Leet Media

#KaburAjaDulu: Ketika Generasi Muda Indonesia Memilih ‘Kabur’ ke Luar Negeri

January 11, 2025 By Jay Sujana

Sumber: OECD

11 Januari 2025 – #KaburAjaDulu, tiga kata sederhana yang kini menjadi tagar viral di platform media sosial X (dahulu Twitter) dan Threads ini menyimpan makna mendalam tentang fenomena eksodus talenta muda Indonesia ke luar negeri. Tagar yang awalnya muncul sebagai wadah berbagi informasi tentang peluang studi dan kerja di luar negeri ini kemudian berkembang menjadi gerakan informal yang mencerminkan keresahan generasi muda terhadap prospek masa depan mereka di tanah air.

Fenomena Brain Drain dan #KaburAjaDulu

Viralnya #KaburAjaDulu di media sosial merupakan manifestasi digital dari fenomena yang oleh para ahli disebut sebagai “brain drain” atau pengurasan otak. Brain drain adalah situasi di mana orang-orang terdidik dan bertalenta dari suatu negara memilih untuk pindah ke negara lain, baik untuk bekerja maupun menetap permanen. Dalam konteks Indonesia, tagar ini menjadi wadah bagi mereka yang sedang atau telah mengalami brain drain untuk saling berbagi pengalaman dan informasi.

Data dari Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham mencatat, selama periode 2019-2022 saja, sebanyak 3.912 Warga Negara Indonesia (WNI) telah beralih menjadi warga negara Singapura. Yang menarik, mayoritas dari mereka berada dalam rentang usia produktif, yakni 25-35 tahun. Angka ini menjadi salah satu indikator nyata terjadinya brain drain, di mana Indonesia kehilangan talenta-talenta terbaiknya di usia paling produktif.

Dari Viral Menjadi Gerakan Masif

Threads, salah satu platform tempat para pencari peluang di luar negeri bertukar informasi lewat tagar #KaburAjaDulu
(Sumber: New York Times)

Penelusuran di media sosial menunjukkan bahwa #KaburAjaDulu bukan sekadar tagar biasa. Di platform X, tagar ini dipenuhi dengan berbagai informasi tentang cara memulai kehidupan baru di luar negeri, mulai dari tips mendapatkan beasiswa, mencari pekerjaan, hingga proses naturalisasi atau pindah kewarganegaraan. Interaksi yang terjadi di bawah tagar ini menunjukkan tingginya antusiasme generasi muda untuk mencari peluang di luar negeri.

Diskusi yang berkembang di bawah tagar ini tidak hanya seputar cara “kabur”, tetapi juga mencakup pertukaran pengalaman tentang tantangan adaptasi di negara baru, strategi menghadapi culture shock, hingga cara mengelola keuangan di negara dengan biaya hidup tinggi. Ini menunjukkan bahwa gerakan #KaburAjaDulu telah berkembang menjadi semacam komunitas informal yang saling mendukung.

Perspektif Sosiologis

Dr. Tuti Budirahayu, Sosiolog dari Universitas Airlangga, melihat fenomena ini sebagai bentuk migrasi modern yang dipengaruhi oleh faktor pendorong (push factor) dan penarik (pull factor). “Kalau faktor pendorongnya, saya pikir adanya kesempatan bekerja, berkarier, dan berkehidupan lebih baik daripada di daerah asal itu sangat mendorong untuk berpindah,” jelasnya.

Lebih lanjut, Dr. Tuti mengidentifikasi beberapa faktor pendorong utama yang membuat generasi muda Indonesia memilih “kabur”, antara lain ketidakpastian karier, kesenjangan pendapatan, kualitas hidup yang tidak sebanding dengan usaha yang dikeluarkan, serta berbagai permasalahan struktural lainnya yang dihadapi di Indonesia.

Memanfaatkan Era Digital untuk “Kabur”

Era digital mempermudah akses informasi tentang peluang di luar negeri. Platform seperti Schoters, yang berada di bawah naungan Ruangguru, mencatat lonjakan signifikan minat anak muda untuk studi dan berkarier di luar negeri. CEO Schoters, Radyum Ikono, mengungkapkan bahwa dalam acara “Study and Work Abroad Festival 2024” yang diselenggarakan di 30 kota se-Indonesia, peminatnya mencapai lebih dari 100.000 orang.

