May 12, 2025 By A G
12 Mei 2025 – Mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS yang sebelumnya ditahan atas kasus meme Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo, akhirnya mendapatkan penangguhan penahanan pada Minggu (11/5/2025) malam. Penahanan yang sempat memicu kontroversi publik ini menciptakan pertanyaan tentang batasan kebebasan berekspresi di era digital dan tanggung jawab dalam bermedia sosial.
Dilaporkan bahwa mahasiswi Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB berinisial SSS ditangkap pada Selasa (6/5/2025) oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Penangkapan ini terkait dengan unggahan meme yang menggambarkan Presiden Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo berciuman. SSS dikenakan Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Menurut Keluarga Mahasiswa (KM) ITB, proses penangkapan dilakukan tanpa pemanggilan resmi dan didasarkan pada aduan yang berasal dari media sosial. KM ITB menyebutkan bahwa penjemputan dilakukan secara paksa di tempat kos SSS, sebuah tindakan yang mereka sayangkan.
Kasus ini dengan cepat menarik perhatian publik dan menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk kampus ITB sendiri, aktivis kebebasan berekspresi, dan pengamat hukum yang menyoroti potensi ancaman terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia.
Menyikapi penahanan tersebut, Keluarga Mahasiswa ITB dengan tegas menyatakan penolakan terhadap tindakan penahanan yang dilakukan terhadap rekan mereka. Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB, Farell Faiz Firmansyah, mengatakan bahwa seni adalah kebebasan berekspresi kaum terpelajar yang seharusnya dilindungi oleh hukum, bukan justru dikriminalisasi.
“Penahanan saudara kami ini bisa dilihat sebagai bentuk penyempitan ruang berpendapat bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujar Faiz dalam pernyataan sikap di depan kampus ITB pada Sabtu (10/5/2025).
Faiz juga menekankan bahwa apa yang dilakukan oleh SSS lebih baik dilihat sebagai upaya kritis untuk mengedukasi tentang bahaya penyalahgunaan artificial intelligence yang berdampak negatif. KM ITB juga mengajak seluruh elemen akademisi dan masyarakat sipil untuk bersatu menjaga solidaritas dan bersama-sama membantu pembebasan mahasiswa ITB.
Sejak Maret 2025, Keluarga Mahasiswa ITB telah melakukan pendampingan terhadap SSS dan terus berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk memberikan pendampingan hukum. Mereka meyakini bahwa keselamatan dan kebebasan hak bersuara dan berekspresi perlu dijaga dan dilindungi.
Kasus ini juga menarik perhatian tokoh politik dan akademisi. Ketua Komisi III DPR RI, Habiburrokhman, mengajukan diri sebagai penjamin penangguhan penahanan SSS. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini menyatakan bahwa melakukan kesalahan adalah hal yang lumrah bagi seorang anak muda, dan anak muda yang melakukan kesalahan perlu dibina, bukan ditahan.
“Insyaallah (sore ini bebas),” kata Habiburokhman saat dikonfirmasi pada Minggu (11/5/2025), menyatakan optimismenya bahwa SSS akan dibebaskan pada hari itu juga.
Sementara itu, Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, berpendapat bahwa Presiden RI Prabowo Subianto harus bersikap aktif mendorong aparat kepolisian melepaskan SSS. Herdiansyah menyatakan bahwa kepala negara memiliki tanggung jawab untuk menjaga muruah demokrasi dan harus melakukan intervensi terhadap perkara-perkara yang membungkam kebebasan berpendapat.
“Kita menuntut kepada Presiden agar tegas, tidak hanya pasif menyampaikan pernyataan, tetapi juga secara aktif meminta kepada aparat kepolisian melepaskan anak ITB ini karena tidak ada alasan menjerat anak ITB ini ke proses hukum,” ujar Herdiansyah.
Akhirnya, pada Minggu (11/5/2025) malam, SSS mendapatkan penangguhan penahanan oleh kepolisian. Melalui kuasa hukumnya, Khaerudin Hamid Ali Sulaiman, SSS meminta maaf kepada Presiden RI Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo.
“Statement kami sebagai kuasa hukum yaitu kami dan klien kami meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prabowo dan juga Bapak Jokowi atas perilaku dari klien kami yang mengunggah dan membuat kegaduhan,” kata Khaerudin dalam konferensi pers di Mabes Polri.
SSS juga mengucapkan terima kasih kepada Prabowo dan Jokowi serta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang telah mengabulkan permohonan penangguhan penahanan.
Direktur Komunikasi dan Hubungan Masyarakat ITB, Dr. N Nurlaela Arief, menyambut baik penangguhan penahanan SSS dan berterima kasih kepada berbagai pihak yang terlibat, termasuk Ketua Komisi III DPR, Ikatan Orang Tua Mahasiswa (IOM), Tim Pengacara, Keluarga Mahasiswa ITB, media, dan masyarakat yang turut mengawal proses ini.
ITB berkomitmen untuk mendidik, mendampingi, dan membina mahasiswi tersebut untuk dapat menjadi pribadi dewasa yang bertanggung jawab, menjunjung tinggi adab, dan etika dalam menyampaikan pendapat dan berekspresi dengan dilandasi nilai-nilai kebangsaan.
“Sebagai bagian dari upaya edukatif, ITB akan memperkuat literasi digital, literasi hukum dan etika berkomunikasi di berbagai media, termasuk dengan penyelenggaraan diskusi terbuka, kuliah umum, dan program pembinaan yang melibatkan teman sebaya, pakar, dan dosen,” tutur Nurlaela.
ITB juga menegaskan akan menjadikan peristiwa ini sebagai refleksi bersama. Mereka mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi adalah hak setiap warga negara, namun harus dijalankan dengan tanggung jawab, pemahaman hukum, serta penghormatan terhadap hak dan martabat orang lain.
M. Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menambahkan bahwa apa yang disampaikan oleh mahasiswi ITB pembuat meme Prabowo dan Jokowi merupakan bagian dari kritik, bukan penghinaan maupun pelanggaran kesusilaan.
“Patut dipandang bahwa maksud dari mahasiswi tersebut adalah bagian dari kritik, menyampaikan pendapat, bagian dari bagaimana memandang yang selama ini disuarakan oleh banyak media yaitu ada matahari kembar, ada semacam kongkalikong antara presiden Prabowo dan mantan Presiden Jokowi dan mereka tampak terus-menerus melahirkan banyak kebijakan yang berbahaya buat masyarakat,” ucap Isnur.
Pendapat ini didukung oleh banyak pengamat yang melihat bahwa meme tersebut merupakan bentuk satire politik yang seharusnya mendapat perlindungan dalam kerangka kebebasan berekspresi.
Kasus ini kembali memunculkan desakan untuk melakukan evaluasi terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dianggap memiliki pasal-pasal karet dan sering digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah atau tokoh politik.
Para aktivis digital dan hak asasi manusia menyerukan peningkatan pemahaman tentang batas-batas kebebasan berekspresi di dunia digital serta perlunya revisi UU ITE agar tidak lagi menjadi alat untuk membatasi kebebasan berpendapat.
Penahanan dan kemudian pembebasan SSS menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya literasi digital, pemahaman hukum, dan etika bermedia sosial. Kebebasan berekspresi memang dijamin oleh konstitusi, tetapi harus disertai dengan tanggung jawab dan penghormatan terhadap norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Terlepas dari kontroversi yang ditimbulkan, kasus ini telah mendorong diskusi publik yang sehat tentang batas-batas kebebasan berekspresi di era digital, serta peran institusi pendidikan dan negara dalam menjaga keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab.