Leet Media

Kerentanan Maritim Indonesia: Kapal Selam Asing Bebas Berkeliaran Tanpa Terdeteksi

April 30, 2025 By Abril Geralin

30 April 2025 – Di tengah kemegahan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, sebuah fakta mengejutkan terungkap pada Senin (28/4/2025). Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Muhammad Ali mengakui bahwa Indonesia belum memiliki sistem pendeteksi kapal selam asing yang beroperasi di perairan teritorial. Pernyataan ini disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi I DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta. 

Pengakuan tentang kelemahan fundamental ini mengungkapkan bahwa kapal selam asing kini bebas berkeliaran di bawah perairan Indonesia tanpa terdeteksi, menciptakan kerentanan serius bagi keamanan maritim nasional. Bagaimana mungkin negara kepulauan terbesar di dunia, dengan 65% wilayahnya berupa lautan, tidak memiliki kemampuan untuk memantau apa yang terjadi di bawah permukaannya?

Nol Persen Kemampuan Deteksi Bawah Laut

Source: Kompas.com

“Pengawasan bawah laut kita belum memiliki sensor sama sekali, baru pengajuan ke Kementerian Pertahanan,” ungkap Muhammad Ali dalam RDP tersebut. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Indonesia seharusnya memiliki “fixed detect sonar” yang dipasang di bawah laut, namun hingga kini masih belum tersedia.

Penilaian KSAL terhadap kemampuan Sistem Pusat Komando Angkatan Laut (Sispuskodal) Tahap I yang saat ini digunakan mengungkapkan statistik yang mengkhawatirkan. Meskipun sistem ini mampu melakukan pengawasan jarak jauh hingga 50% dan kawasan pesisir serta perairan teritorial mencapai 30%, namun untuk pengawasan bawah laut, kemampuannya berada di angka 0%.

“Kelemahan kita ada di pendeteksi kapal selam asing yang melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Itu kita tidak bisa monitor,” tegas Ali. Pernyataan ini menegaskan bahwa kapal selam asing dapat dengan leluasa melintas di perairan Indonesia tanpa terdeteksi, menciptakan blind spot yang mengancam kedaulatan nasional.

Ancaman Nyata di Bawah Permukaan

Kekhawatiran terhadap kondisi ini disuarakan oleh anggota Komisi I DPR RI, Elita Budiati. “Saya jujur saja takut, Pak. Betapa ancaman di bawah laut itu sangat luar biasa,” ujarnya dalam RDP yang sama. Ketakutan Elita bukan tanpa alasan, mengingat 65% wilayah Indonesia adalah perairan.

Dengan kemajuan teknologi kapal selam yang dimiliki berbagai negara, ancaman dari bawah laut tidak bisa dianggap remeh. “Kebayang tidak sih, Pak? Sekarang kita 65 persen Indonesia itu berisi laut, tetapi manakala kita diserang dari laut, misalkan dari kapal selam, ya kita habis, lah,” tegas politikus Partai Golkar tersebut.

Ancaman bawah laut ini menjadi semakin serius mengingat berdasarkan aturan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea), terdapat tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang dapat dilewati kapal selam asing tanpa harus muncul ke permukaan. Hal ini memungkinkan kapal selam untuk menerapkan “Normal Mode” atau tetap menyelam saat melewati ALKI 1, 2, dan 3, menjadikannya tidak terdeteksi oleh sistem pengawasan konvensional.

Upaya Pengembangan Sistem Pengawasan Maritim

Source: Liputan6.com

Meskipun menghadapi keterbatasan dalam deteksi bawah laut, TNI AL tidak tinggal diam. Saat ini, mereka tengah mengembangkan Sistem Pusat Komando Pengendalian (Sispuskodal) tahap satu untuk mendukung konsep pemantauan keamanan laut secara komprehensif, berkelanjutan, adaptif, responsif, dan inklusif.

Integrasi pembangunan Sispuskodal tahap I meliputi peningkatan kemampuan server, integrasi 7 satuan kerja (satker) TNI AL, dan peningkatan kemampuan penginderaan jarak jauh dengan satelit. Selain itu, pengembangan intelijen multimedia komunikasi, intelijen media sosial, serta peningkatan kemampuan monitoring dan analisis untuk memandu operasi TNI AL juga sedang dilakukan.