Yang menarik, mayoritas peserta bertanya tentang beasiswa-beasiswa yang tidak mengharuskan penerimanya kembali ke Indonesia setelah lulus. Ini menunjukkan adanya kecenderungan kuat di kalangan generasi muda untuk tidak hanya sekadar menimba ilmu di luar negeri, tetapi juga berencana untuk menetap dan berkarier di sana.

Kisah Sukses Para “Pelarian”

Joko (bukan nama sebenarnya), salah satu alumni Schoters yang kini menetap di Jepang, membagikan pengalamannya melalui #KaburAjaDulu. “Gue merenung sampai kapan harus kerja capek kayak gini, tapi enggak stabil-stabil (ekonomi), kapan sejahteranya,” ungkapnya, menggambarkan keresahannya saat masih bekerja di Jakarta.

Pengalamannya di Jepang membuktikan bahwa “kabur” bukan berarti melupakan tanah air. Joko aktif membantu sesama WNI yang ingin berkarier di Jepang. “Di sini, gue lihat banyak dosen asal Indonesia yang berkarier di Jepang. Ada juga yang sudah menjadi ‘seseorang’. Ini bentuk nasionalisme mereka. Mereka tidak pulang, tapi tetap harum namanya,” jelasnya.

Cerita serupa datang dari Nitho Alif I, profesional teknologi yang kini berkarier di Google Dublin, Irlandia. Baginya, kualitas hidup menjadi pertimbangan utama. “Dibanding di Jakarta, pertimbangannya sebenarnya termasuk ke hal-hal kecil. Misalnya masalah commute, di sini tinggal 5 menit ke kantor,” ujarnya. Nitho menambahkan bahwa arena bermain (playing field) yang setara bagi setiap orang tanpa harus mengandalkan orang dalam membuatnya merasa lebih aman dan nyaman dalam berkarier di luar Indonesia.

Peluang Global yang Menggoda

Menariknya, beberapa negara justru membuka pintu lebar-lebar bagi talenta asing. Selandia Baru, misalnya, menawarkan pendanaan hingga Rp 2,3 miliar dan rumah gratis di kota Kaitangata, sebuah kota yang mengalami kekurangan tenaga kerja dengan lebih dari 1.500 lowongan pekerjaan untuk populasi hanya 800 orang.

Irlandia memberikan bantuan sebesar $87.600 melalui skema “Our Living Islands” untuk merevitalisasi komunitas pesisir mereka. Portugal menyediakan hibah hingga $5.243 dalam program Emprego Interior MAIS, sementara Denmark aktif mencari pengusaha untuk pindah ke pantai mereka melalui program Startup Denmark yang menyediakan paket pendanaan $50.000.

Persiapan Matang Sebelum “Kabur”

Ani, mahasiswa Indonesia yang kini berada di Singapura, memulai persiapannya sejak kelas 11 SMA. Ia secara mandiri menggali informasi tentang jurusan dan beasiswa di Singapura melalui jaringan alumni. “Aku yang kontak mereka, bukan Mama. Akhir kelas 11, aku mulai apply lebih awal dan diumumkan diterima di salah satu university. Di situ sudah lumayan aman sih, aku sudah ada university. Jadi bisa fokus ujian kelas 12,” ceritanya.


Dr. Tuti memandang fenomena #KaburAjaDulu sebagai momentum bagi pemerintah untuk berbenah. “Masalahnya kalau ini menjadi berbondong-bondong berarti ada sesuatu yang salah di Indonesia. Mungkin saja mereka bermigrasi karena nggak nyaman lagi tinggal di sini. Berarti pemerintah Indonesia tidak memberikan iklim yang baik untuk mereka,” tegasnya.

Namun, dia juga menekankan bahwa tidak semua migrasi talenta berdampak negatif. “Sebetulnya kalau orang Indonesia banyak bermigrasi ke negara lain yang lebih maju, secara tidak langsung bisa mengangkat nama baik Indonesia. Para diaspora itu nanti dapat menerapkan pengetahuan atau keahliannya di Indonesia saat kembali,” jelasnya.

Viralnya #KaburAjaDulu dan fenomena brain drain yang menyertainya mungkin menjadi alarm bagi Indonesia untuk segera berbenah, menciptakan ekosistem yang lebih baik bagi talenta mudanya. Sebab pada akhirnya, “kabur” bukanlah solusi, melainkan manifestasi dari keresahan generasi muda akan masa depan mereka di tanah air. Yang dibutuhkan adalah dialog konstruktif antara generasi muda dengan pemangku kebijakan untuk menciptakan lingkungan yang membuat talenta-talenta terbaik Indonesia tidak merasa perlu untuk “kabur”.