, ini, kan, kemudian kami harus lakukan fit and proper test, apakah yang bersangkutan itu masih dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Nah, kalau tidak, kan, kami harus kemudian lakukan mekanisme agar yang bersangkutan dapat digantikan oleh yang lebih layak dalam menjalankan tugas-tugas negara,” tutur Dasco.

Proses Pembahasan yang Cepat dan Kontroversial

Revisi ini dimulai dengan usulan dari Mahkamah Kehormatan DPR (MKD) yang mengajukan penambahan Pasal 228A pada Senin (3/2/2025). Pembahasan revisi berlangsung sangat cepat, hanya dalam waktu kurang dari tiga jam, seluruh fraksi partai politik menyetujui perubahan tersebut. Revisi ini kemudian disahkan dalam rapat paripurna pada (4/2/2025).

Namun, perubahan ini tidak lepas dari kritik, terutama mengenai dampaknya terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Sejumlah pihak menganggap bahwa perubahan ini memberi DPR kewenangan yang terlalu besar dalam menilai dan memutuskan masa jabatan pejabat negara. Ray Rangkuti, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, menilai perubahan ini berisiko merusak struktur pemerintahan yang ada. 

“Maka kita berada dalam sistem yang serba tidak jelas dan pasti. Tentu saja, akan banyak ketidaksesuaian tata kelola pemerintahan dalam sistem yang acak kadul,” jelas Ray. 

Menurutnya, DPR seharusnya tidak terlibat dalam pemilihan pejabat negara dan hanya berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan seleksi pejabat, sesuai dengan sistem presidensial yang dianut Indonesia.

Implikasi dan Kontroversi Revisi Tata Tertib DPR

Salah satu kontroversi besar dari perubahan ini adalah bahwa DPR kini dapat mengevaluasi dan merekomendasikan pemberhentian pejabat yang sebelumnya tidak berada dalam pengawasan langsung DPR. Beberapa pejabat yang bisa dievaluasi termasuk:

Kewenangan baru ini dipandang sebagai langkah mundur dalam pengawasan pemerintahan Indonesia, terutama karena aturan tata tertib DPR seharusnya hanya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan internal parlemen. Sejumlah pihak khawatir hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian dan ketidaksesuaian dalam tata kelola pemerintahan yang lebih luas.

Revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib telah membawa perubahan signifikan dalam kewenangan DPR terhadap pejabat negara. Sementara itu, perubahan ini membuka ruang bagi DPR untuk mengevaluasi kinerja pejabat negara secara berkala dan memberikan rekomendasi pemberhentian. Namun, kontroversi yang timbul menunjukkan adanya ketegangan antara fungsi pengawasan DPR dan sistem ketatanegaraan Indonesia yang lebih luas. Kini, tinggal dilihat bagaimana implementasi aturan ini dan dampaknya terhadap stabilitas pemerintahan di masa depan.