Leet Media

Film Animasi “Merah Putih One For All” Tuai Kritik Pedas: Karya Dadakan yang Lolos ke Bioskop

August 9, 2025 By A G

09 Agustus 2025 – Menjelang peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI, dunia perfilman Indonesia dihebohkan oleh munculnya film animasi kontroversial berjudul “Merah Putih: One For All”. Film yang dijadwalkan tayang serentak di bioskop mulai 14 Agustus 2025 ini justru menuai gelombang kritik keras dari netizen Indonesia setelah trailernya beredar di media sosial dan platform YouTube.

Film garapan Perfiki Kreasindo ini sebenarnya mengusung misi mulia untuk menyebarkan semangat nasionalisme melalui kisah petualangan delapan anak dari berbagai daerah di Indonesia. Namun, alih-alih mendapat sambutan positif, karya ini malah dibandingkan dengan proyek tugas sekolah yang dikerjakan secara terburu-buru.

Sinopsis dan Konsep Cerita yang Patriotik

Source: IDN

“Merah Putih: One For All” mengisahkan petualangan sekelompok anak dari berbagai latar budaya Indonesia, termasuk Betawi, Papua, Medan, Tegal, Jawa Tengah, Makassar, Manado, dan Tionghoa yang tergabung dalam “Tim Merah Putih”. Mereka ditugaskan untuk menjaga bendera pusaka, simbol sakral yang dikibarkan setiap upacara 17 Agustus.

Konflik utama cerita dimulai ketika bendera tersebut hilang secara misterius, tiga hari sebelum perayaan Hari Kemerdekaan. Kedelapan anak pemberani ini kemudian memulai misi heroik untuk menemukan bendera yang hilang. Perjalanan mereka penuh tantangan, mulai dari menjelajahi hutan lebat, menyeberangi sungai deras, hingga menghadapi badai.

Film berdurasi 70 menit ini ingin menonjolkan pesan universal bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan kekuatan untuk mencapai tujuan mulia. Melalui petualangan Tim Merah Putih, film ini berusaha menggugah semangat kebangsaan dan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika di kalangan penonton, khususnya generasi muda.

Tim Produksi dan Proses Pembuatan yang Kontroversial

Film ini disutradarai oleh Endiarto dan Bintang Takari, yang juga merangkap sebagai penulis skenario. Endiarto bertindak sebagai produser eksekutif dan penggagas utama proyek, sementara Bintang Takari memberikan sentuhan pada aspek visual sebagai animator.

Rumah produksi di balik “Merah Putih One For All” adalah Perfiki Kreasindo, yang menurut informasi merupakan bagian dari Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail. Toto Soegriwo berperan sebagai produser, dengan Sonny Pudjisasono sebagai produser eksekutif bersama Endiarto.

Yang mengejutkan adalah timeline produksi film ini. Berdasarkan informasi dari akun Instagram resmi, film ini dikerjakan sejak Juni 2025, yang berarti hanya membutuhkan waktu kurang lebih sebulan hingga siap tayang di bioskop. Rentang waktu yang sangat singkat ini menjadi salah satu penyebab kualitas film yang dinilai tidak maksimal.

Anggaran produksi film ini disebut mencapai Rp 6,7 miliar, jumlah yang cukup besar untuk standar film animasi lokal. Namun, hasil akhir yang terlihat di trailer justru tidak sebanding dengan dana yang telah dikeluarkan.

Gelombang Kritik dari Netizen Indonesia

Sejak trailer “Merah Putih: One For All” dipublikasikan di berbagai channel YouTube seperti Perfiki TV, CGV Kreasi, dan Historika Film, reaksi netizen Indonesia sangat beragam, dengan mayoritas memberikan kritik pedas terhadap kualitas film.

Salah satu kritik utama adalah perbandingan dengan film animasi “Jumbo” karya Ryan Adriandhy yang sukses besar dan mendapat pujian luas. Film “Jumbo” telah mengangkat standar animasi Indonesia ke level yang jauh lebih tinggi, sehingga masyarakat kini memiliki ekspektasi yang lebih tinggi terhadap karya animasi lokal.

“Umm… Didn’t we just had Jumbo few months ago? Tau sendiri hype-nya kayak apa. Benchmark masyarakat buat menilai kualitas animasi ya pakenya Jumbo. Udah nggak bisa lagi jualan cuma pakai kalimat sakti ‘karya anak bangsa’,” tulis salah seorang pengguna X.

