January 13, 2025 By Reynaldi Aditya R.
13 Januari 2025 – Indonesia, dengan populasi sekitar 300 juta jiwa, menghadapi tantangan besar dalam hal kepatuhan pajak individu. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 70% dari populasi ini berada dalam usia produktif (15-64 tahun). Survei terbaru BPS pada tahun 2023 menunjukkan bahwa dari populasi produktif tersebut, hanya sekitar 7-8 juta individu yang secara rutin membayar Pajak Penghasilan (PPh). Angka ini mencakup jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia per 1 Juli 2024, yang tercatat sebanyak 4.758.730 orang, terdiri dari 3.655.684 Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan 1.103.045 Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Dengan data ini, kepatuhan pajak individu masih sangat rendah dibandingkan jumlah penduduk usia produktif, sehingga menjadi penghambat signifikan dalam upaya Indonesia untuk mencapai status negara maju pada tahun 2045.
Pajak adalah sumber pendapatan utama negara yang digunakan untuk mendanai pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, serta program kesejahteraan sosial. Di negara-negara maju, rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) biasanya berada di atas 15%, bahkan mencapai 30-40% di negara-negara Skandinavia. Sebaliknya, Indonesia mencatat rasio pajak terhadap PDB sekitar 9-11% dalam beberapa tahun terakhir, salah satu yang terendah di kawasan ASEAN.
Dampak dari rendahnya kepatuhan pajak sangat terasa. Pemerintah menghadapi kesulitan dalam membiayai proyek strategis seperti pembangunan jalan tol, peningkatan layanan kesehatan, dan pendidikan berkualitas. Kurangnya penerimaan pajak juga membatasi kemampuan negara untuk mengurangi ketimpangan ekonomi dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Menurut data Bank Dunia, jumlah individu berpenghasilan tinggi yang melaporkan pajak penghasilan masih jauh dari optimal, meskipun Indonesia memiliki sekitar 210 juta penduduk usia produktif. Rendahnya tingkat pelaporan ini menunjukkan perlunya reformasi struktural dalam sistem perpajakan, khususnya dalam meningkatkan kesadaran, kepatuhan, dan kepercayaan masyarakat terhadap pentingnya pajak sebagai fondasi pembangunan nasional.
Pemerintah Indonesia meluncurkan Coretax Administration System (CTAS) pada 1 Januari 2025 sebagai bagian dari upaya modernisasi sistem perpajakan. Sistem ini dirancang untuk mempermudah proses administrasi pajak, mulai dari pendaftaran, pelaporan, hingga pembayaran secara digital. Manfaat utama dari CTAS mencakup:
Transformasi ini digerakkan oleh Komite Percepatan Transformasi Digital, yang berfokus pada tiga pilar utama:
Identitas Digital, Mengintegrasikan data wajib pajak dengan basis data nasional untuk meningkatkan akurasi dan efisiensi sistem perpajakan.
Pembayaran Digital, Mendorong penggunaan platform digital dalam transaksi pajak untuk mengurangi kebocoran penerimaan.
Pertukaran Data, Memungkinkan kolaborasi antara berbagai lembaga pemerintah untuk pengawasan yang lebih efektif.
Peningkatan Pengawasan dan Penegakan Hukum
Pemerintah memperkuat pengawasan wajib pajak dengan menggunakan teknologi forensik digital. Beberapa langkah yang diambil:
Pengawasan Transaksi, Sistem ini fokus pada individu berpenghasilan tinggi yang cenderung menghindari kewajiban pajak.
Sanksi Administratif, Penunggak pajak dikenai pembatasan akses ke layanan penting, seperti pengurusan paspor, SIM, atau layanan publik lainnya. Hal ini memberikan tekanan tambahan untuk meningkatkan kepatuhan.
Peningkatan kesadaran masyarakat menjadi prioritas dengan melibatkan berbagai pihak, seperti:
Beberapa negara berhasil meningkatkan rasio pajak melalui reformasi yang signifikan:
Dengan target menjadi negara maju pada tahun 2045, Indonesia perlu meningkatkan rasio pajak terhadap PDB setidaknya hingga 15%. Hal ini membutuhkan kombinasi dari:
Kepatuhan pajak bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Dengan upaya kolektif, Indonesia memiliki potensi besar untuk meningkatkan penerimaan pajak, mempercepat pembangunan, dan mencapai visi negara maju pada tahun 2045.
Related Tags & Categories :