May 2, 2025 By Rio Baressi
2 Mei 2025 – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menggagas kebijakan kontroversial yang menjadikan vasektomi sebagai syarat bagi keluarga prasejahtera untuk menerima bantuan sosial dari pemerintah provinsi. Kebijakan ini memicu respons luas dari berbagai kalangan, mulai dari dukungan ahli medis hingga kritik tajam dari tokoh agama dan pengamat sosial.
Latar Belakang Usulan Kebijakan Vasektomi
Dalam berbagai kesempatan, Dedi Mulyadi mengungkapkan keprihatinannya terhadap tingginya angka kelahiran pada keluarga miskin yang sering kali tidak mampu menanggung biaya kehamilan, persalinan, dan pendidikan anak. Ia menyatakan bahwa biaya persalinan yang bisa mencapai Rp25 juta seharusnya bisa dialihkan untuk kebutuhan lain yang lebih mendesak, seperti pembangunan rumah sederhana.
“Makanya berhentilah bikin anak kalau tidak sanggup menafkahi dengan baik,” kata Dedi saat rapat koordinasi kesejahteraan rakyat di Bandung.
Kebijakan Terintegrasi dengan Program Keluarga Berencana
Dedi Mulyadi menekankan bahwa seluruh bentuk bantuan sosial seperti beasiswa, bantuan kelahiran, perumahan, hingga sambungan listrik baru akan disyaratkan keterlibatan dalam program Keluarga Berencana (KB), khususnya KB pria melalui metode vasektomi.
“Jangan sampai kesehatannya dijamin, kelahirannya dijamin, tapi negara menjamin keluarga itu-itu juga. Yang dapat beasiswa, bantuan lahiran, rumah, bantuan non-tunai keluarga dia. Uang negara jadi mikul satu keluarga,” ungkapnya.
Alasan Memilih Vasektomi dan Insentif yang Ditawarkan
Vasektomi dipilih karena dinilai lebih efektif dan murah dibanding metode KB lainnya, serta sebagai bentuk tanggung jawab laki-laki dalam pengendalian kelahiran. Dedi juga menyatakan bahwa laki-laki harus ikut berperan karena perempuan sering kali menghadapi kendala seperti lupa minum pil kontrasepsi.
Sebagai insentif, pemerintah akan memberikan uang tunai sebesar Rp500 ribu kepada pria yang bersedia menjalani vasektomi.
“Yang vasektomi dikasih insentif Rp500.000 oleh gubernur,” katanya kepada media.
Respons dari Kalangan Medis dan Akademisi
Dokter urologi dari Universitas Indonesia, Ponco Birowo, menyatakan bahwa vasektomi adalah metode kontrasepsi yang sangat efektif dengan tingkat keberhasilan mencapai 99 persen. Namun ia menekankan pentingnya persetujuan dari peserta karena vasektomi bersifat permanen.
“Asal peserta bansosnya memang sudah punya anak. Kalau belum punya anak, tidak boleh vasektomi karena ini termasuk kontrasepsi mantap,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari UGM, John Eddy Junarsin, menilai bahwa kebijakan tersebut berpotensi menurunkan populasi usia produktif yang justru penting bagi pertumbuhan ekonomi.
“Jumlah penduduk yang besar memang tantangan, tapi juga merupakan aset,” jelasnya.
Kritik dari Tokoh Agama dan Sosiolog
Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, menyebut vasektomi sebagai tindakan yang diharamkan dalam Islam, kecuali ada alasan medis darurat. Ia menilai kebijakan tersebut bertentangan dengan prinsip syariat.
“Vasektomi itu mengarah ke pemandulan. Dalam syariat, itu dilarang,” ujarnya tegas.
Senada, Ketua FUUI KH Athian Ali menyebut kebijakan ini tidak manusiawi dan bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
“Menggantungkan hak bansos dengan syarat yang melanggar syariat adalah penyalahgunaan kekuasaan,” katanya.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Asep Suryana, memperkirakan wacana ini akan ditolak masyarakat Sunda karena budaya yang sangat menghargai anak. Ia menyebut pendekatan Dedi sebagai komunikasi emosional yang bisa memicu resistensi.
Pemerintah Pusat Masih Mempelajari Usulan Ini
Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau kerap disapa Gus Ipul mengatakan bahwa pihaknya masih akan mengkaji usulan tersebut secara menyeluruh.
“Idenya bagus untuk KB, tapi kalau bersyarat vasektomi, kita masih harus mempelajari lebih jauh,” ujar Gus Ipul.
Gagasan Dedi Mulyadi mengenai vasektomi sebagai syarat menerima bantuan sosial menjadi perbincangan hangat dan memicu polemik. Di satu sisi, kebijakan ini dimaksudkan untuk menekan angka kelahiran dan meningkatkan kualitas hidup keluarga miskin. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa langkah ini bersifat memaksa dan melanggar prinsip-prinsip kebebasan individu serta nilai agama. Seiring berkembangnya diskusi publik, keputusan akhir akan sangat bergantung pada kajian hukum, sosial, dan etika yang mendalam.
Related Tags & Categories :