Kritik lain yang muncul adalah terkait kualitas visual dan teknis film. Banyak netizen yang menilai grafis film terlihat terburu-buru dan tidak profesional. Komentar pedas seperti “film ini kerasa kayak hasil tugas proyek PPKn anak SMA yang dikerjain seminggu sebelum deadline” menunjukkan tingkat kekecewaan masyarakat.

Isu Kualitas Produksi dan Dugaan Penggunaan AI

Source: Kelumajang

Selain kritik terhadap kualitas visual, muncul pula dugaan bahwa suara karakter dalam film diisi oleh artificial intelligence (AI), bukan aktor sungguhan. Hal ini menambah kesan bahwa film dibuat dengan cara yang tidak profesional dan mengabaikan standar industri perfilman.

Netizen juga mempertanyakan kualitas penulisan bahasa Indonesia dalam film, yang dinilai tidak layak untuk ditayangkan di bioskop. Kombinasi dari berbagai masalah teknis ini membuat banyak pihak mempertanyakan bagaimana film dengan kualitas seperti ini bisa lolos seleksi dan mendapat slot penayangan di bioskop nasional.

“Saya dengar katanya ini film mau masuk bioskop? Saya rasa ngeliatin kursi bioskop kosong selama dua jam mungkin lebih menghibur daripada nonton ini,” tulis seorang netizen dengan nada sarkastis.

Respons Produser dan Kontroversi yang Berlanjut

Menanggapi gelombang kritik yang datang, Toto Soegriwo selaku produser memberikan respons melalui akun Instagram pribadinya. Namun, tanggapannya justru menimbulkan kontroversi lebih lanjut.

“Senyumin aja. Komentator lebih pandai dari pemain. Banyak yang mengambil manfaat juga kan? Postingan kalian jadi viral kan?,” tulis Toto Soegriwo. Respons ini dianggap tidak profesional dan terkesan meremehkan kritik konstruktif dari masyarakat.

Sikap defensif produser ini malah memperburuk citra film, karena menunjukkan ketidaksiapan tim produksi dalam menerima feedback dan melakukan perbaikan kualitas.

Misteri di Balik Perfiki Kreasindo

Salah satu hal yang menambah kejanggalan adalah minimnya informasi tentang rumah produksi Perfiki Kreasindo. Ketika media mencoba mengakses situs web resmi perfiki.com, yang muncul hanya pesan error “403 Forbidden” atau “404 Not Found”.

Tidak ada informasi yang jelas tentang struktur manajerial Perfiki Kreasindo di mesin pencari Google. Melalui akun Instagram @perfiki.tv, tidak terlihat ada film lain yang pernah diproduksi studio ini sebelumnya. Alih-alih film, organisasi ini bahkan pernah menyelenggarakan event yang tidak terkait dengan perfilman, yaitu Pemilihan Putri Asuransi Indonesia.

Ketiadaan track record yang jelas dalam industri perfilman ini menimbulkan pertanyaan tentang kredibilitas dan kapabilitas Perfiki Kreasindo dalam menggarap proyek film animasi sebesar ini.

Dampak Terhadap Industri Animasi Indonesia

Kontroversi “Merah Putih: One For All” memberikan dampak yang cukup signifikan bagi industri animasi Indonesia. Di satu sisi, film seperti “Jumbo” telah membuktikan bahwa animator Indonesia mampu menghasilkan karya berkualitas internasional. Namun, kehadiran film yang dinilai berkualitas rendah seperti “Merah Putih: One For All” dapat merusak reputasi industri animasi lokal.

Fenomena ini juga menunjukkan pentingnya kurasi yang ketat dalam industri perfilman. Masyarakat mulai mempertanyakan bagaimana sebuah film dengan kualitas yang diragukan bisa mendapat izin penayangan di bioskop nasional, bahkan dengan promo tiket seharga Rp 17.000 untuk penayangan khusus pada 17 Agustus 2025.

Film “Merah Putih: One For All” dijadwalkan tetap tayang pada 14 Agustus 2025, meskipun menuai kritik keras. Hal ini menimbulkan dilema bagi penonton yang ingin mendukung karya anak bangsa, namun juga mengharapkan kualitas yang layak untuk konsumsi publik.

Kasus ini menjadi pembelajaran penting bahwa semangat nasionalisme dalam berkarya harus diimbangi dengan profesionalisme dan kualitas yang memadai. Industri kreatif Indonesia membutuhkan standar yang tinggi untuk bisa bersaing di kancah internasional dan memberikan hiburan berkualitas bagi masyarakat dalam negeri.