Dalam pengembangan Sispuskodal ini, TNI AL menjalin kerja sama dengan Singapura yang dikenal memiliki Information Fusion Center (IFC) yang paling modern. “Dan kita menempatkan ILO (international liaison officer) di sana, untuk ikut mengamati dan memberikan data-data apabila ada anomali kegiatan ilegal di kawasan,” jelas Ali.

Faktor Biaya dan Prioritas Keamanan Nasional

Ketika ditanya mengapa Indonesia belum memiliki alat deteksi bawah laut yang sangat penting, faktor biaya menjadi salah satu alasan utama. Namun, Elita Budiati dengan tegas menolak alasan tersebut. “Katanya alasannya alatnya itu sangat mahal. Kalaupun semahal apa pun, kalau itu penting, apalagi untuk menjaga kedaulatan laut kita, itu wajib,” tegasnya.

Ali mengakui bahwa alat deteksi semacam fixed deep sonar memang memiliki harga yang cukup mahal. Namun, beliau juga menekankan ketidakefektifan metode saat ini. “Selama ini kalau kita mau menjaga selat-selat yang penting, itu kita harus mengarahkan kapal yang memiliki sonar ke daerah tertentu untuk mendeteksi kapal selam. Ini tidak efektif dan efisien,” ungkapnya.

Negara-negara maju yang memiliki armada kapal selam biasanya memiliki “sound surveillance under water”, semacam sensor yang ditempatkan di bawah air di selat-selat perairan penting yang kemungkinan dilewati kapal selam. Indonesia perlu berinvestasi pada teknologi semacam ini untuk meningkatkan pertahanan maritim.

Keterbatasan Kapal dan Anggaran

Permasalahan pengawasan maritim di Indonesia diperparah dengan keterbatasan jumlah dan kondisi kapal pengawas. “Laut kita ini kan sangat luas, kapal-kapal milik TNI AL tidak mungkin bisa menjaga seluruh wilayah laut Indonesia. Apalagi kondisinya terbatas, ada yang sudah tua, kemudian bahan bakar juga dibatasi. Ini juga tentunya mengganggu operasional,” jelas Ali.

Keterbatasan anggaran juga menjadi kendala serius. Dalam forum tersebut, terungkap fakta bahwa “satu anggaran di Korlantas Polri itu sama dengan satu anggaran di TNI AU,” menunjukkan kesenjangan alokasi dana untuk institusi yang bertanggung jawab atas pertahanan nasional.

Data yang dipaparkan Ali menunjukkan kesiapan TNI AL saat ini rata-rata berada di angka 60,93 persen, pesawat udara patroli maritim dengan kesiapan sekitar 23,71 persen, kendaraan tempur marinir 35,95 persen. Angka-angka tersebut menegaskan bahwa kekuatan TNI AL masih belum optimal.

Urgensi Sinergi dan Peningkatan Alutsista

Source: Indo-Pasific Defense Forum

Menghadapi tantangan pengawasan maritim yang begitu luas, Ali menekankan pentingnya sinergi antarlembaga. “Untuk itu memang perlu sinergi. Kalau kita bisa sinergi, maka permasalahan mengenai luas laut ini bisa ter-cover,” ujarnya.

Faktanya, masalah koordinasi antarlembaga penegak hukum di laut masih cukup rumit, mengingat terdapat beberapa lembaga yang berurusan dengan keamanan maritim. Selain itu, alutsista untuk keamanan laut, utamanya untuk deteksi bawah air, masih sangat minim.

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan posisi strategis di persimpangan dua samudera dan dua benua, seharusnya memiliki sistem pertahanan maritim yang tangguh. Keberadaan sensor bawah laut bukan sekadar opsi, melainkan kebutuhan mendesak untuk melindungi kedaulatan nasional.

Pengakuan KSAL Muhammad Ali tentang ketiadaan sensor bawah laut seharusnya menjadi alarm bagi pemangku kebijakan untuk segera memprioritaskan pengadaan alat tersebut. Sebagaimana ditegaskan Elita Budiati, “Semahal apapun kalau itu penting, apalagi untuk menjaga kedaulatan laut kita, itu wajib.” Karena pada akhirnya, harga sebuah alat deteksi tidak sebanding dengan nilai kedaulatan dan keamanan nasional