Leet Media

Indonesia Berduka, Direktur RS Indonesia di Gaza dan Keluarganya Tewas Dibunuh Israel

July 3, 2025 By pj

3 Juli 2025 – Direktur Rumah Sakit Indonesia di Jalur Gaza, dr. Marwan Al-Sultan, gugur bersama keluarganya dalam serangan udara Israel pada Rabu, 2 Juli 2025. Tragedi ini menambah panjang daftar tenaga medis yang menjadi korban konflik bersenjata di Palestina dan meninggalkan duka mendalam tidak hanya bagi Gaza, tetapi juga komunitas medis internasional.

Kehilangan Besar Bagi Dunia Medis

Dr. Marwan Al-Sultan adalah salah satu dari sedikit ahli jantung tersisa di Jalur Gaza dan menjabat sebagai Direktur Rumah Sakit Indonesia, salah satu fasilitas medis terbesar di wilayah utara. Serangan udara Israel yang menghantam kediamannya di Tal al-Hawa, barat daya Kota Gaza, juga merenggut nyawa istrinya, anak-anaknya, dan anggota keluarga lainnya.

“Indonesia turut berduka atas wafatnya dr. Marwan Al Sultan, Direktur RS Indonesia di Gaza, beserta keluarganya pada tanggal 2 Juli 2025 dan mengutuk serangan Israel tersebut,” tulis Kemlu RI melalui akun X mereka pada Kamis, 3 Juli 2025.

MER-C Indonesia, yang selama ini bermitra dengan dr. Marwan di Gaza, menyatakan bahwa total sembilan warga Palestina syahid dalam serangan tersebut, dengan beberapa lainnya mengalami luka-luka.

Sosok Dokter yang Berdedikasi Tinggi

Marwan Al-Sultan dikenal luas karena dedikasinya yang luar biasa terhadap pelayanan kesehatan masyarakat Gaza, terutama selama masa krisis kemanusiaan yang panjang sejak Oktober 2023. Ia adalah seorang konsultan kardiologi intervensional yang sering bekerja sama dengan tim medis dari berbagai negara, seperti Inggris, Prancis, Belanda, Belgia, Spanyol, Kanada, dan Maroko.

“Ia dikenal karena keterusterangan, spontanitas, dan kepemimpinannya yang tegas—sifat-sifat yang menghiasi rapat manajemen rumah sakit, yang sering kali diisi dengan perdebatan sengit dan selalu diakhiri dengan keakraban sambil minum kopi dan makan bersama,” demikian pernyataan MER-C Indonesia.

Putri dr. Marwan, Lubna Sultan, memberikan penghormatan di Rumah Sakit Al-Shifa, tempat jenazah sang ayah dibawa. “Seluruh hidupnya didedikasikan untuk pengobatan dan perjuangan untuk merawat pasien,” katanya. “Tidak ada pembenaran untuk menargetkan dia dan kesyahidannya.”

Dampak terhadap Sistem Kesehatan Gaza

Pembunuhan terhadap dr. Marwan dinilai sebagai kerugian besar oleh Direktur RS Al-Shifa, Mohammed Abu Selmia. “Ia adalah salah satu dari dua ahli jantung terakhir di Gaza. Ribuan pasien jantung akan kehilangan harapan. Ia tidak bisa digantikan. Satu-satunya kesalahannya adalah karena ia seorang dokter.”

Organisasi Healthcare Workers Watch (HWW) menyatakan bahwa dr. Marwan adalah tenaga kesehatan ke-70 yang gugur hanya dalam 50 hari terakhir. “Ini bukan hanya kehilangan nyawa, tetapi juga penghancuran pengalaman dan pengetahuan medis selama puluhan tahun,” ujar Direktur HWW, Muath Alser.

Seruan Kemanusiaan dari Dunia Internasional

Kelompok advokasi Muslim Amerika Serikat, CAIR, juga mengecam serangan Israel dan menyebutnya sebagai upaya sistematis untuk menargetkan tenaga medis dan fasilitas kesehatan.

“Pasukan Israel sengaja menargetkan staf medis dan mengubah zona distribusi bantuan menjadi tempat eksekusi untuk membuat Gaza tidak layak dihuni. Asosiasi medis harus berhenti bersikap bungkam,” kata Direktur CAIR, Edward Ahmed Mitchell.

Pemerintah Palestina dan Hamas juga mengutuk keras serangan yang dinilai sebagai kejahatan terhadap warga sipil dan tenaga medis. “Kami mengutuk keras kejahatan keji ini terhadap tenaga medis kami, dan kami memohon kepada Allah agar menganugerahkan belas kasihan kepadanya dan keluarganya,” kata Kementerian Kesehatan Palestina.

Israel Klaim Target Serangan adalah Hamas

Militer Israel menyatakan bahwa target serangan adalah tokoh penting Hamas dan bahwa klaim korban sipil sedang ditinjau. “Kami menyesalkan jika ada individu tak bersalah yang terkena dampaknya. Kami beroperasi sebisa mungkin untuk menghindari korban sipil,” ujar IDF.

Namun menurut laporan PBB, sejak perang dimulai pada Oktober 2023, lebih dari 1.400 tenaga medis telah terbunuh, menjadikan profesi medis sebagai salah satu yang paling rentan. Banyak di antara mereka yang gugur saat bertugas di rumah sakit, ambulans, kamp pengungsi, hingga sekolah.