Leet Media

Garuda Indonesia dikabarkan nonaktifkan 15 pesawat akibat kesulitan membayar biaya perawatan

May 5, 2025 By Abril Geralin

05 Mei 2025 – Maskapai kebanggaan nasional Indonesia kembali menghadapi tantangan berat dalam upaya pemulihan bisnisnya. PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) dikabarkan telah menghentikan operasional sementara (grounded) sekitar 15 pesawat dari armadanya karena kesulitan dalam membayar biaya perawatan. Langkah ini menimbulkan kekhawatiran bahwa rencana kebangkitan maskapai pelat merah pasca-restrukturisasi utang mungkin tidak berjalan sesuai harapan.

Faktor Finansial di Balik Pengandangan Pesawat

Berdasarkan laporan Bloomberg, beberapa pemasok untuk Garuda Indonesia telah meminta pembayaran di muka untuk suku cadang dan tenaga kerja. Permintaan ini muncul karena kekhawatiran terhadap kondisi keuangan maskapai tersebut yang belum sepenuhnya pulih. Meskipun Garuda sendiri belum memberikan tanggapan resmi terkait isu ini, sejumlah sumber internal yang tidak bersedia disebutkan namanya mengkonfirmasi situasi tersebut.

Data terakhir dari Cirium, lembaga pelacak armada penerbangan, menunjukkan bahwa Garuda Indonesia memiliki 66 pesawat yang masih aktif beroperasi dan 14 lainnya dalam penyimpanan. Sebagian besar pesawat yang dikandangkan merupakan armada yang dioperasikan oleh unit berbiaya rendah Garuda, yakni PT Citilink Indonesia.

Pengandangan 15 pesawat ini merepresentasikan sekitar 10% dari total armada Garuda, sebuah angka yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan rata-rata maskapai di Asia Tenggara yang hanya memiliki 2-3% pesawat tidak beroperasi menurut perhitungan Bloomberg berdasarkan data dari Airfleets.net.

Tantangan Teknis dan Operasional

Source: Info Bank News

Garuda Indonesia menghadapi tantangan khusus dalam hal biaya perawatan karena karakteristik operasionalnya. Sebagian besar armada maskapai ini melayani rute-rute penerbangan jarak pendek, yang secara teknis menimbulkan biaya perawatan yang lebih tinggi per jam terbang atau per siklus penerbangan akibat tingkat keausan yang lebih besar.

Hal ini terjadi karena jadwal perawatan pesawat umumnya ditentukan berdasarkan jumlah siklus lepas landas dan mendarat, bukan berdasarkan jam operasional. Dengan kata lain, pesawat yang sering melakukan penerbangan jarak pendek akan lebih cepat membutuhkan perawatan dibandingkan pesawat yang melayani rute jarak jauh dengan frekuensi penerbangan yang lebih sedikit.

Konteks Ekonomi yang Menantang

Perjuangan Garuda Indonesia juga mencerminkan lingkungan bisnis yang semakin sulit bagi seluruh maskapai penerbangan di Indonesia. Kebijakan pembatasan harga tiket pesawat domestik dari pemerintah, yang dirancang untuk mengatur biaya tiket kelas ekonomi dan memastikan keterjangkauan harga bagi konsumen, justru membatasi kemampuan maskapai untuk meningkatkan pendapatan.

Selain itu, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga memberikan tekanan tambahan, mengingat sebagian besar biaya operasional maskapai seperti leasing pesawat, perawatan, dan bahan bakar dibayarkan dalam mata uang dolar AS.

Kinerja Keuangan Terkini

Meskipun terjadi lonjakan pemesanan tiket pasca-pandemi, Garuda Indonesia kembali mencatatkan kerugian bersih pada tahun lalu setelah sebelumnya berhasil membukukan keuntungan selama dua tahun berturut-turut. Laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) juga turun ke level terendah sejak maskapai ini menyelesaikan restrukturisasi utang senilai hampir US$10 miliar pada tahun 2022.

Berdasarkan laporan keuangan terbaru, pada kuartal I/2025, Garuda Indonesia mencatat rugi bersih sebesar US$76,48 juta atau setara dengan Rp1,26 triliun (dengan asumsi kurs Rp16.603 per dolar AS). Meski masih merugi, angka ini menunjukkan perbaikan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, di mana rugi bersih tercatat US$87,03 juta atau sekitar Rp1,44 triliun.

