Leet Media

Jembatani Budaya Lewat Sastra, Puisi Karya Chairil Anwar Menghiasi Stasiun Yeouido dan Gangnam Kota Seoul

March 10, 2025 By Abril Geralin

10 Maret 2025 – Sebuah pemandangan tak lazim menghiasi dinding kaca stasiun kereta bawah tanah di jantung Seoul, Korea Selatan. Di antara hiruk pikuk penumpang yang bergegas, bait-bait puisi “Aku” karya sastrawan legendaris Indonesia, Chairil Anwar, tegak berdiri dalam dua bahasa Indonesia dan Korea. Kehadiran karya penyair Indonesia di negeri ginseng ini bukan sekadar pameran biasa, melainkan bentuk apresiasi terhadap karya sastra Indonesia yang kini mendunia.

Program Puisi Multinasional Seoul: Menjembatani Budaya Melalui Sastra

Source: CNN Indonesia

Pemasangan puisi “Aku” karya Chairil Anwar merupakan bagian dari Program Puisi Multinasional yang diinisiasi Pemerintah Kota Seoul. Program yang telah dimulai sejak 2008 ini pada awalnya hanya menampilkan puisi-puisi Korea di stasiun kereta bawah tanah. Namun seiring waktu, program ini berkembang menjadi ajang pertukaran budaya dengan menampilkan karya sastra dari berbagai negara, termasuk Indonesia.

Kolaborasi ini melibatkan kerja sama antara Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Seoul dan Pemerintah Kota Seoul. Puisi “Aku” kini terpampang di dua lokasi strategis: Stasiun Yeouido Jalur 5 Peron 8-2 dan 8-3, serta Stasiun Gangnam Jalur 2 Peron 3-3 dan 3-4. Dua stasiun ini merupakan titik transit utama yang dilalui ribuan penumpang setiap harinya, menjadikan karya Chairil Anwar terpapar pada audiens internasional yang luas.

Zelda Wulan Kartika, Kuasa Usaha Ad Interim (KUAI) KBRI Seoul, menjelaskan alasan dipilihnya puisi “Aku” dalam program ini. “Kami ingin memperkenalkan bahasa Indonesia melalui puisi kepada masyarakat Korea. Ide inovatif ini sejalan dengan misi kami untuk memperkuat hubungan bilateral, khususnya dalam mempromosikan pertukaran budaya antara Indonesia dan Korea,” ungkapnya dalam wawancara dengan Arirang TV pada program “We Are Diplomats”.

Makna Universal dalam Puisi “Aku”

Source: Media Mahasiswa Indonesia

Pemilihan puisi “Aku” bukan tanpa pertimbangan matang. Karya ini dipilih karena mengandung pesan universal yang melampaui batas-batas geografis dan budaya. Zelda menekankan bahwa puisi ini mewakili “deklarasi yang kuat akan jati diri, perlawanan, dan ketahanan” serta mewujudkan semangat yang mengejar kebebasan individu dan tekad untuk hidup secara autentik.

Bagi penumpang kereta di Seoul yang mungkin tidak familiar dengan sastra Indonesia, bait-bait seperti “Kalau sampai waktuku. ‘Ku mau tak seorang’kan merayu. Tidak juga kau,” atau “Aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang,” mungkin terasa asing. Namun, pesan tentang keberanian dan tekad hidup yang terkandung dalam puisi tersebut bisa dipahami lintas budaya, termasuk masyarakat Korea.

“Chairil Anwar bukan hanya seorang penyair bagi Indonesia, tetapi ia adalah tokoh budaya dan sejarah. Ia sangat dihormati dan dihargai oleh semua generasi di Indonesia. Ia juga merupakan bapak puisi Indonesia modern dan simbol perjuangan bangsa untuk meraih kemerdekaan di masa penjajahan,” jelas Zelda lebih lanjut.

Dampak Kehadiran Puisi “Aku” di Seoul

Keberadaan puisi “Aku” di stasiun-stasiun Seoul memberikan dampak yang signifikan bagi hubungan bilateral Indonesia-Korea Selatan. Selain menjadi sarana diplomasi budaya yang efektif, pemasangan puisi ini juga memperluas pengenalan sastra Indonesia di kancah internasional.

Bagi warga Indonesia yang berkunjung ke Seoul, melihat karya sastrawan tanah air terpampang di ruang publik negara asing tentunya menimbulkan rasa bangga. Sebaliknya, bagi warga Korea yang setiap hari melewati stasiun tersebut, kehadiran puisi “Aku” secara tidak langsung memperkenalkan mereka pada kekayaan sastra Indonesia.

Program ini juga mencerminkan kedekatan hubungan Indonesia-Korea Selatan yang terus menguat dalam berbagai bidang. Keakraban ini tercermin dalam hubungan diplomatik tingkat tinggi, seperti komunikasi antara Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol dengan Presiden terpilih Indonesia Prabowo Subianto pada April 2024.

Chairil Anwar, Sosok di Balik Puisi Legendaris

Source: Tempo.co

Untuk memahami signifikansi karya Chairil Anwar di Seoul, penting untuk mengenal sosok di balik puisi tersebut. Chairil Anwar adalah pelopor puisi modern Indonesia yang dikenal dengan julukan “Si Binatang Jalang”—diambil dari baris puisi “Aku” sendiri. Ia merupakan tokoh penting dalam Angkatan 45, periode sastra yang muncul seiring dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Selama hidupnya yang singkat (1922-1949), Chairil Anwar telah meninggalkan warisan sastra yang luar biasa. Puisi-puisinya yang bernada keras, tegas, dan penuh semangat perlawanan merefleksikan jiwa zamannya. Karakter kuat inilah yang membuat karyanya, terutama “Aku”, menjadi pilihan tepat untuk dipamerkan di ruang publik internasional.

“Aku tetap meradang menerjang” dan “Luka dan bisa kubawa berlari” merupakan baris-baris yang menggambarkan semangat pantang menyerah yang universal—pesan yang tetap relevan bagi masyarakat modern di berbagai belahan dunia, termasuk Korea Selatan.

Masa Depan Diplomasi Budaya Indonesia-Korea Selatan

Pemasangan puisi “Aku” di stasiun kereta Seoul menandai babak baru dalam diplomasi budaya antara Indonesia dan Korea Selatan. Inisiatif ini membuka jalan bagi lebih banyak pertukaran budaya dan sastra di masa depan. KBRI Seoul telah menyatakan komitmennya untuk terus mempromosikan kekayaan budaya Indonesia di Korea Selatan.

Dengan semakin menguatnya hubungan bilateral kedua negara, kita dapat mengharapkan lebih banyak proyek kolaboratif serupa. Mungkin di masa depan, tidak hanya puisi Chairil Anwar, tetapi juga karya sastrawan Indonesia lainnya akan mendapat tempat di ruang publik Korea Selatan.

Program Puisi Multinasional Seoul membuktikan bahwa sastra memiliki kekuatan untuk menjembatani perbedaan budaya dan bahasa. Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi, inisiatif seperti ini mengingatkan kita pada nilai penting karya sastra sebagai cermin peradaban manusia yang melampaui batasan geografis.

Kehadiran puisi “Aku” karya Chairil Anwar di jantung kota Seoul tidak hanya menjadi kebanggaan bagi Indonesia, tetapi juga pengingat tentang universalitas semangat perjuangan dan keteguhan prinsip yang diajarkan oleh penyair besar tanah air. Melalui bait-bait puisinya, Chairil Anwar terus hidup dan berbicara, kini tidak hanya kepada bangsanya sendiri, tetapi juga kepada dunia.