Pendapatan usaha Garuda Indonesia pada kuartal I/2025 mengalami kenaikan sebesar 1,62% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi US$723,56 juta atau Rp12,01 triliun, dari sebelumnya US$711,98 juta atau Rp11,82 triliun pada kuartal I/2024. Pendapatan tersebut sebagian besar masih ditopang oleh segmen penerbangan yang menyumbang US$668,56 juta, diikuti oleh layanan pemeliharaan pesawat sebesar US$95,36 juta, dan pendapatan dari segmen lainnya sebesar US$93,7 juta.

Upaya Pemulihan dan Harapan Baru

Source: RM.id

Akhir tahun lalu, Garuda Indonesia menunjuk CEO baru, Wamildan Tsani Panjaitan, untuk memimpin misi perbaikan neraca keuangan dan perluasan jaringan internasional. Langkah ini sejalan dengan visi Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, yang dilaporkan ingin menjadikan Garuda lebih menguntungkan dan memperdalam kehadirannya di kancah internasional.

Namun, tantangan yang dihadapi Garuda Indonesia bukanlah hal yang mudah untuk diatasi. Maskapai ini perlu menyeimbangkan antara efisiensi operasional, peningkatan layanan, dan kepatuhan terhadap regulasi pemerintah, sambil tetap menjaga arus kas yang sehat untuk membiayai perawatan pesawat dan kewajiban finansial lainnya.

Dampak pada Industri Penerbangan Nasional

Situasi yang dialami Garuda Indonesia ini tidak hanya berdampak pada maskapai itu sendiri, tetapi juga memberikan gambaran tentang tantangan yang dihadapi oleh industri penerbangan nasional secara keseluruhan. Menurut sumber-sumber industri, Garuda bukanlah satu-satunya maskapai yang mengalami kesulitan dalam membayar biaya pemeliharaan pesawat, meskipun dengan jumlah pesawat terbesar yang tidak beroperasi.

Perlu diingat bahwa industri penerbangan merupakan salah satu sektor yang paling terdampak oleh pandemi COVID-19, dan meskipun permintaan perjalanan udara telah pulih, maskapai-maskapai penerbangan masih berjuang untuk mengembalikan kinerja keuangan mereka ke level pra-pandemi.

Implikasi bagi Konsumen dan Pariwisata

Pengandangan sejumlah pesawat Garuda Indonesia berpotensi mempengaruhi layanan penerbangan yang ditawarkan kepada konsumen. Meskipun maskapai ini kemungkinan akan memprioritaskan rute-rute utama yang lebih menguntungkan, beberapa rute dengan permintaan lebih rendah mungkin akan mengalami pengurangan frekuensi penerbangan atau bahkan penghentian sementara.

Dampak lebih luas juga dapat dirasakan oleh sektor pariwisata, mengingat Garuda Indonesia dan Citilink merupakan pemain utama dalam mendukung konektivitas antar destinasi wisata di Indonesia. Pengurangan kapasitas penerbangan dapat menghambat upaya pemulihan sektor pariwisata yang juga masih dalam proses pemulihan pasca-pandemi.

Langkah Strategis untuk Masa Depan

Menghadapi tantangan ini, Garuda Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk memastikan keberlanjutan operasionalnya. Beberapa opsi yang mungkin dipertimbangkan antara lain:

  1. Melakukan rasionalisasi armada dengan fokus pada tipe pesawat yang lebih efisien dan sesuai dengan karakteristik rute yang dilayani.
  2. Negosiasi ulang dengan para pemasok dan penyedia jasa perawatan untuk mendapatkan ketentuan pembayaran yang lebih fleksibel.
  3. Optimalisasi jaringan penerbangan dengan memprioritaskan rute-rute yang lebih menguntungkan.
  4. Mencari tambahan modal kerja untuk membiayai kebutuhan operasional jangka pendek.
  5. Mengembangkan strategi pemasaran yang lebih efektif untuk meningkatkan faktor keterisian pesawat (load factor).

Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi, Garuda Indonesia perlu berinovasi dan beradaptasi dengan cepat untuk mempertahankan posisinya sebagai maskapai kebanggaan nasional sekaligus menjaga keberlanjutan bisnisnya di masa depan. Kemampuan manajemen baru dalam mengelola krisis ini akan menjadi penentu utama apakah Garuda Indonesia dapat bangkit kembali dan terbang lebih tinggi, atau justru semakin terpuruk dalam kesulitan finansial.